Indonesia.go.id - Menjaga Momentum Pertumbuhan

Menjaga Momentum Pertumbuhan

  • Administrator
  • Selasa, 30 Juli 2019 | 22:32 WIB
PERBANKAN
  Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di kantor Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (20/6/2019). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

BI mengambil kebijakan mendahului Bank Sentral AS untuk memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 5,57%. Suku bunga deposito diperkirakan akan menyusul turun dalam sebulan. Sedangkan bunga kredit baru menyesuaikan dalam tiga bulan ke depan.

Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan BI sebesar 25 basis poin menjadi 5.75 persen. Diharapkan penurunan suku bunga ini akan lebih menggairahkan dunia usaha. Sebab pada akhirnya akan diikuti oleh penurunan suku bunga kredit. Istilahnya dengan dipangkasnya suku bunga, maka cost of fund akan turun.

Cost of fund adalah biaya yang dibutuhkan bank untuk memperoleh simpanan setelah ditambah dengan cadangan wajib yang ditentukan oleh pemerintah.

Memang butuh jeda beberapa saat agar suku bunga kredit turun mengikuti suku bunga acuan ini. Biasanya pada tahap awal akan direspons oleh suku bunga di pasar uang antarbank. Baru kemudian akan berpengaruh ke suku bunga kredit. Umumnya membutuhkan waktu tiga bulan. Artinya bagi dunia usaha, kebijakan pemerintah itu baru akan dirasakan sekitar tiga bulan ke depan. Sementara itu untuk suku bunga deposito biasanya lebih cepat, sekitar satu bulan.

Berdasarkan data per April 2019, posisi rata-rata suku bunga deposito perbankan 12 bulan sekitar 6,94 persen. Sementara itu, suku bunga kredit modal kerja sekitar 10,53 persen. Belum tahu berapa besar penurunan yang dimungkinkan nanti. Tapi setidaknya, kebijakan ini memberi angin segar bagi dunia usaha.

Selain penurunan suku bunga, BI juga telah melakukan beberapa bauran kebijakan lain untuk memenuhi kebutuhan likuditas perbankan, salah satunya penurunan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) denominasi Rupiah sebesar 50 bps pada bulan lalu.

Dengan demikian, meski tahun lalu BI secara agresif menaikkan suku bunga sebesar 175 bps, dan sejak November 2018 menahannya di level 6 persen, terjadi anomali dengan suku bunga kredit yang justru turun sebesar 23 bps.

Penurunan suku bunga ini diperkirakan akan berdampak pada aktivitas ekspor dan impor. Hal ini karena biaya untuk pinjaman perusahaan ekspor impor ke bank menjadi lebih murah dari biasanya. Dengan ini bisa diasumsikan permintaan kredit akan meningkat, lalu ekspektasi konsumen terhadap kredit juga melonjak.

Kebijakan ini semakin menguatkan fungsi bank sebagai intermediasi lembaga jasa kekuangan. Apalagi BI juga sudah mengambil kebijakan pelonggaran kewajiban Giro Wajib Minimum kepada perbankan. Dana masyarakat bisa dengan cepat disalurkan kepada sektor industri.

Sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga akan mengalami dampak paling positif, seperti sektor properti, keuangan, konstruksi, dan sektor-sektor turunannya.

Di tengah ketidakpastian ekonomi dunia akibat belum kelarnya perang dingin AS-Cina, kebijakan ini diharapkan bisa memberikan angin segar untuk tetap mendorong ekonomi Indonesia. Namun ada juga yang melihat, pelemahan ekonomi Cina akibat perang dagang akan berimbas tidak efektifnya kebijakan penurunan suku bunga itu. Kalau diperhatikan kebijakan moneter dalam lima tahun terakhir tidak berimbas banyak pada perekonomian.

Seolah ekonomi sudah kebal dengan kebijakan moneter. Karena itu, ada pengamat yang memprediksi bahwa suku bunga BI akan terus dikerek turun sampai batas 5,5% sampai akhir tahun. Apalagi kebijakan penurunan suku bunga ini sebetulnya hanya menetralkan kenaikan suku bunga yang dilakukan pada tahun lalu sebesar 175 basis poin.

Langkah BI pada tahun ini menurunkan suku bunga tidak bisa dianggap sebagai kebijakan yang agresif, sebab hanya memindahkan perseneling ekonomi dari tertahan menjadi lebih netral. Istilahnya, kondisi jalan kendaraan akan normal kembali.

Yang perlu juga diingat, penurunan suku bunga ini akan berdampak pada larinya modal asing, khususnya yang bersifat jangka pendek. Di bursa saham Indonesia, misalnya, langkah BI yang mendahului Bank Sentral AS ini menyebabkan investor asing meninggalkan saham-saham perbankan.

Secara keseluruhan, kebijakan ini dianggap sebagai usaha menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah kondisi ekonomi dunia yang tidak stabil. (E-1)