Indonesia berada di peringkat ketujuh di dunia dengan koleksi kekayaan flora. Bahkan, 40 persen di antaranya adalah tumbuhan endemik alias hanya tumbuh di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan biodiversitas paling lengkap di dunia. Kendati luas wilayah kita hanya 1,3 persen dari luas bumi, tingkat keragaman hayati kita terbilang sangat tinggi. Mengutip pernyataan Cecep Kusmana dan Agus Hikmat, dua ahli tumbuhan Indonesia, dalam Keanekaragaman Hayati di Indonesia (2017), di negara kita setidaknya terdapat 25 persen dari total spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia.
Artinya, di Indonesia sejauh ini terdapat 20.000 jenis tumbuhan berbunga. Itu menjadikan kita berada di peringkat ketujuh di dunia dengan kekayaan flora sebanyak itu. Bahkan, 40 persen di antaranya adalah tumbuhan endemik alias hanya tumbuh di Indonesia.
Salah satunya adalah anggrek, tumbuh-tumbuhan dari keluarga Orchidaceae atau disingkat orchid, istilah yang diperkenalkan pada 1845 oleh botanis terkemuka Inggris, John Landley. Anggrek merupakan tanaman paling mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Mereka tumbuh di mana saja, bisa di dataran rendah hingga tinggi. Mulai dari kawasan bersuhu panas hingga dingin.
Di dalam buku Anggrek Spesies Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Pembenihan Hortikultura Kementerian Pertanian, setidaknya telah teridentifikasi sekitar 750 famili, 43.000 spesies, dan 35.000 varietas hibrida anggrek dari seluruh penjuru dunia.
Sebanyak 5.000 spesies, di antaranya, tumbuh di Indonesia. Beberapa di antara jumlah tersebut diketahui merupakan spesies asli Indonesia, baik yang tumbuh di hutan belantara maupun telah dibudidayakan oleh masyarakat. Dari jumlah itu, 986 spesies tersebar di Pulau Jawa, 971 spesies berada di Pulau Sumatra, 113 spesies tumbuh di Kepulauan Maluku, dan sisanya bisa ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya, Nusa Tenggara, dan Kalimantan.
Salah satu spesies tersebut adalah anggrek kantung atau dikenal juga sebagai anggrek selop. Tanaman hias dari genus Paphiopedilum ini dikenal sebagai tumbuhan terresterial atau anggrek yang tumbuhnya di tanah.
Pada kategori itu, terdapat juga genus Spathoglottis dan Calanthe. Sedangkan anggrek yang tumbuhnya menempel pada tanaman lain dan tidak bersifat parasit dikenal sebagai epifit. Di kategori ini ada genus Dendrobium, Bulbophyllum, dan Coelogyne.
Habitat alami dari beberapa Paphiopedilum ini semakin menyempit dan terancam oleh konversi fungsi lahan terutama untuk perkebunan. Selain itu eksploitasi di alam secara berlebihan (overcollection) oleh oknum masyarakat menjadi penyebab lain dari semakin menyusutnya populasi anggrek kantung.
Saat ini, seluruh spesies anggrek Paphiopedilum yang berasal dari alam telah masuk ke dalam daftar Appendiks I Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Langka Flora dan Fauna Liar (Convention on International Trade in Endagered Species of Wild Fauna and Flora).
Berdasarkan status tersebut, anggrek kantung tidak diperkenankan keluar dari negara asalnya kecuali hanya untuk keperluan nonkomersial maupun penelitian. Untuk itu diperlukan perizinan resmi dan pengawasan sangat ketat dari pemerintah. Prosedur pengurusan dokumen perizinan dan persetujuan dari otoritas CITES perwakilan Indonesia juga tetap diperlukan.
Keterancaman anggrek kantung tersebut juga dimuat dalam hasil penelitian berjudul Baseline Study on Paphiopedilum (Orchidaceae) Conservation Strategies in Indonesia yang dilakukan Pusat Riset Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya pada 2021. Demikian disampaikan ketua tim penelitian anggrek Paphiopedilum Kebun Raya Purwodadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Destario Metusala dalam keterangan persnya seperti dikutip dari Antara, Kamis (20/1/2022).
Selain itu, anggrek Paphiopedilum merupakan genus terbanyak, yakni 15 spesies, yang masuk ke dalam daftar anggrek dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 106 tahun 2018. Indonesia sendiri memiliki 38 spesies Paphiopedilum yang tersebar dari Sumatra hingga Papua.
