Indonesia.go.id - Sengon Tumbuh Tinggi Sabotase Jadi Alibi

Sengon Tumbuh Tinggi Sabotase Jadi Alibi

  • Administrator
  • Selasa, 13 Agustus 2019 | 19:12 WIB
INSIDEN LISTRIK PADAM
  Pekerja melakukan perawatan dan perbaikan kabel Saluran Udara Tegangan Extra Tinggi (SUTET) di kawasan Penjaringan, Jakarta, Rabu (3/7/2019). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Luput dari inspeksi, sengon pun tumbuh tinggi. Resistensi tanah dapat membuat arusĀ  listrik petir mental dan memutus ground wire. Circuit breaker juga bisa meledak karena debu. Audit cermat agar seluruh sistem selamat.

Membentang telanjang belasan meter di atas tanah membuat kabel-kabel listrik di salutan tegangan (STT) tinggi dan ekstra tinggi (SUTET) rawan disantap petir. Tentulah, ancaman itu sudah diantisipasi.  Maka, kabel paling atas di menara transmisi STT dan SUTET biasanya ditempati kabel antipetir, Begitu gelombang elektron itu menyengat, seketika muatan listrik dari langit itu dibuang ke dalam tanah.

Tapi, sering kali situasinya tak seperti yang  diharapkan. Resistensi tanah acap kali begitu tinggi hingga arus listrik itu mental balik ke kabel dan menara transmisi. Begitu kuat pantulan listrik itu hingga kabel anti-petir itu putus seperti  yang terjadi di Jalan Jati 2 Gang PLN, Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat sore, akhir November 2019. Putusnya kabel 150 KV di tengah hujan lebat  itu diikuti oleh suara ledakan, dan tak berapa lama listrik padam.

Kabel yang  putus itu terempas yang mengenai tiga bangunan rumah penduduk sambil memercikkan api. Tiga penghuninya mengalami luka bakar akibat percikan api. Beberapa jam sejumlah kawasan di Tanjung Priok sore itu mengalami pemadaman listrik. Sekitar 3 – 4 jam kemudian listrik menyala lagi. Pemadaman terjadi akibat ada sebuah gardu tegangan tinggi rusak.

Bukan hari itu saja kabel pengaman petir itu putus. Hujan deras disertai geledek juga memutus kabel anti-petir,  biasa disebut kawat pembumian (ground wire) Sutet 500 KV di ruas Karet – Angke Jakarta pada awal 2015 lalu. Sebuah gardu indus tegangan menengah dan dua gardu distribusi di Karet rusak. Terjadi pemadaman listrik sekitar lima jam di kawasan tersebut.

Insiden semacam itu memang kerap terjadi, hanya saja tidak mengguncang kawasan yang luas dan tak menimbulkan dampak yang meluas. Beda halnya dengan insiden pada 16 Agustus 1991, sekitar pukul 20.00. Malam itu jaringan listrik Jawa Bali mengalami ujian pertama, ketika itu, sebuah  pemutus arus (circuit breaker) di jalur tegangan tinggi Cilegon-Jakarta meledak. Seketika pasokan listrik dari Cilegon, terhenti. Padahal, dengan kapasitas 1.600 MW ketika itu , Suralaya penyumbang penting dari jaringan ini.  Listrik Jakarta padam, disusul  Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan ke Bali,

Efek domino tak terhindarkan. Ketika kapasitas terpasang tak mampu menanggung beban maka secara otomatis pembangkit listrik switch off satu per satu. Beberapa jam kemudian secara bertahap menyala kembali, setelah PLN memutus sementara interkoneksi Jawa Bali itu. Jakarta menerima pasokan listrik dari pembangkit listrik di DKI dan sekitarnya. Begitu halnya Jawa Barat dan seterusnya sampai Bali.

Rumor sabotase sempat bergulir. Namun, pemerintah tegas menolak sumor tersebut, dan menyebut insiden ledakan circuit breaker itu. Penjelasan tersebut tak pernah diralat.

Peristiwa mati lampu lebih massal terjadi har i Minggu 13 April 1997, 75% wilayah Jawa dan Bali tanpa listrik selama 10 jam, dari siang hingga malam. Rumor sabotase menyeruak lagi. Namun, Dirut PLN saat itu Djiteng Marzuki memberikan penjelasan, pemadaman itu akibat  rusakanya electronic card  yang justeru terjadi di pusat kendali listrik Jawa Madura di Gandul Depok.

Electronic card  itu justeru memberikan sinyal agar aliran dari Pembangkit Suralaya diihentikan. Alhasil,  jaringan Jawa-Bali oleng kelebihan beban. Satu per satu pembangkit padam kecuali PLTGU (Pembangkit Listrik Gas Uap) Tanjung Priok yang belum terkoneksi penuh di sistem Jawa Madura. Sejumlah kawasan di jakarta Pusat, Utara dan Timur menyala.

