Kini semua lini bergerak. Direktorat Jenderal (Ditjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan sedang ‘ngebut’ menuntaskan penyusunan peta jalan (roadmap) pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Kementerian itu menilai penyusunan roadmap merupakan salah satu upaya mencapai target bauran energi 23% pada 2025 sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Paris Agreement.
“Isi dari roadmap itu nantinya mencantumkan potensi EBT di setiap daerah, regulasinya seperti apa, teknologi apa saja yang akan digunakan, dan pendanaannya. Kondisi sekarang kan masih banyak impor minyak, pengembangan energi terbarukan harus disegerakan,” tulis laporan kementerian tersebut.
Melalui penyusunan roadmap, pengembangan EBT nantinya diharapkan mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak serta mendorong pembangunan pembangkit energi baru terbarukan. Dalam penyusunannya, akan dibentuk tim dengan fokus pendekatan, yaitu teknologi, ekonomi (dana murah) dan kebijakan.
Benar, Indonesia harus segera menuju pembangunan dunia yang berkelanjutan. Salah satu wujud komitmen itu, Indonesia juga ikut Paris Agreement pada 2016. Isi kesepakatan itu adalah seluruh dunia ditantang untuk dapat membatasi kenaikan temperatur global di bawah 2°C dan menuju emisi netto yang nol (net-zero emission) sebelum pertengahan abad ini.
International Energy Agency (IEA) memperkirakan untuk dapat mencapai target 2°C maka sebanyak 1.520 gigawatt (GW) kapasitas pembangkit berbasis fosil di seluruh dunia, di mana 1285 GW adalah PLTU batu bara harus ditutup sebelum 2040.
Indonesia juga merupakan salah satu negara pendukung Paris Agreement dan telah meratifikasinya melalui UU No. 16/2016 dan telah menetapkan Natlonally Determined Contribution (NDC) yang menetapkan sasaran penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan usaha sendiri, dan tambahan 12% dengan dukungan internasional, sehingga menjadi 41% pada 2030.
Kurangi Laju Emisi
Dengan ratifikasi ini Indonesia harus ikut serta dalam upaya global mengurangi laju emisi GRK, khususnya dari sektor energi. Itu semua bagian dari komitmen penyediaan energi yang bersih dan terjangkau seseuai dengan salah satu tujuan (goals) dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di pelbagai negara, termasuk Indonesia.
Selain sedang menyiapkan penyusunan peta jalan (roadmap) pengembangan EBT, Indonesia dalam konteks komitmen penyediaan energi bersih dan terjangkau, sebenarnya mempunyai pijakan pengembangan sub sektor itu melalui amanat Kebijakan Energi Nasional, yakni komitmen mengurangi konsumsi minyak dan memperluas penggunaan energi terbarukan.
Bahkan, di cetak biru Kebijakan Energi Nasional cukup jelas menyebutkan jadwal dan besaran persentase yang harus dicapai, yakni pada 2025 peran energi baru dan terbarukan bisa mencapai 25% pada 2025. Porsi itu naik menjadi 36% pada 2050.
Pertanyaannya berikutnya adalah apakah komitmen hanya sebuah janji manis di sebuah kertas saja? Ternyata tidak. Di sektor kelistrikan misalnya, menurut data PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), kontribusi energi baru dan terbarukan bisa dikatakan cukup berbunyi juga, yakni mencapai 12,23%.
Seperti disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Indonesia cukup fokus untuk mengembangkan energi baru terbarukan, seperti kewajiban penggunaan biodiesel sebesar 20% pada bahan bakar minyak jenis solar dan menetapkan peraturan mengenai solar PV pada rooftop.
“Kami mencoba untuk mencapai setidaknya 25% bauran energi pada 2025. Banyak orang yang bertanya, apakah target itu dapat dicapai? Tentu kami akan berusaha untuk mencapai target itu,” ujar Jonan optimistis.
Menteri ESDM itu juga mengklaim, saat ini posisi bauran energi di Indonesia sudah semakin membaik. Meskipun perlu ekstra kerja untuk bisa mencapai target bauran energi sebesar 25% pada 2025, Jonan dengan bangga menyebutkan Indonesia kini sudah mengantongi bauran energi dari energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 12,32% pada 2018.
Tak hanya itu, Indonesia juga sudah mampu mengurangi tingkat emisi karbon. Pada 2017, tingkat emisi karbon mencapai 36 juta ton. Hingga akhir 2018, penurunan tingkat emisi karbon di Indonesia diharapkan bisa mencapai 40 juta ton CO2.
Paling tidak, butuh sekitar 10% hingga 2025. Target nasional, penurunan emisi gas rumah kaca, sampai akhir tahun bisa sampai 60 juta ton. “Ini merupakan komitmen Indonesia untuk mengurangi efek rumah kaca."
Salah satu instrumen percepatan bauran energi itu adalah penggunaan biodiesel di segala sektor bisa mendongkrak bauran energi secara nasional. Sebagai catatan, di sektor BBM, saat ini tingkat bauran energinya masih sekitar 10%.
Dengan penggunaan FAME (Fatty Acid Methyl Esters/bahan baku biodiesel) dalam solar sebesar 20%, maka capaian bauran energi di sektor BBM bisa mencapai 15%. Sebagai ilustrasi, dengan konsumsinya total 27 juta kiloliter, kemudian dicampur CPO 20% yang menghasilkan produk B20, penggunaan renewable (energi terbarukan) saja sudah 20%.
Artinya, kabar sedih berupa pengenaan bea masuk 8%-18% terhadap produk biodiesel asal Indonesia dari Uni Eropa sebenarnya bisa menjadi pelecut bangsa ini untuk segera bangkit menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa besar dan mandiri. (F-1)