Peristiwa satu nasabah fintech (financial technology) harus menerima penderitaan fisik dan psikis, tidak hanya dikejar-kejar oleh debt collector. Nama baik sang nasabah pun jadi korban karena data berupa video pribadi yang masuk kategori tidak layak tayang bisa dikuasai oleh perusahaan fintech itu untuk disebarluaskan ke publik.
Peristiwa mirip seperti cerita di atas intensitasnya semakin meningkat dan tentu sangat meresahkan masyarakat. Ada kesan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK)—otiritas yang membina layanan keuangan berbasis digital—diam saja terhadap praktik-praktik fintech peer to peer lending yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Apa benar OJK dan Polri berdiam diri terhadap praktik fintech peer to peer lending yang meresahkan tersebut? Ternyata tidak. Kebanyakan institusi fintech yang melakukan praktik seperti itu adalah perusahaan jasa pinjaman berbasis digital ilegal dan tak terdaftar di OJK.
Polri pun ternyata sudah mendeteksi operasi fintech peer to peer lending ilegal tersebut. Seperti disampaikan Kasubdit II Dittipidsiber (Direktorat Tindak Pidana Siber) Bareskrim Polri Komisaris Besar Polisi Rickynaldo, masyarakat diminta lebih bijaksana dalam menyikapi perkembangan digital ekonomi agar tak menjadi korban.
"Transaksi fintek itu tidak harus bertatap muka, skemanya antara peminjam dan pemodal ini ditemukan dalam satu aplikasi. Aplikasi yang ada di marketplace itu menjadi sarana prasarananya untuk proses pinjam meminjam di dunia fintek," ujarnya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (2/8/2019).
Ada enam kategori tindak pidana yang sering dilakukan perusahaan fintech ilegal tersebut. Pertama, penyadapan data. Kedua, penyimpanan data pribadi. Ketiga, pengiriman gambar porno. Keempat pencemaran nama baik. Selanjutnya, pengancaman dan manipulasi data. Terakhir yakni ilegal akses.
"Hal itulah yang bisa kita jerat dalam pasal-pasal yang sudah terangkum dalam UU ITE. Lebih daripada itu, belum ada kami temukan pasal-pasal lain yang bisa menjerat para fintek ilegal ini," katanya.
Sebenarnya dalam rangka mengerem laju praktik operasi fintech ilegal itu, baik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Mabes Polri), telah ada kesepakatan untuk menindak tegas pelaku insvestasi dan tekfin (teknologi finansial) ilegal yang nakal tersebut.
Bahkan, OJK dan Bareskrim Polri juga telah membentuk Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas Waspada Investasi (SWI). Tujuan satgas itu adalah bertindak tegas fintech legal itu selain melindungi kepentingan masyarakat.
"Satgas Waspada Investasi berkomitmen meningkatkan koordinasi mempercepat penindakan terhadap perusahaan investasi dan fintech (tekfin) ilegal yang telah ditangani Satgas Waspada Investasi, tetapi masih beroperasi," tambah Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing.
Tak terdaftar
Menurut data OJK, fintech peer-to-peer lending tidak terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK sesuai POJK Nomor 77/POJK.01/2016 yang berpotensi merugikan masyarakat telah mencapai 826 entitas pada 2019 dari semula 404 entitas hingga akhir 2018.
Data SWI itu juga menjelaskan berdasarkan hasil penelusuran tim itu mendapatkan data bahwa lokasi server entitas sebanyak 42% entitas tidak diketahui asalnya, 22% berasal dari Indonesia, 15% dari Amerika Serikat, dan sisanya dari berbagai negara lainnya.
Tak dipungkiri, media jasa pinjaman berbasis digital telah menjadi media jasa fintech yang berkembang seperti cendawan di musim hujan. Kendala masyarakat untuk memperoleh pinjaman yang selama ini dinilai sulit memperolehnya dari perbankan nasional telah terjembatani melalui perusahaan fintech peer to peer lending tersebut.
Pasalnya, untuk memperoleh pinjaman dari perusahaan fintech peer to peer lending sangat mudah. Peminjam tak perlu harus bertatap muka, skemanya antara peminjam dengan pemodal ini ditemukan dalam satu aplikasi. Aplikasi yang ada di marketplace itu menjadi sarana prasarananya untuk proses pinjam meminjam di dunia fintek. Cukup sediakan data yang diminta, tunggu beberapa saat untuk diproses dan dana pun cair.
Soal suku bunganya? Jangan ditanya, risiko bila melakukan pinjaman ke fintech peer to perer lending mirip ‘rentenir’, suku bunga yang dikenakan di atas suku bunga bank. Bahkan berlipat-lipat, terutama fintech peer to peer ilegal. Akibat nasabah tak mampu membayar pinjaman beserta bunganya yang menggunung, terjadilah praktik yang meresahkan masyarakat tersebut.
Data OJK menyebutkan akumulasi pinjaman mencapai Rp41,04 triliun selama 2018. Outstanding pinjaman Rp8,32 triliun, pemberi pinjaman 480.300, dan peminjam mencapai 8,75 juta orang. Itu semua berasal dari 113 perusahaan yang terdaftar dan berizin di OJK Per 31 Mei 2019.
Nah, bagaimana sebenarnya ciri-ciri fintech peer to peer lending yang masuk ilegal itu. Tim SWI mengidentifikasi fintech ilegal selain tidak terdaftar, mereka memiliki ciri-ciri perilaku, antara lain, tidak ada identitas dan alamat yang jelas, pemberian pinjaman sangat mudah.
Selain itu, mereka tidak memberikan informasi bunga dan denda yang jelas, bunga dan denda tidak terbatas, penagihan tidak ada batas waktu, melakukan ancaman teror kekerasan, penghinaan, pencemaran nama baik, menyebarkan foto/video pribadi, dan tak ada layanan pengaduan.
Jadi, bisa jadi Anda kini lagi kesulitan dana, dana pinjaman dari fintech peer to peer lending jadi salah solusinya karena kecepatan dan kemudahannya. Namun, Anda tetap harus hati-hati. Teliti sebelum memilih satu jasa fintech tersebut. Waspada-waspadalah. (F-1)