Indonesia.go.id - Kolaborasi Negeri Serumpun Menolak Diskriminasi

Kolaborasi Negeri Serumpun Menolak Diskriminasi

  • Administrator
  • Minggu, 18 Agustus 2019 | 18:39 WIB
DIPLOMASI SAWIT
  Bahan bakar biodiesel. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio

Pengenaan bea masuk (BM) bagi produk biodiesel asal Indonesia dari Uni Eropa sebesar 8%-18%. Meskipun baru diterapkan pada 2020, bisa dikatakan telah melukai harga diri bangsa ini.

Sejumlah langkah yang diambil Pemerintah Joko Widodo untuk menyelamatkan komoditas andalan negeri ini pun telah diambil. Misalnya, dengan percepatan penggunaan FAME (Fatty Acid Methyl Esters/bahan baku biodiesel) dalam solar dengan komposisi CPO 20% untuk menghasilkan B20. Rencana penggunaan B20 sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Presiden No. 66/2018 soal kewajiban penyediaan minyak solar dalam negeri.

Tidak berhenti di B20, pemerintah pun melangkah lebih jauh dengan uji coba B30 hingga B100. Bahkan, menurut laporan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), kinerja serapan biodiesel sepanjang semester I 2019 sangat impresif.

Sepanjang periode Januari-Juni 2019, penyerapan biodiesel mencapai 3,29 juta ton atau naik 144% dibandingkan dengan periode yang sama 2018 yang hanya mampu menyerap sebesar 1,35 juta ton.

Angka ini menunjukkan program mandatori B20 telah berjalan dengan baik di PSO dan non-PSO. Pemerintah tetap diharapkan untuk mengakselerasi mandatori B30 yang saat ini uji cobanya sedang berlangsung. Dan, berikutnya B100.

Sejumlah aksi penyelamatan kinerja komoditas kelapa sawit dengan mendorong penyerapannya di dalam negeri ternyata tak berpengaruh banyak terhadap produksi komoditas itu. Indikator terlihat dari laporan Gapki yang menyebutkan produksi CPO hanya mencapai 3,98 juta ton pada Juni 2019.

Artinya, sepanjang Juni produksi turun 16% dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 4,73 juta ton di Mei 2019. Di sisi lain, kinerja ekspor pun tidak tumbuh secara maksimal. Indikator itu bisa terlihat dari kinerja ekspor minyak sawit (CPO dan turunannya, biodiesel, dan oleochemical) selama semester I/2019 hanya tumbuh 10% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, atau dari 15,30 juta ton pada semester I/2018 menjadi 16,84 juta ton pada periode yang sama 2019.

Bila ditelaah lebih jauh, lanjut laporan Gapki, volume ekspor khusus CPO dan turunannya saja--tidak termasuk biodiesel dan oleochemical—selama semester I/2019 hanya mampu terkerek 7,6% atau dari 14,16 juta ton pada Januari – Juni 2018 naik menjadi 15,24 juta ton periode yang sama 2019.

Gapki juga melaporkan volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 mengalami penurunan hampir di semua negara tujuan utama ekspor Indonesia kecuali Cina.

Permintaan Cina naik akibat dampak dari perang dagang dengan AS. Negeri Panda itu mengurangi pembelian kedelai secara signifikan dan menggantikan beberapa kebutuhan dengan minyak sawit.

Bertolak dari kinerja yang mulai meredup dari komoditas unggulan, salah satunya dari kebijakan diskriminasi perdagangan oleh Uni Eropa, pemerintah pun cukup serius menghadapinya. 

Tak dipungkiri, dalam konteks ekosistem perdagangan global, satu negara tidak bisa berdiri sendiri. Mereka harus membuat aliansi, baik dalam tataran ekonomi regional maupun global.

Melawan Diskriminasi

Dan, ketika Indonesia terkena kebijakan diskriminasi terhadap terhadap komoditas biodiesel yang akan berlaku pada 2020 dari Uni Eropa, wajar saja Indonesia ini perlu juga mencari kawan seiring untuk melawan kebijakan diskriminasi tersebut.

Itulah yang dilakukan Presiden Joko Widodo ketika melakukan kunjungan ke Malaysia selama dua hari, Kamis-Jumat (8/8-9/8/2019).

Dalam pertemuan kedua negara itu, seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, kedua negara telah menghasilkan kesepakatan untuk melawan diskriminasi sawit yang dilakukan oleh Uni Eropa.

Baik Indonesia maupun Malaysia, keduanya sebenarnya sama-sama memiliki komitmen dalam pengolahan dan pengelolaan sawit secara berkelanjutan. "Kedua pemimpin memiliki komitmen yang tinggi untuk meneruskan perlawanan terhadap diskriminasi sawit," kata Retno.

Indonesia telah telah memiliki sertifikasi sawit dan data ilmiah yang bisa digunakan sebagai perbandingan. Namun Retno juga menyebutkan jika Indonesia harus menjalin kerja sama dengan Malaysia untuk melawan diskriminasi yang dilakukan oleh Uni Eropa.

Dalam pertemuan kedua negara itu memang tidak menyebutkan, apa bentuk perlawanan yang akan dilakukan kedua negara terhadap Uni Eropa. Namun, minimal pernyataan dari Wapres Jusuf Kalla bisa menjadi patokan langkah yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia.

“Pemerintah akan melakukan retaliasi atau tindakan balasan perdagangan kepada Uni Eropa jika bersikukuh mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia,” ujar Jusuf Kalla

Bahkan, Wapres Jusuf Kalla menilai langkah Uni Eropa yang melakukan diskriminasi terhadap produk kelapa sawit Indonesia tersebut merupakan permasalahan serius.

Hal ini dikarenakan bisnis sawit di Indonesia memiliki nilai ekspor yang cukup besar. Terlebih ada 15 juta orang yang bekerja baik secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas ekspor sawit tersebut.

Menurut hemat saya, sikap tegas pemerintah sudah benar. Negara ini tidak bisa diperlakukan secara tidak adil dan diskriminatif. Sikap tegas bangsa ini merupakan wujud bagian menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa yang besar dalam pergaulan di dunia internasional. (F-1)