Insiden mati listrik terjadi lagi 12 Setember 2002 . Selama hampir empat jam Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya gelap gulita. Tak ada gangguan pada SUTET, saluran tegangan tinggi (STT) apalagi  di pusat kendali  di Gandul Depok. Dalam waktu singkat sumber masalah  diketahui, yakni Gardu Induk Tegangan Tinggi (GITET) di Cibinong.

Kamis, 18 Agustus 2005, jaringan transmisi SUTET 500 kV Koridor Saguling, Cibinong, dan Cilegon, rusak. Guncangan atas keseimbangan beban membuat Pembangkit Muara Karang (Jakarta), Suralaya (Cilegon), Tambaklorok (Semarang), dan Paiton (Probolinggo, Jatim), secara otomatis padam. Mati lampu massal pun melanda Jakarta, Bogor, Sukabumi, Bekasi, Tangerang, Banten, beberapa  wilayah di Jateng, Jatim, bahkan Bali.

Rupanya gangguan di Sutet Saguling-Cibinong-Cilegon itu akibat Pembangkit Suralaya Unit 7 dan 8 tiba tiba berhenti operasi. Ada defisit daya 1.200 MW. Untuk mengembalikan sistem ke kondisi normal, PLN memfungsikan PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTGU Muara Tawar yang biasanya baru beroperasi saat beban puncak. Tapi, listrik hanya menyala sebentar, lalu padam kembali.

Tambahan daya itu membuat arus di SUTET 500 KV Saguling-Cibinong terus bertambah, bahkan hampir melampaui  batas aman 2.000 Ampere. GITET Saguling bereaksi memecah sistem Jawa-Bali itu menjadi dua bagian. Timbul sentakan yang membuat PLTU Paiton unit 7 dan 8 serta enam unit di PLTU Suralaya terlepas. Tiga jam setelah awal kejadian  45 persen daya listrik yang pulih, selebihnya secara bertahap dan ada yang sampai dua hari.

Insiden 2005 itu termasuk yang paling buruk. Tidak kurang dari 120 juta orang terdampak. Sebanyak 42 perjalanan kereta rel listrik (KRL) rute  Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi batal, dan 26 KRL lain tertahan perjalanan. Bandara Soekarno-Hatta lumpuh empat jam. Beberapa rumah sakit besar menunda jadwal operasi, dan rumah sakit kecil tidak dapat menerima pasien.

Insiden buruk pemadaman  listrik masif kembali terjadi 4 Agustus 2019. Kali ini yang terdampak adalah 21 juta lebih pelanggan di Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Durasi pedamanannya 6 jam hingga 20 jam. PLN belum merilis penjelasan secara final sampai sepekan setelah kejadian. Menunggu hasil investigasi, menusul adanya rumor tentang sabotase.

Dari penjelasan awal disebutkan, sebelum padam beban puncak listrik  Jakarta, Banten, Jabar, 13,5 MW. Enan PLTU Suralaya sedang tak beroperasi, satu unit lainnya  dalam perbaikan. Pasokan dari Timur jadi vital melalui koridor Sutet 500 KV Utara (Ungaran-Kuningan) dan Koridor Selatan (Klaten-Cilacap-Tasik). Kedua jalur Sutet itu masing-masing memiliki dua sirkuit (sistem pengaliran arus), dengan setiap sirkuit terdiri dari beberapa kabel (konduktor)  fasa. Tapi, satu  di koridor Selatan, satu tak difungsikan karena dalam perawatan. Mendadak, koridor Utara oleng. Satu sirkuit putus dan tak berapa lama satu lainnya menyusul. Satu sirkuit di Selatan tak sanggup menahan beban, terlepas.  Barat dan Timur terputus.

Pembangkit di Barat (Banten, Jakarta, Jabar), tidak mampu menahan bebannya sendiri. Satu demi satu switch off. Listrik Banten, DKI dan Jabar padam total berjam-jam. Tagar Black Sunday pun bermunculan di media sosial sesudahnya. Lagi-lagi rumor sabotase bergulir. Aparat Polri menemukan  pohon sengon di Kabupaten Semarang hangus setelah cabangnya menyeruak ke kabel sirkuit jalur Ungaran-Pemalang. Ada kecurigaan pohon sengon itulah yang melumpuhkan SUTET 500 KV tersebut.

Dari serangkaian insiden listrik padam itu, ada satu isu yang bisa merangkai: audit. Kalau saja, sebelum petir menyambar ada audit yang menyingkap bahwa ada resistensi kuat kepada arus pembumian, dan dibenahi, sengatan petir tak perlu memutus kabel. Ledakan circuit breaker (1991) ternyata akibat debu yang menempel dan tak diketahui. Begitu halnya dengan cacat electronic card di Pusat kendali Gandul, Depok.

Sengon yang mengganggu sirkuit di jalur Sutet Ungaran-Pemalang bahkan bisa dilihat secara visual jika inspeksi darat dilakukan sebagaimana mestinya. (P-1)