Hamparan hijau terbentang di sepanjang mata memandang. Gerumbul pepohon tampak begitu jauh di seberang sana. Di sekeliling ada petakan -petakan sawah berjajar dengan pematang yang berjajar lurus satu sama lain. Ada pematang utama selebar satu meter yang memanjang dan diapit selokan air: irigasi tertier.
Hamparan hijau di Desa Jejangkit Muara, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan itu adalah sawah modern yang dibangun dengan excavator dan traktor. Tangan dan cangkul tak akan sanggup menyulap lahan gambut yang dipenuhi belukar itu menjadi sawah yang mudah diolah. Luasnya 250 ha. Di bagian hilir, ada 500 ha lahan gambut berawa lainnya yang juga sudah menjadi sawah, kolam ikan, kolam itik, kebun sayur serta kebun buah-buahan.
Desa Jejangkit Muara adalah salah satu desa percontohan untuk Program Serasi (selamatkan rawa dan sejahterakan petani) dari Kementerian Pertanian (Kementan). Serasi itu sendiri sebetulnya hanya satu subprogram di bawah program besar ketahanan pangan. Dalam melaksanakan program ini Kementan menggandeng baik Pemerintah Provinsi (Pemprov) maupun Pemerintah Kebupaten (Pemkab) melalui Dinas Pertanian masing-masing.
Lewat Program Serasi yang digencarkan sejak 2017 dengan dana Rp. 2,5 Trilyun itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mematok target besar, yakni membangun areal pertanian baru yang produktif seluas 400.000 ha. Sesuai potensi dan kesiapan lapangan, program ini baru dilaksanakan di Sumatera Selatan (Sumsel), Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Sulawesi Selatan (Sulses).
Kalimantan Selatan sendiri punya target besar: 250 ribu ha, dan 100.000 ha di antaranya di Kabupaten Barito Kuala. Provinsi ini ingin mengukuhkan predikat sebagai gudang beras di Kalimantan. Tak heran bila dalam menyambut Hari Pangan Sedunia 2018 lalu, yang untuk skala nasional dipusatkan di Kalsel, tidak kurang dari 5.000 mahasiswa,, yang diboyong dari Banjarrmasin, dikerahkan ikut menanam padi di Jejangkit. Hasilnya, ratusan ha sawah menghiijau-menguning.
Bagi Amran, membangun 500.000 ha lahan pertanian baru mestinya bukanlah kewemahan bagi negeri seperti Indonesia. Bahkan, menurut Amran, 10 juta hektar pun bisa, karena banyak lahan berawa yang belum termanfaatkan. Namun, pemerintah pusat tak mau bekerja sendiri. Maka, Amran sibuk kesana-kemari mencari mitra yang bersungguh sungguh mau membangun sentra pertanian baru.
Ajakan Amran tak bertepuk sebelah tangan. Setidaknya tiga pemprov dan jajaran pemkabnya antusias menyambut Program Serasi ini. Ribuan ha sawah sedang dicetak lengkap dengan sistem pegairannya, dengan axcavator (beko), traktor, dan kendaraan berat lainnya. Campur tangan teknologi tak mungkin terhindarkan, sejak membangun petakan sawah, penataan alur pengairan, kegiatan budidaya, hingga ke penanganan pasca panen. Biayanya juga tidak murah. Untuk membuah irigasi saja, perlu ongkos Rp. 4,3 juta per hektar.
Dari sisi pengairan, sawah pasang surut ini jauh lebih sulit katimbang sawah konvensional. Pengairan di sawah pasang surut ini juga harus berfungsi bisa mencuci zat-zat asam yang terbentuk alamiah sebagai hasil dekomposisi bahan organik (gambut). Di sisi lain, pencucian itu juga tidak boleh membuat gambut kering karena membuat koloidnya (material hasil pelapukan bahan organik) rusak sehingga kehilangan kemampuan menahan air dan zat hara. Belum lagi, urusan emisi karbonnya akibat proses oksidasi yang masif. Tinggi muka air di salluran irigasi mesti terjaga aggar ttinggi air tanah juga terjaga
Menjaga tinggi air tanah itu satu soal. Ada pula proses penting laiinnya, penambahan zat kapur dolomit untuk mengurangi keasamannya. Pengolahan tanah, pemupukan, dan penyiangan rumput pengganggu, perlu serba hati-hati karena tanah gambut itu rapuh. Semua perlu traktor, tapi tak boleh terlalu raksasa. Di luar itu semua masih ada resiko gagal panen akibat cuaca.
Maka, untuk meyakinkan petani mau bekerja di sawah gambut itu juga tidak mudah. Kementan perlu memberikan insentif khusus, berupa bantuan benih, pestida dan pupuk, rata-rata Rp. 2 juta per hektar. Ternyata hasilnya tak mengecewakan. Dengan varietas unggul Inpara 2 dan Inpara 3, yang terbukti bisa beradaptasi dengan baik di lahan gambut, hasil sawah baru itu cukup menjanjikan: 6 ton gabah per ha. Ada kenaikan lebih dari 100 persen dari sebelumnya.
Kombinasi tata kelola pengairan yang baru dan varietas baru juga memungkinkan padi ditanam dengan frekuensi lebih tinggi. Bila sebelumnya, di sawah rawa ini setiap tahun hanya sekali pembiitan (1 bulan) dan sekali penamanan (4 bulan), maka dengan cara baru ini bisa dilakukan satu kali pembibitan, sekali penanaman dan sekali pembibitan lagi. Tahun berikutnya, dua kali penanaman dan sekali pembibitan. Lahan lebih produktif.
Program Serasi ini tidak selalu mudah dalam pelaksanaannya di lapangan. Meski sebagian adalah lahan gambut tak produktif, sebagian lain sudah diusahakan oleh petani setempat. Pada situasi ini, penataan ulang harus melalui negosiasi soal ganti rugi untuk lahan yang akan digunakan untuk kanal air ataupun irigasi tertier dan sekunder. Belum lagi, pekerjaan fisik itu harus menyesuaikan dengan musim tanam dan cuaca setempat. Semua perlu waktu.
Tak heran bila dari target 400 ribu ha, baru sekitar 30.000 ha yang akan selesai dikerjakan sampai akhir 2019. Namun, bagi petani Desa Jajangkit di Kabupaten Barito Kuala, Program Serasi itu telah membuka peluang baru bagi mereka untuk mengungkit produktivitas lahannya : dari yang sebelumnya di bawah 3 ton menjadi di atas 6 ton, dari yang sebelumnya sekali panen setahun bisa menjadi tiga kali per dua tahun atau empat kali jika kemaraunya tak terlalu kering. Pendapatan petani jelas meningkat.
Belum lagi, ada kesempatan untuk budidaya ikan air tawar, budidaya itik, menawam sayuran dan usaha tani lainnya. Petani Desa Jejangkit pun bangkit menyambut peluang baru itu, apalagi mereka didukung oleh para pejabat dari kantor bupati dan gubernur. (P-1)