Musik tradisional merupakan suatu seni suara yang ada dan berkembang di suatu daerah tertentu dan diwariskan turun-temurun. Selain tari-tarian, pakaian, dan adat istiadat lainnya, musik tradisional merupakan salah satu gambaran kebudayaan dari suatu daerah. Musik tradisional juga bisa sebagai pengenal ciri khas budaya dan adat dari daerah tertentu.
Indonesia memiliki begitu banyak musik tradisional yang mewakili daerahnya. Provinsi Aceh, tepatnya Kabupaten Aceh Singkil, memiliki canang kayu atau instrumen musik canang kayu sebagai musik tradisionalnya. Instrumen musik tradisional tersebut dimainkan dan dipopulerkan oleh masyarakat Aceh Singkil. Mulanya, canang kayu digunakan hanya digunakan sebagai alat musik penghibur bagi para petani. Lambat laun canang kayu digunakan saat mengiringi pertunjukan tari tradisional pada berbagai acara perayaan dan upacara adat, hingga menjadi alat tradisi bagi masyarakat Aceh Singkil.
Alat musik canang kayu terbuat dari kayu pilihan dari pohon cuping dan kayu tarok, atau masyarakat Aceh Singkil biasa menyebutnya sebagai kayu trep. Kayu yang memiliki diameter 2-3 meter kemudian dipotong kurang lebih 40 sentimeter. Lalu kayu tersebut dibelah menjadi dua bagian. Nantinya yang dimainkan ada 3-4 kayu dengan panjang yang sama. Tidak asal pilih, ternyata kayu-kayu yang dibuat menjadi alat musik tradisional dipilih dengan begitu teliti hingga melahirkan kayu dengan nada yang harmonis ketika dipukul.
Alat pemukul canang kayu dibuat dari batang kayu pohon jambu. Menariknya, para pemain canang kayu biasanya bermain alat musik tersebut sambil berselonjor di lantai, kemudian menabuh balok-balok kayu yang disusun di atas kedua kaki secara bergantian sehingga menciptakan suara khas kayu dan menciptakan alunan musik yang merdu serta harmonis. Irama musik tradisional canang kayu akan lebih ramai dan merdu jika diiringi dengan tabuhan alat musik tradisional lainnya, misalnya gendang dan talam.
Canang kayu juga dapat dimainkan dengan cara menyusunnya di atas kotak kayu dan ditabuh. Masyarakat Aceh percaya bahwa para leluhurnya dahulu memainkan dengan menaruh canang kayu di atas kedua kaki mereka.
Pelestarian Canang Kayu
Pada 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (RI) menobatkan canang kayu dan warisan budaya lainnya sebagai salah satu warisan budaya tak benda Aceh. Warisan budaya lainnya yaitu tradisi Mak Meugang, Seni tutur Nandong dari Simeulue, Tari Guel dari Bener Meriah, Tari Likok Pulo dari Aceh Besar, Tradisi Pacu Kude dari Aceh Tengah, Menatkahen Hinei dari Aceh Singkil, dan Meracu dari Aceh Selatan. disbudpar.acehprov.go.id
Di era modern, kini canang kayu telah banyak berganti material, yakni tembaga. Menurut Sahibuddin, seniman canang kayu, suara yang dihasilkan canang dari kayu dan tembaga berbeda. Bersama dua rekannya, Sahibuddin merupakan generasi tua yang masih memainkan canang dengan bahan kayu.
Hingga kini, Sahibuddin dan rekannya masih terus melestarikan alat musik tradisional canang kayu. Mereka mendirikan Kelompok Adat Aceh Singkil yang beranggotakan kurang lebih 30 orang pemain canang dan beberapa penari perempuan.
Sahibuddin masih berupaya menarik para pemuda untuk belajar bermain alat tradisional canang kayu demi menjaga kelestariannya. Ia juga menjelaskan bahwa selain menghibur, canang kayu juga berguna untuk mengobati rematik dengan cara meletakkan canang di atas kedua kaki. Menurutnya, kaki akan terasa seperti diurut. acehkita.com
Selain itu, ada Grup musik Destanada II yang anggotanya merupakan anak-anak muda asli Aceh Singkil merupakan kelompok musik yang gencar mengenalkan instrumen musik canang kayu. Mereka kerap tampil dengan diiringi rebana, dan alat musik modern lain seperti drum dan gitar.
Setelah menjadi juara I di Pekan Kebudayaan Aceh ketujuh dalam kategori garapan musik tradisi, grup Destanada II tampil dan berhasil membuat penonton berdecak kagum pada Asian Games 2018 yang diadakan di Indonesia.
Semula, canang kayu hanya memiliki tiga nada dasar. Tapi, grup musik etnik Destanada II kemudian memodifikasi alat tradisional tersebut hingga memiliki delapan nada dasar. Proses modifikasi tersebut telah mendapatkan izin dari tetua Aceh Singkil.
Grup musik etnik tersebut kini telah membuat mini album yang berisi enam lagu di dalamnya. Lagu-lagu tersebut menggunakan bahasa khas Aceh Singkil. Dengan pelestarian yang dilakukan grup tersebut, mereka berharap agar masyarakat Aceh Singkil bangga akan budayanya sendiri. Selain itu, mereka juga berharap budaya khas yang mereka miliki dikenal masyarakat luas.
Memang sudah seharusnya generasi muda masa kini ikut bangga dan melestarikan kebudayaan yang dimiliki Bumi Pertiwi yang kaya ini. Sebab, nenek moyang kita telah susah payah menjaga berbagai budaya dan adat istiadat yang dimiliki Indonesia. (T-1)