Sebuah mobil tanki bermuatan 5.000 liter air bersih meluncur ke lingkungan RW 03 Kedunghalang, Bogor Selatan, Sabtu (7/6/2019) lalu. Mobil bantuan itu dikirim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bogor atas permintaan warga yang dilanda kesulitan air. Sumur-sumur mengering, dan layanan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) tak menjangkau sebagian besar mereka.
Tak hanya di Bogor Utara, di sisi selatan Bogor, seperti di kawasan Pakuan, Batutulis, dan Lawanggitung yang dikenal lebih basah dengan curah hujan yang lebih tinggi, sumur-sumur warga pun kehabisan air. Agak ironis, di musim kemarau 2019 ini, Kota “hujan” Bogor dan Kabupaten Bogor yang biasanya basah kini termasuk dalam tujuh daerah rawan kekeringan dalam pantauan BPBD Jawa Barat.
Lima daerah lain yang menderita kesulitan air bersih adalah Kabupaten Bekasi, Subang, Indramayu, Cirebon, dan Kota Tasikmalaya. Boleh jadi, deretan daerah krisis air ini masih akan terus bertambah panjang karena di Jawa Barat kemarau diperkirakann berlangsung sampai pada Oktober. Sesuai pola putaran musim yang lazim, musim hujan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dimulai beberapa minggu setelah Jawa Barat. Semakin ke Timur musim hujan semakin lambat.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pun mengingatkan bahwa kemarau 2019 ini akan lebih keras dari 2018, meski tidak separah 2015. Indikasinya, muncul gejala El Nino, tekanan rendah di Pasifik akibat munculnya massa air laut yang lebih hangat. Hot spot di Pasifik itu akan menciptakan tekanan rendah yang mengganggu siklus angin monsun di Indonesia. Toh, BMKG perlu memberikan catatan bahwa El Nino 2019 ini tidak segarang 2015.
Kemarau panjang yang keras telah di depan mata. Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), sepertinya akan terpapar paling parah. Prakiraan BMKG menunjukkan, sepanjang Juli ini peluang hujan di daerah ini cukup kecil. Kalau pun ada hujan, intensitasnya rendah saja, sehingga dalam sebulan jumlahnya antara 20-50 mm saja. Bulan-bulan berikutnya relatif sama saja. Kemarau yang terik mengancam.
Situasi ini tentu makin menyulitkan penyediaan air bersih di Jawa, Bali, NTB, dan NTT. Pemantauan BMKG per 30 Juni 2019 menunjukkan, wilayah ini telah memasuki kemarau sejak Juni. Secara umum, hujan sudah absen 20-30 hari. Bahkan, di Wonosari Gunung Kidul DIY dan Bondowoso Jawa Timur, hujan sudah menyingkir selama dua bulan.
Monitoring yang sama menunjukkan bahwa di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi (kecuali Sulsel dan Sulteng), musim kemarau baru mulai bulan Juli. Namun, Aceh, Sumatra Utara, sebagian Riau, Sumatra Barat dan Jambi, masih akan menikmati guyuran hujan, meski dalam jumlah sedang 100-200 mm dalam sebulan.
Sebagian lainnya, sebagian Sumatra Selatan, Lampung, dan bagian Selatan Pulau Kalimantan, akan memasuki kemarau yang meranggas seperti di Jawa, dengan curah hujan kurang dari 50 mm pada Juli 2019. Secara nasional, puncak kemarau diperkirakan pada Agustus-September yang diwarnai dengan hari-hari panas tak berawan. Mengacu pada kondisi 2015, kemarau panjang ini berpotensi mengurangi volume produksi kelapa sawit, menekan tanaman semusim termasuk buah dan sayur (hortikultura) serta merepotkan peternak.
Dengan jarak awal penghujan masih tiga atau empat bulan lagi, memang banyak potensi kesulitan dan kerugian yang bisa timbul akibat cuaca yang meranggas itu. Di Jawa Barat saja, pada awal Juli saja telah terjadi kerusakan di hampir 30 ribu ha tanaman padi sawah, yang 1.600 ha di antaranya puso, alias gagal panen. Boleh jadi, angka kerusakannya akan bertambah seiring dengan waktu.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) per awal Juli 2019 tercatat ada 1.900 ha sawah puso, hampir semuanya di Wonosari Gunung Kidul. Jawa Tengah, dan Jawa Timur pun akan mengalami kerugian. Di Temanggung, Klaten, Kendal (Jateng) volume panen tembakau pada Agustus nanti diperkirakan menurun, begitu halnya dengan tembakau Madura dan Besuki di Jawa Timur.
