Potensi kehilangan pajak yang lebih besar karena peredaran ponsel ilegal di Indonesia pada 2019 mau tidak mau mendorong adanya tindakan nyata dari pemerintah untuk menerapkan segera aturan validasi IMEI yang rencananya baru akan memasuki fase operasional 17 Februari 2020.
Dalam rangka itu, pemerintah tidak menerapkan regulasi validasi IMEI (International Mobile Equipment Identity) secara serta-merta. Artinya, penerapannya akan dilakukan secara bertahap.
Seperti disampaikan Dirjen SDPPI (Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika) Kementerian Kominfo Ismail, pemerintah membaginya dalam tiga kerangka waktu dalam rangka pengendalian IMEI tersebut.
Pertama, fase inisiasi yang ditandai dengan penandatanganan tiga peraturan menteri (Permen), yakni Kemenkominfo, Kemenperin, dan Kemendag. Kedua, fase persiapan, yakni pemerintah menyiapkan Sibina (Sistem Informasi Basisdata IMEI Nasional), menyiapkan Database IMEI baik TPP Impor dan Produksi, data Dump Operator Selular, dan Stok Pedagang. Berikutnya ada White list (yang terdiri dari exception list (pairing IMEI-IMSI).
Kedua, fase pemberlakuan Pengendalian IMEI. Data TPP (Tanda Pendaftaran Produk) impor dan produksi, data dump operator selular, dan produk handcarry dan orang asing masuk ke Sibina.
Dari data itu, pemerintah kemudian mengkatagorikannya dalam produk black list, exception list, dan notification list. Ini semua bagian fase kedua (fase persiapan) setelah fase pertama (fase inisiasi).
Fase ini juga melingkupi persiapan penyiapan Sibina, penyiapan database IMEI, pelaksanaan tes, sinkronisasi data operator seluler, sosialisasi, penyiapan SDM, SOP Kemenkominfo, Kemenperin, Kemendag, dan operator seluler serta penyiapan pusat layanan konsumen.
Ketiga, fase operasional. Fase ini berupa eksekusi tiga daftar oleh operator, pengiriman notifikasi oleh operator ke pemegang IMEI duplikat untuk membuktikan keaslian perangkat, penyediaan layanan lost & stolen, dan sosialisasi lanjutan.
Dalam konteks validasi IMEI ponsel ilegal itu, Ismail menambahkan, peran Kemenperin dalam konteks itu adalah menyiapkan database dan Sibina, Menyiapkan SOP Tata Kelola Sibina, SOP Device verification system, SOP Device Registration System. SOP itu berupa identifikasi stok pedagang dan handcarry yang disiapkan bersama Kemendag, dan SOP lost & stolen. Untuk fase itu, Kemenperin bekerja sama dengan Kemkominfo.
Di sisi lain, Kemkominfo bukan tidak ada perannya terhadap rencana penerapan regulasi validasi IMEI tersebut. Kementerian itu juga harus meminta operator menyediakan SOP layanan lost & stolen, meminta operator mengirimkan data dump sebelum pelaksanaan pengendalian IMEI, meminta operator menyiapkan sistem penghubung antara Sibina dan EIR (Equipment Identity Register), meminta operator menyiapkan EIR, dan meminta operator mengeksekusi daftar yang dihasilkan Sibina
Begitu juga peran Kementerian Perdagangan tidak kalah pentinnya. Kementerian di bawah komando Enggartiasto Lukita itu juga diharapkan bisa membina pedagang untuk mendaftarkan stok IMEI peangkat ke Sibina.
Selain itu, kementerian itu juga perlu menyiapkan sistem penghubung untuk device registration system, butuh waktu 6 bulan pertama untuk stok pedagang, dan melakukan pendaftaran handcarry dan layanan VIP
ATSI Mendukung
Sebagai lembaga yang juga ikut terlibat berkaitan dengan rencana keluarnya regulasi validasi ponsel, Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI)—wadah organisasi operator selular—tentu sangat berkepentingan dan mendukung terhadap rencana kebijakan tersebut.
Menurut Wakil Ketua Umum ATSI Mirza Fachys, ATSI sangat berkepentingan terhadap kebijakan IMEI. Ada tiga hal yang disoroti oleh ATSI berkaitan dengan rencana regulasi tersebut.
Pertama, banyaknya importir perangkat ponsel BM yang ditengarai jumlahnya mencapai 10 juta, dan negara dirugikan dengan praktik itu hingga Rp2-3 triliun per tahun.
Kedua, banyaknya pencurian. Adanya kebijakan IMEI itu tentu bisa sekaligus menanggulangi pencurian itu. Artinya, ada perlindungan konsumen. ATSI sangat mendukung kebijakan IMEI. “Bagi ATSI, praktik ponsel jenis ini patut untuk tidak akan dilayani. Kami sangat mendukung regulasi tata kelola IMEI untuk menghindari kerugian negara serta perlindungan konsumen.”
ATSI juga menilai pemerintah tetap harus meningkatkan pengendalian dan pengawasan impor, perdagangan serta industri perangkat selular. Di sisi lain, regulasi tata kelola IMEI hanya dikenakan bagi perangkat selular baru dan memberikan amnesti kepada perangkat yang sudah ada dan beredar selama ini.
Mirza juga mengingatkan regulasi tata kelola IMEI hanya boleh menambah beban operator selular, baik secara investasi maupun operasional jaringan. Menurut taksiran asosiasi itu, setiap operator membutuhkan investasi dengan adanya regulasi itu mencapai sekitar Rp200 miliar.
“Harapan kami tentunya investasi yang dikeluarkan ya seminimum mungkin.”
ATSI juga siap memberikan seluruh data IMEI yang aktif di jaringan operator. Bahkan, operator juga mendukung pelaksanaan blocking layanan atas IMEI yang diyatakan blacklist oleh pemerintah. Namun, operator bukan pihak yang menentukan blacklist.
Lembaga itu juga mengingatkan agar regulasi tata kelola IMEI harus pro terhadap pelanggan. “Kami juga meminta agar regulasi tata kelola IMEI harus mengizinkan turis/orang asing menggunakan SIM card lokal pada perangkatnya.”
Mirza menilai ruang lingkup regulasi tata kelola IMEI semata-mata untuk mengatasi permasalahan perangat impor ilegal, pencurian perangkat guna untuk melindungi konsumen.
Oleh karena itu, ATSI juga menilai sosialisasi secara massif kepada seluruh lapisan masyarakat, baik pengguna maupun pedagang, harus dilakukan sebelum tanggal efektif. “Penentuan tanggal efektif sangat kritis, perlu hati-hati dan tidak terlalu singkat.” (F-1)