Indonesia.go.id - Kembali Ke Bahan Baku Alam

Kembali Ke Bahan Baku Alam

  • Administrator
  • Rabu, 31 Juli 2019 | 04:03 WIB
LINGKUNGAN HIDUP
  Sejumlah aktivis lingkungan menggelar pawai bebas plastik di Jakarta, Minggu (21/7/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Di tengah-tengah kampanye larangan penggunaan kantong plastik termasuk sedotan plastik, larangan itu ternyata menumbuhkan inovasi di masyarakat.

“Mbak, bisa minta straw-nya?,” pinta saya kepada pelayan di satu rumah makan di bilangan Thamrin, Selasa (30/7/2019). Sang pelayan pun merespons dengan cepat sembari meminta maaf mengatakan, “Maaf pak, kami kini tak menyediakan sedotan plastik lagi.”

Begitu juga ketika saya membeli produk untuk kebutuhan rumah tangga ke salah satu toko ritel, pelayan toko ritel itu selalu menawarkan apakah butuh kantong plastik. Namun, di akhir layanannya, pelayan selalu memberitahukan untuk mendapatkan kantong itu harus membayar Rp200 per kantong.

Biasanya konsumen menolak bila ada biaya tambahan tersebut. Pasalnya, konsumen selama ini sudah termanjakan dengan pemberian kantong plastik gratis. Adanya tuntutan dan komitmen dunia terhadap hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan, larangan penggunaan kantong plastik tersebut kini gencar dikampanyekan.

Plastik dinilai memiliki bahan baku berbahaya dan tidak mudah terurai. Artinya, bahan material plastik sangat tidak berkelanjutan dan tak ramah lingkungan. Dalam rangka itu, pemerintah tengah menyiapkan regulasi berkaitan dengan larangan penggunaan material plastik tersebut.

Regulasi itu berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Salah satu bentuk larangan itu adalah rencana pengenaan cukai bagi penggunaan kantong plastik.

Seperti disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah  berencana memasukkan penerapan cukai kantong plastik tersebut dalam APBN 2020.

Hal itu, berbarengan dengan penyesuaian tarif cukai pada beberapa kelompok produk kena cukai. “Untuk 2020 nanti juga akan ada penyesuaian tarif cukai, maupun untuk tambahan barang kena cukai baru," kata Sri Mulyani di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (15/7/2019).

Salah satu barang kena cukai yang akan dimasukkan dalam APBN 2020 adalah kantong plastik. Saat ini, pemerintah masih melakukan simulasi atau kajian atas penerapan cukai kantong plastik.

Pengendalian Konsumsi

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menegaskan rencana tersebut demi meningkatkan penerimaan negara serta pengendalian konsumsi. Mengingat plastik merupakan barang yang mampu mencemari lingkungan.

“Seperti plastik yang bisa meningkatkan dari sisi penerimaan tapi bisa diandalkan mengendalikan konsumsi," jelas dia.

Simulasi pun sudah dibuat. Masyarakat bakal dibebani cukai kantong plastik demi mengurangi konsumsi barang tersebut yang dianggap berdampak negatif terhadap lingkungan. Dana dari hasil cukai tersebut nantinya akan digunakan untuk membiayai pengelolaan sampah.

Cukai kantong plastik direncanakan sebesar Rp30.000 per kilogram atau Rp200 per lembar. Namun pemerintah belum bisa menyebutkan berapa target dana yang terhimpun dari cukai tersebut. Yang jelas pemanfaatannya adalah untuk masyarakat.

"Uang itu juga akan di-recycle lagi, dari pemerintah akan diberikan lagi. Dana-dana itu lah untuk pengelolaan sampah," kata Kabid Kebijakan Kepabeanan dan Cukai Nasrudin Joko Surjono di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (12/7/2019).

Di tengah-tengah kampanye larangan penggunaan kantong plastik termasuk sedotan plastik, larangan itu ternyata menumbuhkan inovasi di masyarakat. Salah satunya adalah produk alami ramah lingkungan sebagai pengganti sedotan yang biasa menggunakan bahan baku plastik. Orang modern menyebutnya, Bamboostraw.

Dan, bambu straw ini ternyata lebih ramah lingkungan, bahkan bisa digunakan berkali-kali. Tidak seperti sedotan plastik yang hanya sekali pakai buang. Artinya, tidak mengotori lingkungan.

Warga satu desa di Ngalik, Sleman pun kini mulai memproduksi produk sedotan bambu. Benar, bahan baku bambu merupakan bahan baku yang ada di seputaran kita saja. Inovasi sedotan tentu bisa menjadi inspirasi bagi warga daerah lain untuk memproduksi produk sejenis dan tentunya akhirnya bisa menjadi substitusi penggunaan sedotan plastik yang sudah menjadi budaya kita selama ini.

Adanya kesadaran menggunakan produk ramah lingkungan  tentu menjadi berkah bagi masyarakat untuk melakukan inovasi berupa sedotan berbahan baku bambu seperti warga Ngaglik, Sleman tersebut,  bahkan mereka kini rutin memasok sedotan bambu ke sejumlah restoran, kafe maupun hotel-hotel. Benar, di Indonesia kaya akan bahan baku bambu dan kita tinggal mengolahnya saja. (F-1)