Tingginya keragaman anggrek tersebut dan juga status keterancamannya telah membuat para peneliti dan penggerak konservasi orchid dari berbagai negara turun tangan untuk ikut melestarikan Paphiopedilum di Indonesia.
Sayangnya, di antara niat baik tersebut, sempat terbetik berita tak sedap. Destario, doktor Biologi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia ini menyebutkan, ada upaya membawa keluar anggrek Paphiopedilum dari habitatnya secara ilegal. Ini pernah dilakukan oleh sekelompok peneliti asal Prancis dan Inggris.
Taksonom anggrek Prancis, William Cavestro, pemilik nurseri anggrek Prancis N Bougourd dan peneliti Nepenthes atau kantung semar Inggris, Alastair S. Robinson pernah menyebarluaskan hasil penelitian mengenai anggrek kantung Sulawesi (Paphiopedilum robinsonianum). Hal ini dilakukan pada 2013-2014 di Prancis dan spesimennya mereka simpan di Pusat Herbarium Prancis.
Anggrek kantung Sulawesi itu awalnya diketahui keberadaannya melalui sebuah perjalanan penelitian bertajuk Redfern Natural History Expedition dari suatu tempat di Sulawesi Tengah pada 13 Agustus 2013. Ekspedisi itu dipimpin oleh Alastair, pakar Nepenthes dunia dari Universitas Cambridge. Saat itu, Destario mengajukan protes terkait apa yang dilakukan pihak Alastair.
Alasannya sangat berdasar. Karena menurut pihak Seksi Peredaran Luar Negeri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku otoritas CITES di Indonesia, tidak ada pengajuan izin kepada CITES untuk mengeluarkan anggrek Paphiopedilum ke luar dari Indonesia. "Sehingga dapat dipastikan spesimen tipe yang tersimpan di Herbarium Prancis itu dibawa secara ilegal," kata agronom lulusan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta ini.
Upaya Pelestarian
Berdasarkan kajian dari tim peneliti BRIN, menurut Destario, strategi konservasi terbaik untuk anggrek Paphiopedilum tidak hanya melalui pendekatan aspek biologinya saja. Sangat penting juga untuk mempertimbangkan dan melibatkan aspek sosial dan ekonomi.
Upaya pelestariannya juga dapat melibatkan para penggemar anggrek di tanah air. Peneliti kelahiran 1983 itu mengatakan, pelatihan dasar budi daya dan memberi wawasan konservasi bagi para penggemar anggrek di sekitar habitatnya dapat menjadi salah satu program prioritas di 2022 ini.
"Begitu pula dengan pembuatan database penggemar anggrek yang dapat diakses para peneliti dan akademisi. Ini memudahkan interaksi multipihak dalam mendorong kegiatan riil penelitian dan pelestarian anggrek kantung di berbagai daerah," ujarnya.
Ada beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan masyarakat dan para penggemar anggrek untuk mendukung pelestarian anggrek kantung. Antara lain, menggali informasi tentang suatu spesies anggrek sebelum memutuskan untuk membeli atau memeliharanya. Informasi tersebut bisa meliputi karakter budi daya anggrek seperti ketinggian habitat alaminya, kebutuhan sirkulasi angin, kebutuhan kelembapan atau rentang toleransi intensitas cahayanya.
Ada genus Paphiopedilum yang habitatnya terbatas pada area daratan tinggi, lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut. Sehingga pemeliharaan di lokasi dataran rendah yang bersuhu panas dapat meningkatkan risiko kematian pada anggrek jenis ini.
Masyarakat juga bisa lebih memilih untuk membeli tanaman anggrek kantung hasil budi daya berupa bibit botolan (in-vitro). Umumnya bibit anggrek hasil kultur botolan menunjukkan kemampuan adaptasi dan pertumbuhan lebih baik dibandingkan hasil cabutan dari alam.
Peta jalan pelestarian anggrek Paphiopedilum di Indonesia merupakan tahapan panjang yang tidak dapat tuntas hanya dengan 1-2 tahun penelitian saja. Oleh sebab itu, kata Destario, kegiatan pelestarian akan terus dijalankan dengan berbagai pihak di dalam maupun luar negeri.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari