Jakarta, InfoPublik – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), Airlangga Hartarto, menyatakan dunia saat ini sedang dihadapkan pada lima tantangan yang cukup berat. Presidensi G20 Indonesia diharapkan bisa menghasilkan solusi untuk menghadapi tantangan global.
Dalam Conference on G20: Expediting Indonesia's Role in Strategic Issues for G20 Presidency, Kamis (16/6/2022), Airlangga memaparkan lima tantangan global yang dimaksud.
Tantangan pertama datang dari pandemi COVID-19 yang hingga saat ini urung berakhir. Bahkan baru-baru ini Indonesia sedang menghadapi ancaman subvarian omikron, yakni BA.4 dan BA.5.
Menurut Airlangga, meski hingga saat ini penyebaran terbilang terkendali, pemerintah tetap mewaspadai potensi puncak kasus di awal Juli 2022 mendatang.
Kedua, eskalasi konflik antara Rusia dan Ukraina yang mendorong terjadinya krisis pangan, energi, dan menyebabkan 60 negara masuk dalam perangkap utang. Bahkan 40 di antaranya berpotensi mengalami gagal bayar (default).
"Presiden Jokowi ditunjuk sebagai ketua kelompok pemulihan global. Saya pikir Indonesia dipilih karena kami memiliki pengalaman dalam menangani ini pada 1998 dan 2008, dan juga selama pandemi," jelas Airlangga.
Tantangan ketiga ialah perubahan iklim. Persoalan itu, kian mengancam dan berpotensi mengubah tatanan dunia, baik dari sisi lingkungan, kehidupan, hingga perekonomian. Kondisi ini juga menyebabkan terganggunya produksi pangan di sejumlah negara. Indonesia, sebut Airlangga, terbilang cukup menjajikan dalam menghadapi persoalan tersebut.
Sebab, dalam tiga tahun terakhir Indonesia mampu memenuhi kebutuhan beras sebagai bahan pangan utama nasional tanpa melakukan impor. Karenanya, sejumlah negara mulai meminta Indonesia untuk menyuplai beras guna memenuhi kebutuhannya. Bangladesh, Pakistan, dan Tiongkok menjadi negara yang sedang menunggu kedatangan beras dari Tanah Air.
"Kemarin Presiden Joko Widodo menyepakati Indonesia akan mengekspor 200.000 ton beras tahun ini. Jadi ini adalah menghidupkan kemandirian Indonesia dalam produksi beras," terangnya.
Tantangan keempat ialah terkait dengan gejolak harga komoditas dunia. Indonesia, di satu sisi mendapatkan keuntungan lantaran kelapa sawit, batu bara, hingga logam mengalami peningkatan harga.
Namun di saat yang sama, hal tersebut turut mendorong kenaikan inflasi, terbukti di sejumlah negara. Karena itu, kata Airlangga, pemerintah memanfaatkan keuntungan yang didapat dari ekspor komoditas unggulan itu untuk mempertebal bantalan sosial. Hal ini ditujukan agar kenaikan harga di tingkat dunia tidak langsung dirasakn oleh masyarakat.
Tantangan kelima, berkaitan dengan peningkatan inflasi global, yakni biaya hidup yang naik. Bahkan, di Amerika Serikat dan Eropa tengah mengalami kesulitan dalam pasokan makanan bayi dan makanan pokok. Ini juga akibat dari langkah sejumlah negara membatasi atau bahkan melarang sama sekali kegiatan ekspor.
Sebagai Presidensi G20, Indonesia berkomitmen mendorong kolaborasi dan kerja sama aktif dalam rangka pemulihan dunia. "Mandat kepresidenan G20 menggarisbawahi harapan akan kepemimpinan dalam memobilisasi dan aksi global kolektif dan masif," imbuhnya.
Airlangga menambahkan, forum G20 diharapkan mampu merumuskan berbagai langkah kreatif untuk bisa mengatasi berbagai persoalan tersebut.
"Dengan dukungan kuat dari para intelektual dan komunitas akar rumput, kita dapat mengubah KTT menjadi sebuah pencapaian tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk komunitas global," ujarnya.
Sebagai forum ekonomi global utama, lanjut Airlangga, G20 di bawah kepemimpinan Indonesia dapat mengatur pedoman politik untuk memenuhi Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 dengan tidak meninggalkan siapa pun, meskipun jumlah target SDGs telah tertunda oleh dampak COVID-19," tambahnya.
Karena itu, tema besar yang diangkat dalam Presidensi G20 Indonesia ialah recover stronger, recover together. Tema itu diharapkan menjadi kompas pengambilan kebijakan sejumlah negara agar tak satu pun tertinggal dalam pembangkitan stabilitas dunia.
Foto: Humas Ekon