Selesainya Pemilu 2019 yang berjalan relatif lancar dan tanpa gejolak, memberikan harapan baru bagi ekonomi Indonesia. Data neraca perdagangan menunjukkan kinerja positif sejak awal bulan lalu. Begitu pun perkembangan kurs rupiah yang telah menguat sekitar 1% antara 1 hingga 23 April lalu. Untuk tahun ini pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3% dan sekitar 5,3% hingga 5,6% untuk tahun depan.
Gelagat positif ini memberikan ruang harapan bagi pertumbuhan ekonomi tahun depan. Meski realisasi investasi belum menembus target Rp765 triliun, setidaknya dibanding tahun 2017 sudah mengalami peningkatan 4,1%. Dari angka itu sebanyak Rp392 trilun terdiri dari modal asing, agak turun dibanding realisasi investasi asing pada periode yang sama 2017.
Namun demikian realisasi penanaman modal domestik justru meningkat sampai 25%. Ini menandakan bahwa investor dalam negeri justru tidak banyak terpengaruh dengan kondisi politik menjelang pemilu. Dengan kata lain mereka yakin Indonesia mampu melampaui suasana pemilu dengan damai. Dari realisasi investasi dalam negeri, terbuka lapangan kerja sampir satu juta orang. Sementara itu untuk investasi asing membuka 200 ribu lebih lapangan kerja.
Tampaknya untuk menggenjot investasi agar sesuai target pemerintah perlu lebih serius untuk melakukan implementasi kebijakan dan mempermudah sistem perizinan. Rencana penerapan online single submission merupakan salah satu yang paling ditunggu.
Jika dianalisa melemahnya realisasi PMA tidak bisa dipisahkan dari kondisi perekonomian global. Kita tahu Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) dan European Central Bank (ECB) memberlakukan pengetatan kebijakan moneter yang dapat menghambat aliran modal ke negara berkembang.
Namun begitu sepanjang triwulan pertama 2019, data bank sentral menunjukkan aliran modal asing (capital inflow) menembus angka Rp74,4 triliun. Kontribusi terbesar berasal dari pembelian Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp62 triliun dan saham (equity) Rp11,9 triliun. Penguatan aliran modal asing ke Indonesia tidak terlepas dari kebijakan Federal Reserve dan ECB dan ketidakpastian dan risiko negara berkembang yang menurun.
Perlambatan realisasi investasi agak menurun pada investasi mesin dan perlengkapan, peralatan dan kendaraan. Agak wajar mengingat investor bersikap menunggu perkembangan setelah Pemilu 2019.
Gelagat lain yang dapat dipotret adalah indeks PMI menunjukkan angka tertinggi dalam satu tahun terakhir yang khususnya ekspansi di sektor manufaktur. Hal itu seiiring dengan tendensi bisnis yang menurut BPS diperkirakan terus meningkat pasca-Pemilu 2019.
Pada quarter pertama 2019 ini ekonomi Indonesia tumbuh 5,07% yang menandakan justru proses pemilu mendorong terjadinya pertubuhan ekonomi. Sementara itu konsumsi rumah tangga tumbuh tetap stabil di angka 5,29% year on year dibanding periode yang sama tahun lalu. Angka itu menjadi wajar apabila kita menengok tingkat inflasi yang relatif terjaga. Pada Mei 2019, inflasi Indonesia hanya berkisar pada angka 3,32% year on year.
Dengan kondisi ini diperkirakan tingkat konsumsi Indonesia akan tetap kuat pada tahun mendatang. Justru setelah Pemilu 2019, tingkat keyakinan konsumen meningkat menjadi 128. Angka itu diikuti oleh indeks kondisi ekonomi 113 dan indeks ekspektasi kondisi ekonomi 143.
Dorongan konsumsi rumah tangga ditopang oleh realisasi program bantuan sosial yang terus meningkat. Pada quarter pertama 2019, sekitar Rp40 triliun digelontorkan pemerintah untuk membiayai program bantuan sosial.
Bukan hanya itu, konsumsi pemerintah juga secara konsisten mengalami pertumbuhan. Pada tiga bulan pertama 2019 konsumsi pemerintah tumbuh 5,21% dibanding periode yang sama tahun lalu. Ini terlihat jelas dari realiasai APBN 2019 yang mencapai Rp631 triliun dibanding Rp532 triliun tahun lalu. (E-1)