Pemerintah telah mengantisipasi kemarau ekstrim pada 2019. Menteri Negara/Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Bambang Brojonegoro mengatakan, salah satu isu di tengah kemarau ini adalah soal pangan. “Kemarau panjang ini kan larinya ke soal produksi pangan. Kita antisipasi betul, karena gejolak pangan itu akan berdampak ke inflasi,” katanya kepada wartawan, pertengahan Juli.
Yang menjadi sandaran adalah Perum Bulog, karena perusahaan inilah yang mengelola beras cadangan pemerintah. Sejauh ini, menurut Bambang, stok beras di Bulog aman. Dengan begitu, Perum Bulog akan bergegas terjun melakukan operasi pasar bila harga makanan pokok rakyat ini bergerak naik.
Namun, persoalan Bulog kali ini justru bukan di urusan operasi pasar. Bulog merasa kewalahan karena stok yang melimpah dan memenuhi gudang, sedangkan penyalurannya tersendat. Bulog tak bisa sembarang melempar beras ke pasar, karena bisa berakibat menekan harga beras atau gabah di tingkat petani. Sementara itu, Perum Bulog juga memerlukan ada penyaluran beras secara reguler, agar beras tak terlalu lama menumpuk di gudang dan mengalami penurunan mutu karena dimakan waktu.
Persoalan ini yang mewarnai situasi kemarau. Dirut Bulog Komjen (Purn) Budi Waseso mengeluhkan kebijakan Kementerian Sosial (Kemensos) yang optimal memanfaatkan stok beras Bulog untuk program BPNT (Bantuan Pangan NonTunai). Kemensos dinilai lebih mementingkan rekanan swastanya memasok beras BPNT.
Budi Waseso hampir patah hati. Secara terbuka ia menyatakan niatnya mundur dari posisi Dirut Perum Bulog bila ternyata pihak swasta lebih dikedepankan dalam pengadaan beras bantuan sosial itu. Namun, isu ini tak lama bergulir karena Mensos Agus Gumiwang Kartasasmita kemudian menemuinya, mengajak berembug.
Selama bertahun-tahun, Bolog telah menjadi mitra utama pemerintah dalam penyaluran beras bantuan sosial (bansos). Mulanya disebut bantuan raskin (beras untuk keluarga miskin) baik pada masa Presiden Megawati maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden Joko Widodo mengubahnya menjadi Rastra (beras sejahtera).
Dalam skema raskin, warga prasejahtera yang menjadi penerima manfaat, mendapat jatah 15 kg beras, tapi harus ditebus dengan harga Rp22.500. Di lapangan, banyak jatah beras yang tak terserap karena penerima manfaat tak punya uang untuk menebus. Di era Presiden Jokowi, skema tebusan itu dihapus dan rakyat menerima 10 kg beras. Ada sekitar 15 juta keluarga penerima Rastra.
Kebijakan lalu berubah lagi, yakni sejak 2017 sebagian penerima manfaat rastra diberi kartu debit senilai Rp110 ribu yang ditransfer setiap bulan. Kartu tidak bisa didebit di sembarang tempat, hanya di e-warung yang ditunjuk. Rata-rata satu e-warung melayani 300-500 penerima manfaat. Belakangan, uang bansos itu bisa juga sebagian dibelikan telur. Itulah yang disebut bantuan panggan nontunai (BPNT)
Presiden Jokowi menggeser Rastra menjadi BPNT itu dengan pertimbangan lebih tepat sasaran karena penerimanya tercatat by name-by addres, lebih tepat jumlah karena sulit dipungli, selain menganggap sebagai kebijakan inklusif. Rakyat dikoneksikan ke sistem perbankan. Apa lagi hal yang sama pun telah dilakukan pada Program Keluarga Harapan ((PKH) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Namun, pemindahan dari Rastra ke BTNP itu tak bisa sekaligus di 511 kabupaten/kota di Indonesia. Ada keterbatasan jaringan internet untuk e-warung. Maka, di sebagian tempat kabupaten/kota, BPNT masih dilakukan dengan skema Rastra.
Adanya BTNP ini tentu memangkas jumlah pasokan dari Bulog. Bila dulunya ada bisnis Bulog menjual 1,5--1,6 juta ton beras ke Kemensos, angka itu merosot tak sampai separoh. Bulog kini hanya diserahi 202 kabupaten kota. Itu pun tidak sepenuhnya. Karena Kemensos menggunakan skema pengadaan, tak bisa 100 persen dari Bulog, maksimum 70%, karena ada aturan tentang monopoli dalam pengadaan.
Walhasil, serapan beras Bulog oleh Kemensos semakin merosot. Beras menumpuk di gudang, sirkulasi bisnis tersendat. Padahal, sebagai Perum, bisnis itulah yang mendukung operasional Bulog. Celakanya, akibat terlalu lama di gudang, kini 50 ribu ton beras yang mengalami penurunan mutu dan tidak layak dikonsumsi. Menurut peraturan Menteri Pertanian, beras rusak harus dibuang, tapi belum ada aturan Menteri Keuangan tentang tata cara ganti ruginya.
Situasi itulah yang membuat Dirut Bulog Budi Waseso meradang. Persoalan ini pula yang mengemuka dalam pertemuannya dengan Mensos Agus Gumiwang. Walhasil, ada kesepakatan Mensos menjamin agar Bulog bisa lebih fleksibel untuk menjual berasnya ke Kemensos. Di 202 kabupaten dan kota yang selama ini dilayani Bulog, Kemensos membuka jatah pemasokan sampai 100 persen.
Toh, di lapangan urusannya lain lagi. Aparatur Kemensos masih memerlukan payung hukun untuk bisa membeli 100% dari Bulog. Kebijakan diskresi pembelian itu aturannya sedang dirancang Bappenas dan masih perlu waktu diterbitkan. Sementara itu, Presiden Jokowi tetap pada rencana bahwa Program Rastra yang kini tersisa di 202 kabupaten/kota itu akan diganti pula dengan skema kartu debit BPNT.
Lantas, bagaimana peran Bulog. Barangkali menunggu kabinet baru. Yang pasti, pemerintah juga terus mendorong Bulog mempertahankan stoknya untuk antisipasi kemarau yang membuat panen raya baru akan terjadi Maret 2019. Tampaknya, Budi Waseso masih harus bersabar sambil mencermati situasi pasar beras di tengah kemarau panjang ini. (P-1)