Indonesia.go.id - Gundala Beraksi di Layar

Gundala Beraksi di Layar

  • Administrator
  • Jumat, 9 Agustus 2019 | 02:36 WIB
PERFILMAN
  Para pemeran film Gundala karya sutradara Joko Anwar. Foto: Istimewa

Indonesia adalah pangsa pasar film yang potensial. Mencoba membayangi sukses Marvel yang menggelar serial Avanger di layar bioskop, produksi film Indonesia mencoba mengangkat kesaktian superhero lokal. Dalam enam tahun ke depan akan banyak jagoan kita berkelahi di layar lebar.

Agustus nanti kita akan disuguhi film superhero lokal yang diharapkan tidak kalah dengan film-film Hollywood, seperti seri Avanger. Film besutan sutradara Joko Anwar yang mengangkat tokoh Gundala ini merupakan adaptasi dari komik yang terbit sejak 1969 karangan Harya Suraminata (Hasmi). Komik hitam putih itu terinspirasi dari kisah Ki Ageng Selo, seorang sakti mandraguna yang mampu menangkap petir. Nama Gundala sendiri diambil dari kata Gundolo, yang artinya petir.

Sebetulnya Indonesia sendiri memiliki banyak tokoh superhero. Mereka lahir sebagai ‘lawan’ ketika tokoh-tokoh asing seperti Superman, Batman, atau Spiderman mendominasi dunia imajinasi anak-anak. Selain Gundala, kita juga mengenal Maza, Godam, Aquanus, Si Buta Dari Gua Hantu, atau Mandala. Kesemuanya cukup berakar dalam benak masyarakat. Hanya saja ketika tokoh-tokoh superhero asing menyerbu masuk ke Indonesia, superhero lokal justru kehilangan pengaruhnya. Komik asing terbitan DC atau Marvel menguasai pasar. Sementara komik lokal yang bernuansa hitam putih kurang bisa diterima masyarakat.

Sebagai sebuah film, Endgame berhasil mencetak penjualan lebih dari USD2 miliar. Posisinya setingkat di bawah film terlaris sepanjang masa, Titanic. Keberhasilan Avanger ini, mungkin akan membantu Gundala untuk mencapai penonton. Sebab imajinasi publik bisa saja menyangkutkan Gundala dengan sekawanan superhero karya Marvel yang menghebohkan itu. Untuk tata suara, Gundala adalah film pertama yang menggunakan teknologi Dolby Almos di Indonesia.

Sebetulnya film Gundala ini bukan tayangan pertama superhero lokal di layar lebar kita. Sebelumnya kita sudah mengenal Si Buta dari Gua Hantu yang diperankan Dicky Zulkarnaen. Atau ada juga Jaka Sembung yang diambil dari komik karangan Djair Warni yang terbit pada 1970-an. Tapi menilik dari pelibatan ribuan pemain dan proses produksinya yang lumayan canggih, diharapkan mampu memberikan suguhan alternatif kepada penonton. Proses penulisan skenarionya sendiri sudah dimulai sejak dua tahun lalu.

Meniru gaya Marvel dalam memproduksi Avanger, Screenplay Picture sebagai rumah produksi berencana akan membuat film-film dari tokoh superhero lokal selama enam tahun ke depan. Film Gundala ini sebagai pembuka jagoan komik Indonesia. Kisah serial Jagat Sinema Bumilangit akan dirangkai mirip dengan Avannger, di mana antara satu superhero dan superhero lainnya ada rangkaian kisah yang mempertemukan.

Sepertinya kita boleh optimistis superhero lokal akan mendapat tempat di antara penonton film Indonesia. Dalam konvensi film tahunan terbesar di Asia, CineAsia menilai bahwa Indonesia merupakan pasar film paling potensial di kawasan Asia Pasifik. Pada 2017 Asia Pasifik memberikan sumbangan box office sebanyak USD16 miliar atau meningkat 44 persen dalam kurun waktu lima tahun.

Indonesia menjadi negara Asia Pasifik yang memiliki perkembangan yang paling signifikan. Industri film Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan dengan 28 persen peningkatan box office per tahun dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Pada 2017, Indonesia menduduki posisi 16 pasar film terbesar di dunia.

Hal ini seiring dengan pertumbuhannya yang mencengangkan, baik dari sisi jumlah penonton, layar lebar, serta banyaknya film-film Indonesia yang ditonton oleh jutaan pemirsa. Pertumbuhan jumlah penonton di bioskop Indonesia sangat pesat, mencapai 230% dalam lima tahun terakhir.

Jumlah layar di studio juga tumbuh cepat dari 800 layar lebar menjadi 1.800 layar dalam tempo tiga tahun terakhir. Pangsa pasar film di Indonesia bernilai rata-rata USD345 juta atau sekitar Rp4,8 triliun. Namun, jumlah layar tersebut masih sangat kurang, karena yang ideal untuk Indonesia dengan populasi 260 juta jiwa seharusnya 10 ribu screen. Yang tak kalah penting adalah semakin banyaknya film Indonesia yang masuk box office, ditonton oleh jutaan pemirsa.

Tidak mengherankan jika semakin banyak investor dan perusahaan film mancanegara yang melirik. Contohnya, produser Fox Internasional Productions dari 20th Century Fox Film Corporation terlibat dalam produksi film Wiro Sableng. Sony Pictures Entertainment sedang memproduksi film di Indonesia. Perusahaan film terbesar asal Korea Selatan, Lotte, juga sedang proses ekspansi melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Selain faktor populasi sebetulnya pertumbuhan pesat di industri film juga didorong oleh kebijakan pemerintah yang memberikan kebebasan investor asing untuk membiayai sepenuhnya produksi film di Indonesia. Sayangnya pasokan artis dan aktor pemain film masih terbatas sehingga pemain yang muncul tetap orang-orang yang sama. (E-1)