Wono Lestari itu artinya hutan lestari. Nama itulah yang disepakati untuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di sekitar Desa Bumo, Kecamatan Senduro, Lumajang, Jawa Timur. Menghimpun 367 anggota, LMDH Wono Lestari itu kini aktif mengelola 940 kawasan hutan milik negara. Tidak ada lagi sebutan perambah hutan, karena anggota LMDH itu secara resmi telah mengantongi sertifikat lahan dalam skema Perhutanan Sosial yang berlaku 35 tahun.
Seiring dengan terbinya sertifikat resmi itu dua tahun lalu, ada pula Surat Keterangan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) dari Kementerian Kehutanan. Anggota kelompok tani ini telah memiliki kepastian usaha dan bisa mengakses modal dari perbankan. Untuk mengawalinya, Bank BNI terjun ke Desa Simo dan merangkul LMDH Wono Lestari itu sebagai mitra binaannya, agar kelompok tani tersebut bisa mengoptimalkan skala usahanya.
Hasilnya, kini populasi sapi dan kambing di Desa Bumo berlipat ganda. Susu sapi berlimpah, Begitu pula madu hutan, buah pisang, getah damar, hingga rumput gajah. Bahkan, kelompok tani tersebut kini mencoba mengembangkan usaha pengolahannya untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Jangan heran bila Desa Bumo kini menjadi sentra ekonomi yang penting bagi Kecamatan Senduro.
Tentu, semuanya tak diraih secara instan. Warga Bumo telah menjalin kerja sama dengan Perhutani sebagai pemangku hak pengelolaan kawasan hutan itu setidaknya sejak dua dekade lalu. Memasuki 2006, kerja sama itu lebih erat dalam skema pembinaan masyarakat pinggir hutan, yang digalakkan Perum Perhutani.
Pada era Presiden Joko Widodo, kerja sama itu dilegalkan melalui program Perhutanan Sosial yang disusul dengan penerbitan sertifikat dan Surat Keterangan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK). Bukan hanya itu, begitu sertifikat dan Kulin KK terbit, Bank BNI diinstruksikan untuk mendukung bisnis wong cilik itu dengan KUR (kredit usaha rakyat) yang berbunga rendah dan bantuan program CSR (Corporate Social Responsibility) untuk sarana produksi yang bisa digunakan secara kolektif (traktor) serta kegiatan pemasaran.
Dengan suntikan modal KUR Rp4,6 miliar selama tiga tahun ini telah membuahkan hasil yang kasat mata. Populasi sapi di Desa Bumo meningkat dari 400 menjadi 882 ekor. Produksi susunya naik dari 3.000 menjadi 5.100 liter per hari. Polulasi kambing menjadi 11 ribu ekor, dari yang sebelumnya ada 8.000 ekor. Kredit bergulir lancar dan nyaris tak ada yang bermasalah.
Tidak heran bila Wono Lestari Desa Bumo dinyatakan sebagai satu dari 9 LMDH terbaik di Indonesia dalam penilaian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di awal 2019. Selain berhasil mengembangkan perekonomiannya berbasis sumber daya kehutanan, anggota kelompok tani ini juga mampu menjaga kelestarian ekosistem hutan Perhutani itu dengan segala fungsi ekologisnya.
Bank BNI sendiri telah mendukung sejumlah LMDH di Jawa Timur. Sampai akhir 2018, tak kurang dari Rp11,8 miliar KUR telah disalurkan untuk 3.170 anggota LMDH Jawa Timur. Di kalangan wong cilik ini, justru kredit macet tidak menjadi isu. Pembayaran KUR lancar.
Maka, berbekal pengalaman di beberapa site di Jawa, skema bantuan KUR untuk perhutanan sosial itu diperluas. Salah satu tempat tujuannya di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatra Selatan. Di Muba tercatat ada 3.646 penerima SK Perhutanan Sosial yang berupa SK Pengakuan Pelindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK), SK Hutan Tanaman Rakyat (HTR), serta SK Hutan Kemasyarakatan (HKm).
Alokasi perhutanan sosial di Muba itu terhampar pada 26.886 hektar areal hutan negara. Jumlah ini bagian dari areal Perhutanan Sosial se-Sumatra Selatan seluas 55.940 Ha dengan total penerima SK sebanyak 9.476 Kepala Keluarga (KK).
Berbeda dengan skema Kemitraan Kehutanan yang di Jawa yang umumnya petani mengolah tanah di sela-sela pepohonan di area hutan produksi milik Perhutani, skema kerja di hutan tanaman rakyat dan hutan kemasyarakatan berbeda. Di dua katagori terakhir ini, kelompok tani boleh memanfatkan kayu hutan dengan catatan, pohon-pohon itu ditanam oleh petani sendiri.
Namun, di Kabupaten Muba bukan hanya penanaman dan pemanenan kayu hutan yang dirancang untuk dikembangkan. Karena sebagian lahan berupa rawa, petani juga didorong membudidayakan kerbau rawa. Jika memungkinkan, petani juga boleh menanam tanaman perkebunan, sejauh tetap menjaga keragaman spesies di ekosistem hutan tersebut. Karena perbedaan pola produksinya, BNI pun perlu melakukan kajian lebih dulu untuk skema KUR-nya. Namun, secara prinsip, KUR disiapkan.
Secara nasional, Prsiden Joko Widodo merencanakan mengalokasikan areal seluas 12,7 juta hektar untuk program perhutanan sosial. Namun, hingga Maret 2019, realisasi pemberian ijin perhutanan sosial ini baru mencapai 2,56 juta hektar.
Program Perhutanan sosial ini selain didukung oleh pembiayaan APBN, juga mendapat dukungan dari sejumlah BUMN serta sejumlah swasta yang menyerap hasil produksinya. Jika dipersiapkan dengan matang, seperti LMDH Wono Lestari di Lumajang, program perhutanan sosial ini mampu membangkitkan perekonomian rakyat di daerah-daerah pinggiran. (P-1)