Kementerian Pertanian sendiri selalu menyiapkan tindakan khusus di tengah kemarau. Asuransi kekeringan pun digulirkan sejak awal tahun lalu. Dari premi Rp180 ribu per hektar, untuk masa perlindungan empat bulan, petani hanya membayar Rp36 ribu. Yang Rp144 ribu disubsidi oleh pemerintah. Nilai pertanggungannya Rp6 juta per hektar. Langkah perlindungan ini merupakan hasil kerja sama Kementan dengan PT Jasindo (BUMN).
Di lapangan, sejak 2016 Kementan pun telah mengoperasikan 2.358 unit pompa untuk irigasi yang bisa menyelamatkan lebih dari 45 ribu ha sawah, 4 ribu ha lahan hortikultura, dan ratusan kandang ternak. Tentu, jumlah itu tak seberapa dibanding kebutuhan yang ada.
Lahan-lahan pertanian yang memperoleh irigasi teknis dari waduk-waduk besar, seperti Jatiluhur, Jati Gede (Jabar), Kedung Ombo (Jateng) atau Karangkates (Jatim) memang bisa selamat melewati kemarau panjang. Tapi, yang dilayani waduk kecil biasanya rawan, apalagi yang tadah hujan. Toh, petani umumnya punya kalkulasi sendiri untuk mengatur pola tanamnya dengan memperhatikan isyarat-isyarat alam, termasuk gejala kemarau.
Bukan hanya dunia pertanian yang terancam, air bersih untuk warga pun menjadi langka tiap kali kemarau tiba. Bahkan, di kota hujan Bogor warga masih kesulitan air bersih. Ini memprihatinkan. Kurang basah apa Bogor dengan curah hujan yang sekitar 4.000 mm (4 meter) per tahun.
Tapi, ada kondisi yang akut. Menurut pantauan BPBD Jawa Barat, lebih 90 persen air hujan sekitar Bogor hanya turun dan langsung melimpas masuk selokan lalu ke sungai dan menghilir ke laut. Tak sampai 10 persen air yang bisa menembus permukaan dan masuk sebagai air tanah. Permukiman yang padat menyulap ruang-ruang terbuka menjadi bangunan, lantai semen, beton, dan aspal. Air tanah mengalami defisit berat. Begitu situasinya sejak puluhan tahun lalu.
Hal serupa juga sering terjadi di daerah Depok, Sawangan, hingga ke Jakarta Selatan yang tergolong zona basah. Berkah air hujan menjadi mubazir karena tidak bisa menembus permukaan tanah dan menjadi air tanah. Secara umum, krisis air tanah akan muncul di tempat-tempat padat dan dengan tingkat eksploitasi air tanah yang masif.
Kondisi buruk juga terlihat di areal tangkapan hujan di daerah-daerah aliran sungai (DAS), terutama di Jawa dan sebagian Sumatra. Areal bervegetasi telah berganti menjadi ruang permukiman, kebun, sawah, atau pabrik. Ketika hujan turun, air pun melimpas ke sungai dan sering membuat genangan di hilir. Di hulu ketersediaan air tanah menyusut. Mata air alam menghilang. Sungai-sungai hanya terisi air di musim hujan. Di musim kemarau, debit airnya menyusut drastis, tinggal 5 persen, atau bahkan 1-2% saja.
Namun, mengandalkan air hujan di tengah bentang alam yang sudah berubah ini cukup riskan. Demi mengamankan pasokan air bersih ke warga, rekayasa tata kelola air perlu terus digencarkan, seperti membangun sumur resapan, embung desa, waduk, cek dam, mempertahankan areal terbuka hijau, sampai membangun waduk-waduk besar seperti yang digencarkan oleh Presiden Joko Widodo pada empat tahun terakhir ini.
Sebagaimana terbukti pada era sebelumnya, waduk-waduk besar bisa menjadi sumber air baku yang bisa diandalkan untuk diolah menjadi air bersih bagi warga. (P-1)