Indonesia.go.id - Endo Suanda, Meniti Jalan Tradisi lewat Data dan Metodologi

Endo Suanda, Meniti Jalan Tradisi lewat Data dan Metodologi

  • Administrator
  • Jumat, 3 Mei 2019 | 17:00 WIB
PELESTARIAN SENI
  Endo Suanda. Foto: IndonesiaGOID/Hermawan Susanto

Saya merintis pendokumentasian berbagai produk seni dan budaya dalam bentuk digital. Tentu saja saya berharap pemerintah lebih bisa mengembangkan lebih jauh upaya yang sudah ada rintisannya.

Orang sering keliru mengucapkan namanya. Dia adalah Endo Suanda. Seperti kata “endap”, begitulah cara bacanya. Geraknya masih gesit dalam umurnya yang mendekati tiga perempat abad. Doktor Etnomusikologi dari Universitas Washington ini adalah seorang maestro yang lengkap.

Lahir di Majalengka, 14 Juli 1947, Endo “nopeng” (menari, nabuh gamelan, membuat topeng) sejak umur 10 tahun. Tradisi keluarganya mewariskan kemampuan tari Topeng Cirebon dengan gaya Majalengka.

Tahun 1968, Endo melengkapi kemampuannya dengan belajar di Akademi Seni Tari Indonesia di Bandung (sekarang STSI). Usai sarjana muda pada 1973, Endo meluaskan pengetahuan tarinya ke bumi Mataram.

Selama empat tahun di ASTI (sekarang ISI) Yogyakarta (1973-1976), Endo bertemu dengan seniman tari dari berbagai tradisi. Miroto dari Jogja, Sardono dari Solo, hingga Didik Nini Thowok  dari Temanggung adalah kawan seiring tempat berbagi pengetahuan dan kolaborasi seni.

Luasnya pergaulan Endo yang diiringi kemauan keras untuk belajar dan berbagi membuat Endo mudah bercampur dengan seniman-seniman yang terkenal “rewel”. Bengkel Teater Rendra, Teater Populer Teguh Karya, hingga Swara Mahardika Guruh Soekarno Putra  adalah sanggar-sanggar yang mempunyai standar estetika dan seni yang tidak mudah untuk diikuti. Faktanya, rekam jejak Endo tercatat rapi di sana.

Tidak heran jika Endo kemudian mendapatkan beasiswa untuk belajar di Wesleyan University, