Gereja Sion yang terletak di Jl Pangeran Jayakarta nomor 1, tak jauh dari kawasan Kota Tua, Jakarta, telah berusia 325 tahun. Ia diresmikan pada 23 Oktober 1695. Dengan begitu, gereja tua ini melayani misa Natal untuk kali ke-326 pada 25 Desember 2020. Gereja Sion telah melayani umat Kristen Protestan sepanjang 13 generasi.
Situasi pandemi tidak membuat Gereja Sion lalai untuk berhias diri menjelang Natal 2020. Memasuki akhir Desember 2020, kompleks gereja Sion yang berdiri di atas lahan 6.275 m2 itu tampak bersih dan rapi. Dindingnya putih bersih, kusen pintu dan jendela tampak resik. Begitu pula dengan interiornya, serba bersih, termasuk panggung mimbarnya yang sangat khas dengan kubahnya yang mirip mahkota.
Dalam situasi normal, Gereja Sion ini bisa menampung 1.000 jemaah untuk sekali prosesi misa Natal. Namun, karena pandemi Covid-19, pengurus gereja akan menerapkan secara ketat protokol kesehatan. Jemaahnya yang hadir akan dibatasi paling banyak separuh dari kapasitas yang ada. Selebihnya, bisa mengikuti ritual ini secara virtual.
Tertua di Jakarta
Dalam usianya yang 325 tahun, sekalipun bukan yang pertama, Gereja Sion adalah gereja tertua dari yang masih ada di Jakarta. Ketika dibangun, lokasinya ada di luar benteng Kota Batavia. Pemerintah Kolonial VOC merasa perlu membangun gereja itu bagi para tawanan yang dibawa ke Batavia dari koloni-koloni Portugis yang telah ditaklukkan VOC.
Sebagai sebuah kongsi dagang, VOC bertekat menguasai secara penuh arus perniagaan di perairan Nusantara. Maka, ia membangun kekuatan militer dan memerangi para pesaing termasuk Portugis. Dengan kekuatan militernya itu, VOC merebut Kota Malaka dari tangan Portugis 1641, dan mengusir Portugis dari Srilanka pada 1948. Berikutnya, Portugis juga harus angkat kaki dari sejumlah pulau di kawasan Indonesia Timur.
Dari berbagai tempat itulah, sejumlah tawanan diboyong ke Batavia, ibu kota VOC di kawasan Asia Selatan dan Tenggara. Sebagian besar mereka adalah warga lokal yang dipekerjakan di loji-loji Portugis, karenanya mereka sering disebut Portugis Hitam alias kaum Mardijker. Pada awalnya mereka memeluk Katolik, tapi setelah bertahun-tahun beradaptasi dengan lingkungan sosial di Batavia, mereka kemudian menjadi penganut Protestan, dan terbebas dari status mereka sebagai tawanan.
Ketika itu Gereja Sion sering disebut Portugese Buitenkerk, yang artinya Gereja Portugis di Luar Tembok Kota. Nama itu jelas membedakan dengan nama Gereja Salib dalam benteng Batavia. Meski terkesan ada dikotomi antara di dalam dan di luar benteng, tak berarti VOC membangunnya dengan setengah hati. Desain bangunan gereja itu dibuat oleh perancang asal Rotterdam E Ewout Verhagen.
Meski tidak membuat rancangannya sebagai sebuah bangunan yang megah, tapi Verhagen membuat gereja itu kokoh, nyaman, dan fungsional. Sederhana, tanpa kubah dan menara. Dalam perkembangannya, Gereja Sion menemukan keindahannya dari aspek interiornya. Ada mimbar yang artistik, bangku-bangku jemaah dari kayu hitam (eboni), organ dan orgel klasik yang masih berfungsi hingga kini.
Melintasi batas waktu, Batavia terus berkembang dan benteng kota harus dibongkar. Tak ada lagi dikotomi dalam dan luar benteng. Gereja Sion pun menjadi tempat ibadah bagi umat Kristiani secara lebih luas. Apalagi, kaum Mardijker yang sudah beranak pinak punya permukiman sendiri di Kampung Tugu, sekitar 15 km di Timur Kota Batavia.
Dari generasi ke generasi berikutnya, Gereja Sion terus dijaga dan dirawat. Pada era pascakemerdekaan, Gereja Sion pun jadi tempat peribadatan pemeluk Kristen-Protestan secara multikultural dan berlangsung hingga memasuki dekade ketiga milenium 2000. Gereja Sion juga merupakan bangunan gereja tertua yang masih ada di Jakarta.
Gereja Besar
Jauh sebelum Gereja Sion dibangun, di dalam benteng Kota Batavia sudah dibangun gereja yang disebut Kruiskerk (Gereja Salib). Bangunannya berdiri di atas tanah hasil urukan Kali Ciliwung yang alirannya sudah dibelokkan. Kruiskerk Kota Batavia yang mulai digunakan di tahun 1640 ini digambarkan sebagai kembaran Gereja Norderkerk di Amsterdam dengan arsitektur baroknya. Meski besar dan megah, gereja Batavia itu tak memiliki kubah.
Setelah beroperasi 90 tahun, Kruiskerk dirombak dan direnovasi. Kiriman orgel besar dari Belanda, yang ternyata tak bisa dipasang di dalamnya, jadi momentum percepatan proyek renovasi itu. Bangunannya diperluas, antara lain, untuk mengakomodir orgel besar itu, dan setelah selesai ia berganti nama menjadi De Grote Hollandse Kerk (Gereja Besar Belanda) atau De Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Baru Belanda).
Gereja itu dibangun dengan kubah bulat dengan menara dan lonceng di atasnya. Fasilitas peribadatan utama bagi pemeluk Kristen Protestan Kota Batavia itu resmi beroperasi pada 1733. Sejumlah lukisan lama mendokumentasikan bahwa gereja itu cukup besar dan dapat menampung sekitar 1.500 orang jemaat. Ia pun menjadi pusat aktivitas keagamaan warga Batavia sampai pada akhirnya rusak parah oleh gempa bumi pada 1808.
Gempa berskala 6,5 pada skala Richter itu mengakibatkan sejumlah bangunan di Batavia mengalami kerusakan. Grote Huis (Rumah Besar) di Lapangan Banteng, yang kini menjadi Gedung Kementerian Keuangan RI, ikut menjadi korbannya. Ketika gempa terjadi, gedung tersebut masih dalam tahap pembangunan, dan mengalami kerusakan. Pembangunannya sempat mangkrak, dan baru bisa selesai tahun 1828. Tapi, Grote Huis batal menjadi istana bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga tidak tertarik membangun kembali geraja baru di atas tanah Gereja De Grote Hollandse Kerk itu. Boleh jadi, daerah itu sudah menjadi pusat niaga yang sibuk sehingga dianggap tidak cocok untuk bangunan gereja. Kemungkinan lain, lahan yang tersedia dianggap terlalu sempit, sehingga tidak bisa memenuhi tuntutan akan perlunya gereja yang lebih besar.
Pascagempa, tidak ada catatan pasti tentang gereja warga Batavia yang baru. Boleh jadi, warga Kristiani menggunakan bangunan besar yang sudah ada sebagai gereja sementara.
Gereja Immanuel Gambir
Di atas lahan bekas Gereja Besar Batavia itu kemudian berdiri sebuah bangunan komersial. Dalam perkembangannya, bangunan itu kemudian digunakan sebagai kantor lembaga riset ilmu pengetahuan dan seni, kemudian menjadi Museum Batavia. Pada era kemerdekaan ia menjadi museum yang kini dikenal sebagai Museum Wayang di Jl Pintu Besar Utara, di kawasan Kota Tua, Jakarta.
Gereja Besar yang resmi baru muncul kembali pada 1839 di Gambir, Jakarta. Gereja baru itu menyandang nama resmi Willem Kerk (Gereja Willem) untuk menghormati Raja Willem yang bertahta di Istana Amsterdam pada kurun 1813--1840. Pada masa kemerdekaan namanya berubah menjadi Gereja Immanuel Jakarta.
Langgam arsitektur Geraja Willem mengikuti mode Paladinisme yang sedang digemari saat itu. Gaya serupa juga tampak pada bangunan-bangunan besar di sekitar Waterlooplein (kini Lapangan Banteng) dan Koningsplein (kini kawasan Monas). Bangunan Istana Negara dan Istana Merdeka muncul pada periode itu. Langgam serupa diikuti oleh bangunan yang lahir sezaman seperti Gedung Kementerian Luar Negeri RI di Pejambon dan Museum Nasional di Jl Medan Merdeka Barat.
Apakah Gereja Willem adalah satu-satunya bangunan peribadatan pemeluk Protestan saat itu? Kemungkinan besar tidak. Pada awal abad ke-19 sudah tumbuh berbagai kelompok jemaah yang tentu memiliki gereja di lingkungan masing-masing. Namun, perkembangan zaman membuat gereja itu beralih fungsi, pindah, dan tak terlacak lagi keberadaannya.
Gereja Tugu
Salah satu komunitas yang membangun gerejanya sendiri ada di Kampung Tugu, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. Berada sekitar 15 km dari benteng Kota Batavia, Kampung Tugu telah ditetapkan menjadi permukiman kaum Mardijkers bersama anak cucunya sejak akhir abad 1600-an.
Para tawanan perang dari koloni Portugis yang telah dibebaskan dari status tawanan itu dipekerjakan di industri galangan kapal, layanan pelabuhan, konstruksi, dan ada pula yang menjadi serdadu VOC. Sebagianlagi, mengembangkan usaha industri kecil logam.
Komunitas ini tercatat mulai membangun gereja pada 1737. Namun, bangunan itu termasuk yang hancur dalam peristiwa Geger Pacinan 1740. Tindakan represi VOC atas kaum Tionghoa menimbulkan konflik keras. Warga Tionghoa keluar dari Batavia dan melakukan serangan terhadap sasaran yang terafiliasi dengan VOC termasuk Kampung Tugu.
Atas bantuan dermawan Belanda Yustinus Vinck, gereja dibangun kembali di lokasi yang sama dan masih berdiri tegak hingga 2020. Gereja Tugu ini dibangun dengan arsitektur sederhana. Ukurannya tak seberapa besar, sekitar 10 meter lebar dan panjang 20 meter.
Gereja ini sempat dipugar pada 2009 karena atapnya lapuk. Kanopi baru pun terpasang dengan terasnya yang baru. Atap baru yang lancip dengan bentangan teras yang sempit membuat bangunan itu tampak lebih langsing dari aslinya. Namun, ciri-ciri masa lalunya tetap terjaga, ditandai oleh kusen pintunya yang lebar, jendela besar, dinding tinggi, dan mimbar kayu, bangku-bangku diakon, dan sejumlah properti seperti piring-piring antik.
Gereja ini tidak punya menara. Lonceng gereja ditempatkan di halaman dan disangga oleh dua tiang bersemen.
Gereja Depok
Sejaman dengan Kampung Tugu, Komunitas Kristen Protestan juga tumbuh di satu kawasan yang berjarak 30 km dari Batavia. Lokasinya berada di sekitar Srengseng Sawah, Kota Depok sekarang. Adalah Cornelis Chastelein, mantan pejabat VOC, yang membangun perkebunan di situ. Ia membeli lahan seluas 1.240 hektar dari VOC.
Bersama istri dan sepasang anaknya, Chastelein membangun kehidupan baru di Depok. Ada 200 orang hamba sahayanya dibawanya serta untuk mengurus kebun. Sebelum meninggal, ia berwasiat bahwa setelah ia meninggal, ia akan menghibahkan sebagian besar tanah pertanian itu kepada para hamba sahayanya. Dia juga akan membebaskan para hamba sahayanya itu menjadi orang merdeka. Dia juga membagi pekerjanya itu menjadi 12 marga, yang masing-masing diberinya nama Kristen.
Pada 1714 Chastelein meninggal pada usia 56 tahun. Buruh-buruhnya pun bebas, dan mereka menerima bagian tanah pertanian. Mereka pun membangun komunitas sendiri yang di kemudian hari sering disebut Belanda Depok.
Sebelum meninggal, Chastelein sempat membangun sebuah gereja (1713) untuk komunitas yang didirikannya. Ukurannya kurang lebih sama dari Geraja Tugu. Gereja itu masih berdiri dengan sentosa hingga kini dan dikenal sebagai Gereja Imannuel di Jl Pemuda, Pancoran Mas, Kota Depok. Renovasi pun dilakukan. Dua buah jendela besar muncul di bagian depan gereja. Menara kecil di bagian depan diberi atap yang lebih lebar, dan membuat gereja ini tampak berbeda dari bentuk aslinya.
Katedral Santa Maria Jakarta
Komunitas Katolik baru muncul di awal 1800-an di wilayah Hindia Belanda. Hubungan buruk VOC dengan Portugis, Spanyol, serta sejumlah kerajaan lain yang punya tradisi Katolik, turut mempengaruhi perkembangan Katolik di seluruh Hindia Belanda. Hubungan buruk itu mulai mencair sejak memasuki 1800-an, setelah VOC dibubarkan pada 1799.
Pastor Jacobus Nelissen pun datang dari Belanda 1807 dan diizinkan membangun Prefektur Opostolik, yakni otoritas pada tingkat wilayah untuk pelayanan umat Katolik di daerah yang belum memiliki keuskupan. Sejak itulah komunitas Katolik berkembang di Batavia. Pastor J Nelissen harus memulai kegiatannya dari sebuah bangunan dari bambu dan kayu.
Pada 1810, Gubernur Jenderal Herman W Daendels memberikan pinjaman berupa sebuah bangunan bekas gereja di atas tanah pemerintah di kawasan Senen. Gereja itu ditinggalkan setelah pengurusnya yang dermawan, Cornelis Chastelein, pindah ke Depok. Dibantu para jemaat, Pastor Nelissen merombak gereja itu menjadi kapel yang bisa menampung 200 orang, lalu menamainya Gereja Santo Ludovikus.
Namun, pada 1826 kapel itu terbakar bersama 180 bangunan lain di sekitarnya. Pemerintah Hindia Belanda turun tangan, dengan membantu Prefektor Opostolik Batavia itu dengan pinjaman 8.000 gulden untuk membeli lahan seharga 10.000 gulden, yang lokasinya persis di tempat Katedral Santa Maria Jakarta kini berada.
Sebuah gereja baru dibangun dengan rancangan arsitektur gara neogothik, yang menjadi ciri khas umumnya katedral di Indonesia di zaman itu. Namanya pun telah disematkan sejak awal yakni Santa Maria Diangkat ke Surga. Gereja ini cukup besar dengan ukuran 17x35 m2.
Gereja Santa Maria itu difungsikan sejak 1934. Namun, beratnya bagian menara membuat konstruksinya tertekan. Sejumlah kerusakan mulai muncul. Perbaikan dilakukan dan gereja kembali difungsikan. Pada 1880, perbaikan kembali dilakukan. Namun, beratnya beban di bagian atas tak lagi bisa disangga. Pada 1890 bangunan gereja itu ambruk.
Konstruksi baru segera didirikan, dan geraja itu selesai pada 1901 masih dengan gaya neogothik dengan dua menara lancip di atasnya. Seiring dengan berdirinya lembaga Keuskupan di Batavia, gereja ini pun menjadi Katedral. Tapi, dari sisi usia, ia lebih muda dari Katedral Santa Maria Bogor yang diresmikan 1889, atau Katedral Santo Petrus di Bandung yang mulai difungsikan pada 1895.
Apa pun latar belakang sejarahnya, gereja-gereja tua itu bersama lebih dari 1.100 geraja lain yang ada di wilayah DKI Jakarta kini kompak merayakan misa Natal 2020 dengan cara yang sama, yakni menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini