Sepertinya target pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3 persen pada tahun ini masih sulit tercapai. Melihat pada data statistik dari BPS, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I tahun 2019 ini hanya menembus 5,06 persen. Meleset dari target yang dipatok 5,2 persen.
Menurut Ketua Bappenas Bambang Brodjonegoro faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi sulit menembus angka yang dipatok karena beberapa hambatan yang menjadi penghalang investasi. “Faktor penghambat pertumbuhan adalah masalah regulasi dan institusi,” kata Bambang.
Artinya birokrasi pemerintahan masih dianggap belum cukup handal untuk bisa memudahkan investasi maupun melancarkan di sektor perdagangan. Sedangkan hambatan di bidang regulasi masih berlapisnya aturan yang tidak efisien. Sebagai contoh untuk ekspor saja administrasi dan kepabeanan untuk urusan ekspor di Indonesia memakan waktu rata-rata 4,5 hari yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga. Singapura cuma setengah hari, maupun Vietnam, Thailand yang sekitar 2 harian.
Dari sektor investasi, waktu yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan rata-rata 19 hari. Apalagi biaya yang dibutuhkan untuk investasi di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga.
Namun demikian, kemampuan Indonesia memacu ekonominya meski masih di bawah target yang ditetapkan, masih menjadi kekuatan tersendiri. Penataan yang dilakukan Presiden Jokowi mulai dari membangun infrastruktur, penataan birokrasi, dan deregulasi diperkirakan akan mendorong pertumbuhan lebih besar di masa datang.
Faktor-faktor yang terus memacu pertumbuhan ekonomi adalah masih kuatnya posisi fiskal Indonesia dan konsumsi rumah tangga yang masih terjaga. Konsumsi diperkirakan akan terjaga karena kemampuan pemerintah menjadi inflasi. Sedangkan dorongan pertumbuhan lain disebabkan terus digenjotnya pembangunan infrastruktur dan pembangunan kembali daerah yang terkena gempa.
Selama kuartal pertama 2019 terjadi peralihan pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan investasi melambat dari tingkat tertinggi selama beberapa tahun, sementara konsumsi masyarakat dan pemerintah meningkat.
Defisit transaksi berjalan mengecil pada awal 2019 karena impor menyusut lebih cepat dari ekspor akibat pertumbuhan investasi yang melambat.
Kondisi makro keuangan Indonesia telah membaik sejak November 2018. Aliran modal masuk kembali pulih pascagejolak keuangan global pada pertengahan 2018 ketika aliran modal keluar dari negara-negara berkembang lebih besar dari pada saat tingkat suku bunga di Amerika Serikat meningkat di tahun 2013.
Dengan nilai tukar mata uang yang relatif stabil, harga minyak yang rendah, dan harga energi domestik yang stabil, inflasi turun menjadi rata-rata 2,6 persen pada kuartal pertama 2019, tingkat terendah sejak kuartal keempat 2009.
Seperti diketahui pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) masih diproyeksikan melambat. Hal serupa juga terjadi di Eropa dan Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat berpengaruh pada volume perdagangan dan dan harga komoditas global yang menurun. Kecuali harga minyak dunia yang naik pada periode terakhir karena dipengaruhi faktor geopolitik.
Sementara itu, ketidakpastian pasar keuangan dunia yang meningkat dipengaruhi oleh eskalasi perang dagang AS dan Tiongkok sehingga kembali memicu peralihan modal dari negara berkembang ke negara maju, meskipun respons kebijakan moneter global mulai melonggar.
Kedua perkembangan ekonomi global yang kurang menguntungkan tersebut memberikan tantangan dalam upaya menjaga stabilitas eksternal baik untuk mendorong ekspor maupun menarik modal asing.
Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil dan tetap tinggi, Presiden Jokowi tampaknya fokus untuk melakukan pembenahan besar-besaran. Seperti kita dengar dalam pidato Visi Indonesia yang disampaikan Jokowi di Sentul, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Di antara lima poin penting yang disampaikan adalah fokus untuk meneruskan pembangunan infrastruktur, restrukturisasi birokrasi, deregulasi untuk memacu ekonomi dan investasi, serta pembangunan SDM.
Dengan langkah yang lebih konkret itu wajar saja jika Bank Dunia memproyeksikan pada 2023 nanti, Indonesia akan menjadi negara dengan nilai ekonomi nomor 6 di dunia. Saat ini share Indonesia pada perekonomian dunia mencapai
Bahkan Indonesia diprediksi akan menjadi negara dengan ekonomi nomor 4 di dunia pada 2030. Sebenarnya tidak perlu menunggu 2030 untuk melihat perkembangan ekonomi Indonesia. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan yakin Indonesia bisa melompat ke urutan keenam pada 2023.
Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF) yang dikutip Rabu (17/7/2019), Cina tetap akan ada di posisi pertama sebagai negara dengan ekonomi terbesar pada 2023.
Saat ini, pangsa ekonomi Cina sebesar 18,72 persen terhadap ekonomi dunia. Angka itu diperkirakan akan melonjak menjadi 20,56 persen pada 2023.
Adapun Indonesia akan masuk ke posisi keenam di atas Rusia, Brasil, Inggris, dan Perancis. Posisi Indonesia melesat dari urutan ke-13 pada 2000. Saat ini share ekonomi Indonesia sebesar 2,59 persen. Pada 2023, angkanya diperkirakan melonjak menjadi 2,8 persen.
Pada 2023, menurut hitungan IMF ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5,4 persen. Sedangkan PDB per kapita Indonesia akan mencapai 5.120 per dolar AS, atau Rp71,6 juta. (E-1)