Kini, konsumen wajib lebih waspada bila mau membeli ponsel. Konsumen tidak lagi bisa tergiur ke ponsel dengan harga murah. Padahal sebelumnya konsumen pasti akan tergiur bila ada tawaran ponsel yang lebih murah, dibandingkan bila membelinya ke authorized dealers (diler resmi).
Namun, konsumen kini patut waspada karena pemerintah berencana untuk menerapkan validasi IMEI (international mobile equipment identity). Tujuannya adalah untuk memotong jalur ponsel pintar di pasar gelap (BM – black market) yang sangat merugikan banyak pihak, termasuk pemerintah.
Bayangkan, dengan potensi populasi yang luar biasa, keberadaan pasar ponsel BM sangat diuntungkan. Pasalnya, harganya bisa beda Rp300.000 dengan ponsel legal.
Tak dipungkiri, pasar Indonesia memang sangat menarik. Dan menurut data APSI (Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia), pasar negara ini menyerap 45 juta ponsel pintar (smart phone) baru pada 2018. Dari total jumlah itu, sekitar 20% merupakan ponsel BM.
Keberadaan ponsel BM berpotensi menjadi 30% pada 2019, bila tidak ada kebijakan pemerintah untuk mencegah peredaran ponsel ilegal. Salah satu caranya adalah melalui validasi.
Sinyalemen itu juga dibenarkan Ketua APSI Hasan Aulia. Menurutnya, keberadaan ponsel ilegal sebanyak 20% tahun lalu berarti ada sekitar 9 juta berupa ponsel BM yang kalau selisih harganya dengan ponsel legal rata-rata Rp2,5 juta, nilainya Rp22,5 triliun.
Artinya, ponsel BM tidak bayar pajak menyebabkan potensi kerugian negara dari hilangnya pendapatan 10% PPN dan 2,5% PPh adalah Rp2,8 triliun lebih. Potensi kehilangan pajak akan lebih banyak lagi pada tahun ini. Sebab, porsi ponsel BM bisa 30% dari 50 juta ponsel.
Itu karena pintu masuk ponsel BM di banyak negara, misalnya, Turki, Pakistan, India, dan Rusia, sudah mulai ditutup lewat kebijakan validasi IMEI. Sedangkan, pasar Indonesia sampai saat ini masih terbuka.
Pemerintah mencoba membendung ponsel BM tetapi masih dalam tahap merundingkan bentuk kebijakan yang paling pas agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Ini becermin pada kebijakan registrasi yang menimbulkan gejolak, baik di masyarakat, pedagang kartu perdana, dan juga operator.
Menkominfo Rudiantara mengakui adanya rencana itu. Pemerintah, lanjutnya, sedang mempersiapkan kebijakan pengaktifan ponsel dengan sistem penjodohan (pairing). Antara nomor ponsel MSISDN (mobile subscriber integrated services digital network number) dengan SIM card dan SIM card MSISDN dengan nomor ponsel.
Di ponsel ada yang namanya IMEI. Itu seperti STNK ponsel. Kemudian MSISDN itu seperti STNK SIM card. Nah, kedua SIM card itu harus berpasangan.
“Kami bersama dua kementerian lainnya akan mengeluarkan peraturan Menteri [Permen] pada 17 Agustus. Kami memilih tanggal tersebut, sebagai memontum saatnya merdeka dari ponsel ilegal," ujar Rudiantara, di ruang kerjanya, Jumat (19/7/2019).
Bisa jadi konsumen akan kesal karena mereka harus melakukan proses pendaftaran ulang. Begitu juga dengan penjual kartu yang merasa rezekinya dipersempit dan operator pun bisa menjerit karena jumlah pelanggan mereka berpotensi menurun drastis. Apalagi mereka baru saja terkena kewajiban regulasi registrasi kartu prabayar.
Sebagai gambaran, dan juga dari ekses pemberlakukan kebijakan registrasi, pelanggan Telkomsel turun dari 198 juta menjadi 160 jutaan, XL Axiata dari 56 juta jadi 54 juta, dan Indosat, dari 106 juta tinggal 54 juta pelanggan.
Beda dengan program validasi IMEI yang rencananya dikeluarkan tiga menteri (Perdagangan, Perindustrian, dan Kominfo) pada sekitaran 17 Agustus 2019, di sini pelanggan tidak melakukan apa-apa. Bahkan juga bagi mereka yang sudah pakai ponsel BM.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana memvalidasi IMEI? Jangan khawatir, Kementerian Perindustrian memiliki alat sumbangan Qualcomm Indonesia yang namanya DIRBS (device identification, registration, and blocking system).
Mesin ini punya daftar IMEI ponsel yang didapat dari produsen lokal dan importir resmi, satu IMEI untuk satu slot kartu SIM di ponsel. Angka IMEI dikeluarkan oleh organisasi dunia GSM-A, namun ada saja pabrik abal-abal yang menggandakan IMEI sehingga merepotkan validasi.
Data di DIRBS yang lalu dinamai Sibina (sistem informasi basis data IMEI nasional) itu bisa diakses semua operator. Ketika satu ponsel diaktifkan setelah memasukkan SIM, operator akan mencocokkan dengan daftar Sibina.
Jika IMEI tidak terdaftar, ponsel tadi masuk daftar hitam di jaringan semua operator. Ponsel BM hanya bisa menggunakan jaringan wifi.
Pemerintah akan memberi batas waktu tertentu agar kios yang punya beberapa ponsel BM bisa mendaftarkannya lewat aplikasi yang tersedia. Sementara itu, ponsel BM tetap bisa digunakan asal sebelumnya pernah setidaknya sekali masuk ke jaringan operator.
Ini beda dengan Turki dan Pakistan yang mewajibkan pemilik ponsel BM membayar pajak terutang sebelum bisa diaktifkan kembali. Pemerintah tampaknya juga akan menyasar WNI yang pulang dari luar negeri membawa ponsel, yang tidak bisa mengaktifkan ponselnya dengan kartu SIM lokal sebelum membayar pajaknya.
Turis asing masih bisa menggunakan ponsel mereka dengan SIM negara asal. Namun begitu memasukkan kartu SIM operator lokal, ponselnya akan diblok sebelum mereka mendaftar.
Kebijakan validasi IMEI ikut menguntungkan masyarakat, dengan akan berkurangnya upaya pencurian ponsel, karena ponsel curian akan diblokir operator. Di sisi lain, pemerintah akan ada tambahan pemasukan pajak triliunan rupiah yang sebenarnya bisa didapat sejak lama kalau aparat Kementerian Keuangan (pajak dan bea cukai) ketat mengawasi importasi ponsel.
Bayangkan, berapa besar kerugian negara yang diderita akibat maraknya ponsel BM itu? Sebagai gambaran, saat ini hampir 50% dari impor ponsel BM, menurut APSI, adalah ponsel Xiaomi, disusul Apple/iPhone.
Operator siap mendukung kebijakan pemerintah. Tetapi mereka berharap kebijakan pemerintah tidak memberatkan. Karena, harga perangkat validasi IMEI konon besarannya sejalan dengan jumlah pelanggan. Jadi, selamat tinggal ponsel BM. (F-1)