Indonesia.go.id - Indonesia Berpotensi Menjadi Uncarbon Super Power

Indonesia Berpotensi Menjadi Uncarbon Super Power

  • Administrator
  • Jumat, 20 Desember 2019 | 23:12 WIB
LINGKUNGAN
  Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Foto: BPI Maritim

Indonesia memiliki 75 hingga 80 persen carbon credit dunia dari hutan, mangrove, gambut, rumput laut, hingga terumbu karang. Sehingga layak menyandang sebagai uncarbon super power.

Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Indonesia selain akan berkembang dalam perekonomiannya, juga memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar serta kawasan hutan yang luas, yang dapat berfungsi sebagai paru-paru dunia dalam menyerap polusi udara. Sehingga layak menyandang sebagai uncarbon super power.

"Ternyata kita nggak tahu bahwa kita super power dalam uncarbon. Jadi (ternyata) kita tidak hanya super power dalam ekonomi, tapi kita juga super power dalam lingkungan," katanya dalam sambutan acara Roadmap Ekosistem Kendaraan Listrik (EV) di Kemenko Maritim dan Investasi, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Indonesia memiliki 75 hingga 80 persen carbon credit dunia dari hutan, mangrove, gambut, rumput laut, hingga terumbu karang. Indonesia punya peatland (gambut) seluas 7,5 juta hektar yang dalam kondisi baik. Peatland ini ada yang dalamnya sampai 15-20 meter, dan ini tidak ada di belahan dunia lain, Bahkan di Skandinavia sekalipun. Indonesia juga punya 3,1 juta hektar mangrove, dan sekitar 160 juta ha luas hutan lepas. Bahkan sekarang Indonesia sedang melakukan replanting programforestry, dan  rehabilitasi coral reef untuk perbaikan ekosistem yang rusak. Dan perlu diketahui, Indonesia sudah berkontribusi untuk carbon credit cukup besar kira-kira 75-80%.

Potensi dagang carbon yang dapat dihasilkan diperkirakan mencapai 82 hingga 100 miliar dolar AS per tahun. Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini tengah menyusun format agar Indonesia bisa menjual potensi tersebut dan menambah pemasukan negara.

Dalam sebuah artikel di infosawit.com ditulis, Brown to Green Report 2019 yang diterbitkan oleh Climate Transparency, sebuah kemitraan global beranggotakan lembaga think tank dan lembaga nonpemerintah dari negara-negara anggota G20, emisi CO2 terkait energi di negara-negara anggota G20 melonjak 1,8 persen pada 2018 karena meningkatnya permintaan energi. Dan, emisi transportasi meningkat 1,2 persen pada 2018. 

Selain itu dikatakan Menko Luhut, potensi dari EBT (energi baru terbarukan) di Indonesia masih sangat besar. Hanya saja, belum digarap optimal, seperti panas bumi dari yang tersedia 17,5 GW dan pemanfaatan baru 1,95 GW, microhydro potensi sebesar 94,3 GW pemanfaatan 0,03 GW, bio energi potensi 32,6 GW, dan pemanfaatan bio massa hanya 1,859 GW.

Pemerintah, lanjut Menko Luhut, juga memiliki program biodiesel berbasis minyak sawit untuk meningkatkan pemenuhan EBT nonlistrik, dimulai dari program bauran energi sejak 2006 yaitu B7,5, B20 pada 2018 dan B30 ditargetkan akan dimulai di 2020.

Setelah B20, akan buat B30, tahun 2020  akan buat B40, lanjut B50, kemudian B100. Setelah itu jalan semua, akan terjadi equlibrium jumlah produksi minyak sawit (palm oil) Indonesia dengan penggunaan dalam negeri hampir sama jumlahnya. Dampaknya 17,5 juta petani sawit  segera akan menikmati harga sawit yang bagus, itu membuat angka kemiskinan akan menurun.

Selain itu pemerintah Indonesia juga berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29%. Salah satu caranya, secara bersungguh-sungguh terus mengerjakan  program replanting, rehabilitasi mangrove dan peatland (lahan gambut), dan lainnya.

Deputi Bidang SDM, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Safri Burhanuddin mengatakan, potensi besar yang ada di kawasan pesisir akan terus didorong untuk dikembangkan sebagai potensi karbon biru. Hal itu, berkaitan dengan upaya Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 29 persen pada 2030.

Safri mengatakan, saat ini terdapat tiga ekosistem yang berpotensi sebagai karbon biru (blue carbon), yaitu mangrove, padang lamun, dan kawasan payau. Karbon biru, kata dia, merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbondioksida sehingga bisa memitigasi pemanasan global dan perubahan iklim dengan cara menjaga keberadaan hutan bakau, padang lamun, rumput laut, dan ekosistem pesisir.

“Vegetasi pesisir diyakini dapat menyimpan karbon 100 kali lebih banyak dan lebih permanen dibandingkan dengan hutan di daratan,” jelas dia.

Hasil penelitian yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak lima tahun terakhir menyebutkan, padang lamun memiliki potensi menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/ha/tahun. Adapun luas ekosistem padang lamun di Indonesia diperkirakan dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon/tahun.

Conservation International Indonesia menyebut, saat ini Indonesia memiliki hutan mangrove seluas total 3,1 juta hektare atau 22,6 persen dari mangrove di dunia. Dengan luasan seperti itu, stok karbon yang ada di hutan mangrove Indonesia total mencapai 3,14 myu-gC atau setara 3,14 miliar ton.

Sementara itu, untuk ekosistem mangrove, rata-rata penyerapan dan penyimpanan karbon bisa mencapai 38,80 ton/ha/tahun. Bila dihitung secara total, maka potensi penyerapan karbon ekosistem mangrove adalah 122,22 juta ton/tahun.

Kemampuan mangrove dalam menyerap emisi di bumi, mencapai 20 kali dari kemampuan hutan tropis. Selain itu, menurut Daniel Mudiyarso, seorang peneliti di Center for International Forestry Research (CIFOR), potensi ekonomi dari mangrove sangatlah besar. Ada potensi blue carbon yang bisa menghasilkan nilai ekonomi hingga USD10 miliar.

Daniel memaparkan, dalam satu hektar hutan mangrove di Indonesia, tersimpan potensi karbon yang jumlahnya 5 kali lebih banyak dari karbon hutan dataran tinggi. Dan faktanya, saat ini hutan mangrove di Indonesia menyimpan cadangan karbon 1/3 dari total yang ada di dunia.

Saat ini karbon yang tersimpan di hutan mangrove Indonesia mencapai 3,14 miliar ton. Dan untuk bisa mengeluarkan karbon sebanyak itu, Indonesia perlu waktu hingga 20 tahun.

Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP UNFCCC) ke-22 di Marrakesh, Maroko, karbon biru digaungkan sebagai salah satu kontribusi bagi target pengurangan emisi karbon di dunia. Secara global, sebanyak 151 negara memiliki karbon biru, tetapi hanya 50 yang mengagendakannya untuk pengurangan emisi dalam komitmen NDC-nya. (E-2)