Kalau ingin berumur panjang dan hidup tenteram, tinggallah di Yogya. Kalau ingin hidup tenang tapi terus produktif, mukimlah di Yogyakarta. Mitos yang sudah lama biasa dihembus-hembuskan khususnya oleh alumni sekolah dan perguruan tinggi Yogya itu ternyata ada juga benarnya. Statistik mengatakan bahwa kualitas hidup orang Yogya itu tertinggi di Indonesia.
Seorang bayi yang lahir di Yogyakarta saat ini punya harapan hidup sampai 74,45 tahun, yang tertinggi di antara 34 provinsi di seluruh Indonesia. Anak-anak Yogya yang saat ini berusia 7 tahun memiliki harapan bisa menempuh pendidikan selama 17,05 tahun. Saat ini, secara aktual pendidikan warga Yogya berusia di atas 25 tahun ialah 11,44 tahun, sementara rata-rata kabupaten/kota di seluruh Indonesia baru 8.17 tahun.
Dari sisi ekonomipun, penduduk kota pendidikan itu tak terlalu kedodoran. Rata-rata warga Yogyakarta membelanjakan Rp18,63 juta per tahun, jauh melampaui rata-rata nasional yang Rp11,06 juta. Jangan heran bila semua itu dihimpun dan membangun indikator yang disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka IPM Kota Yogyakarta mencapai 86,11, tertinggi di Indonesia. Secara rata-rata IPM nasional adalah 71,39 di tahun 2018.
Bukan hanya Yogya tetangga sebelahnya, Kabupaten Sleman yang membukukan IPM 82,85 di peringkat keempat secara nasional untuk kabupaten/kota. Di antara Sleman dan Yogya ada Kota Aceh (84,37) dan Jakarta Selatan (84,44). Dengan sedikit penyesuaian dalam perhitungan pengeluaran yang layak dengan memperhatikan perbedaan indeks harga dan mata uangnya, IPM itu berlaku umum secara internasional. IPM tinggi di Indonesia tinggi pula di mata dunia.
Dengan skor antara 82 – 85, IPM Yogya, Jakarta Selatan, Banda Aceh, Denpasar,.dan Sleman itu, pun bisa disetarakan dengan Qatar, Hungaria, Slovakia, dan agak di atas rata-rata kota Uni Emirat Arab atau Polandia. Sementara itu, IPM tetangga dekat Singapura bertengger di angka sekitar 90.
Bahwa IPM Jakarta Selatan di bawah Kota Yogyakarta itu adalah satu hal. Boleh jadi, sebagai tujuan arus migran, Kota Jakarta Selatan tak lepas dari kaum migran yang sebagian kondisi sosial-ekonominya masih tertinggal. Maka, secara rata-rata di bawah Yogya. Namun, yang luar biasa ialah Banda Aceh. Akhir 2004, kota ini luluh lantak diterpa gempa dan tsunami dahsyat. Namun, dalam waktu singkat kota ini mampu mengembalikan marwahnya.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1566788954_6.jpg" />SD Negeri 49 Banda Aceh. Foto: Kemendikbud
Apa yang bisa dikatakan dari fenomena Yogyakarta yang istimewa dan Banda Aceh yang luar biasa itu? Tumbuh dari kota budaya yang kemudian menjadi tujuan para pemuda untuk belajar, warga Yogya dan Banda Aceh memandang pendidikan adalah hal utama. Kedanya pun tumbuh menjadi ibu kota (provinsi) pusat pendidikan, budaya dan seni, hingga menjadi hunian orang-orang yang relatif lebih terdidik, yang ingin berkiprah di birokrasi, dunia pendidikan, maupun budaya dan seni.Pada 2018, Kota Banda Aceh mencatatkan angka IPM 84,37. Peringkat ketiga secara nasional. Harapan hidup bayi yang lahir di Aceh saat ini sekitar 71,1 tahun. Rata-rata warga usia di atas 25 tahun telah menempuh pendidikan 12,6 tahun, alias pernah menempuh pendidikan tinggi. Seorang anak yang lahir tahun ini di Banda Aceh punya harapan bisa menempuh pendidikan selama 17,27 tahun, lebih tinggi dari Yogya dan Jakarta Selatan. Secara rata-rata, warga Banda Aceh membelanjakan Rp16,23 juta per tahun untuk kebutuhan hidupnya.
Baik Aceh maupun Yogya juga bukan kota industri dan bisnis. Karenanya, keduanya luput dari serbuan arus urbaninasi. Keduanya memang tidak menikmati laju pertumbuhan dari putaran roda industri dan bisnis seperti Kota Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Surabaya, Makassar, Palembang, Batam, atau kota besar lainnya. Tapi dengan struktur warganya yang khas, Banda Aceh dan Yogya mengembangkan ekonominya sendiri. Usaha pariwisata, produk budaya dan industri kreatif dapat menjadi tumpuannya.
Sejauh ini, kota-kota dengan IPM tertinggi masih berkerumun di Jawa. Dari 20 kota/kabupaten dengan IPM tertinggi itu misalnya, Daerah Istimewa Yogyakarta menyumbang dua, yakni Kota Yogyakarta (1) dan Kab. Sleman (4). DKI menyumbang tiga: Jaksel (2), Jakpus (17), Jakbar (18). Jawa Tengah mengirim tiga, yakni Semarang (6), Salatiga (8) dan Solo (13). Jawa Timur diwakili Surabaya (12) dan Malang (15). Jawa Barat: Bandung (19) dan Kota Bekasi (20).
Berikutnya Provinsi Bali diwakili Denpasar (4) dan Kabupaten Badung (16). Banten diwakili Tangerang Selatan (14). Selebihnya Banda Aceh (3), Kendari (7), Kota Padang (10) dan Makassar (11).
Ke depan, IPM itu tidak akan hanya terkait dengan hidup tenang dan panjang usia, penduduknya yang memiliki pendidikan relatif lebih baik bisa menjadikan daerahnya lebih inovatif, kreatif, dan produktif dengan bermodalkan sumber daya manusianya. Ekonomi yang tumbuh bukan jenis industri ekstraktif yang mengeksploitasi alam. (P-1)