Rancangan anggaran tahun depan akan dijalankan sepenuhnya oleh pemerintahan baru yang akan kembali dipimpin Jokowi. Ada rasa optimistis dalam diri Presiden ketika menyampaikan nota keuangan di depan anggota DPR-RI, 16 Agustus lalu. Namun demikian, dalam beberapa hal, Presiden mengingatkan bahwa dunia masih terus dilanda ketidakpastian. Indonesia harus mampu meniti gelombang yang sering mengagetkan.
Optimisme itu salah satunya dengan dicanangkan target pertumbuhan ekonomi diangka 5,3%. Jika mengikuti tren angka pertumbuhan ekonomi, memang grafiknya selalu meningkat. Dari 4,88% pada 2015, menjadi 5,17% di 2018, dan terakhir Semester I-2019 mencapai 5,06%.
Sebetulnya angka pertumbuhan ekonomi 5,3% tersebut tergolong stagnan dibanding APBN 2019. Sementara itu, banyak kalangan meramalkan pada 2019 ini Indonesia hanya akan sanggup menggapai angka pertumbuan 5,1% saja. Biang keroknya lagi-lagi kondisi perekonomian dunia yang masih gonjang-ganjing akibat masih panasnya perseteruan AS-Cina dalam perang dagang.
Meski angka pertumbuhan dipatok stagnan, Presiden Jokowi berkeyakinan, pemerintahan yang akan datang mampu menurunkan angka kemiskinan ke kisaran 8,5% hingga 9% saja. Ini didorong dengan semakin besarnya dana yang dialokasikan ke daerah dan juga berbagai program sosial yang dijalankan pemerintah.
Penting juga dilihat bahwa angka pengangguran menurun dari 5,81% pada Februari 2015, menjadi 5,01% pada Februari 2019. Penduduk miskin juga menurun terus menurun dari 11,22% pada Maret 2015, menjadi 9,41% pada Maret 2019, terendah dalam sejarah NKRI. Kemampuan menurunkan angka kemiskinan menjadi satu digit diakui sebagai prestasi tersendiri.
Bukan hanya itu, gap ketimpangan juga menurun. Hal ini ditunjukkan dengan semakin rendahnya Rasio Gini dari 0,408 pada Maret 2015, menjadi 0,382 pada Maret 2019. Prestasi lain yang bisa ditunjukan dengan mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang naik dari 69,55 di 2015, menjadi 71,39 di 2018, atau masuk dalam status tinggi. Selain itu, tidak ada lagi provinsi dengan tingkat IPM yang rendah. Logistic Performance Index (LPI) naik dari peringkat 53 dunia pada 2014, menjadi peringkat 46 dunia pada 2018.
Dalam Global Competitiveness Index, kualitas infrastruktur kita termasuk listrik dan air meningkat, dari peringkat 81 dunia pada 2015, ke peringkat 71 dunia pada 2018. Berbagai capaian tersebut tidak terlepas dari reformasi fiskal yang telah dilakukan. Pola pembangunan Indonesia, menurut Presiden, tidak lagi menggunakan pola money follows function, tetapi money follows program.
Artinya Indonesia tidak lagi berorientasi pada proses dan output, tetapi pada impact dan outcome. Karena itu pemerintah semakin yakin untuk mengelola fiskal agar lebih sehat, lebih adil, dan menopang kemandirian.
Di tengah semua prestasi itu, harus disadari bahwa dunia sering berubah. Tantangan ekonomi ke depan semakin berat dan semakin kompleks, ekonomi dunia sedang mengalami ketidakpastian, beberapa emerging market sedang mengalami krisis, dan beberapa negara sedang mengalami pertumbuhan negatif.
Indonesia juga menghadapi tantangan perang dagang. Depresiasi nilai mata uang beberapa negara seperti Yuan-Tiongkok dan Peso-Argentina, mengharuskan semua harus lebih waspada.
Situasi krisis harus kita balik sebagai peluang, kita harus jeli manfaatkan kesulitan sebagai kekuatan untuk bangkit, untuk tumbuh, untuk semakin maju. (E-1)