Indonesia.go.id - Tak Lagi Andalkan Migas, Beralih ke Laut

Tak Lagi Andalkan Migas, Beralih ke Laut

  • Administrator
  • Senin, 8 Juli 2019 | 19:01 WIB
PASAR EKSPOR
  Hasil tangkapan ikan tuna untuk pangsa ekspor. Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa

Potensi laut Indonesia begitu melimpah. Oleh karena industri perikanan mengalami pertumbuhan. Terutama untuk produk perikanan skala industri seperti gurita, cumi-cumi, cakalang, baby tuna, tuna, serta ikan demersal yang diminati pasar internasional.

Dalam pertemuan dengan Presiden beberapa waktu lalu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta Presiden Joko Widodo memberikan perhatian serius pada pengembangan produksi perikanan dalam negeri. Penentuan fokus tersebut untuk mendorong pelaku usaha di sektor perikanan. Nantinya hal itu akan berdampak pada naiknya nilai ekonomi dari sektor perikanan.

Saat ini pun potensi kelautan yang dimiliki oleh Indonesia belum dimanfaatkan dengan baik. Padahal wilayah laut Indonesia merupakan kedua terbesar di dunia setelah Kanada. Sekarang saja baru 2% dari produk domestik bruto (PDB), sementara itu 70% luas wilayah Indonesia itu laut.

Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, nilai ekspor komoditas perikanan pada semester I 2019 mencapai Rp40,57 triliun atau naik 24,29% dibandingkan semester I 2018 yang mencapai Rp32,64 triliun.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengakui, ekspor pada kuartal II memang cenderung lebih tinggi dibandingkan kuartal I. Hal ini dikarenakan permintaan yang lebih banyak pada Maret hingga Mei sebagai persiapan untuk liburan musim panas.

Memang pasar biasanya membeli di November untuk persiapan di Natal, Tahun Baru, dan Thanksgiving. Biasanya di Januari dan Februari slowing down dan harga turun karena demand berkurang. Peak lagi di Maret, April, dan Mei untuk liburan musim panas.

Bila dirinci, nilai ekspor tersebut terbagi atas nilai ekspor komoditas perikanan produk konsumsi yang sebesar Rp32,90 triliun sementara nilai ekspor produk non konsumsi sebesar Rp7,67 triliun. Masing-masing produk ini mengalami kenaikan ekspor, di mana nilai ekspor komoditas perikanan konsumsi meningkat 16% dibandingkan semester I 2018 yang sebesar Rp28,46 triliun. Sementara itu, nilai ekspor produk nonkonsumsi naik 83% dibandingkan semester I 2018 yang sebesar Rp4,18 triliun.

Dari sisi volume, ekspor produk perikanan konsumsi hidup meningkat menjadi 40,6 juta ekor. Lalu volume ekspor produk perikanan konsumsi nonhidup sebesar 505.801,83 ton. Sementara itu untuk produk perikanan nonkonsumsi terbagi atas non konsumsi hidup sebesar 2,98 miliar ekor dengan volume ekspor produk non konsumsi nonhidup sebesar 90.240,68 ton.

Melihat realisasi ekspor hingga semester I ini, Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo optimistis nilai ekspor tahun ini bisa lebih tinggi dibandingkan realisasi ekspor di tahun lalu. Terlebih, permintaan komoditas perikanan akan mengalami lonjakan di kuartal IV.

"Tahun ini kita optimistis nilai ekspor bisa mencapai USD5,5 miliar, ini naik dibandingkan tahun 2018 yang sekitar USD4,7 miliar," terang Nilanto.

Produk-produk yang diekspor masih didominasi oleh produk unggulan seperti udang, tuna, kepiting, cumi-cumi, rumput laut, rajungan, kakap, dan kerapu. Meski begitu, Indonesia pun mulai mengekspor patin ke Arab Saudi tahun ini, yang diharapkan menjadi produk ekspor unggulan baru.

Sementara itu, di semester I, 10 negara tujuan ekspor produk perikanan Indonesia adalah Amerika Serikat, Cina, Jepang, Australia, Singapura, Thailand, Malaysia, Taiwan, Italia, dan Vietnam.

Dan beberapa produk kelautan selama ini masih bergantung beberapa negara sebagai penentu dan penggerak pasar internasional. Misalnya, harga produk gurita yang mengacu kepada kawasan Afrika, sedangkan pasar ikan cakalang masih berkiblat ke Thailand.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau dan luas perairan laut 5,8 juta km2 (terdiri dari luas laut teritorial 0,3 juta km2, luas perairan kepulauan 2,95 juta km2, dan luas ZEE Indonesia 2,55 juta km2). Secara geopolitik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis karena berada di antara benua Asia dan Australia, serta di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dalam konteks perdagangan global (the global supply chain system) yang menghubungkan kawasan Asia-Pasifik dengan Australia. 

Potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 7,3 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Dari seluruh potensi sumberdaya ikan tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,8 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari, dan baru dimanfaatkan sebesar 5,4 juta ton pada tahun 2013 atau baru 93% dari JTB, sementara total produksi perikanan tangkap (di laut dan danau) adalah 5,863 juta ton.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional menggantungkan hidupnya dari laut. Mereka tersebar di 10.666 desa pesisir yang berada di 300 dari total 524 kabupaten dan kota se-Indonesia.

Dilihat dari faktor kelautan Indonesia sangat berpeluang menjadi negara yang maju dan besar. Pembangunan di bidang bahari sudah dirancang agar Indonesia menjadi lebih baik dan bisa mengurangi tingkat kemiskinan apalagi di era revousi industri 4.0 yang kian hari terus berkembang. (E-2)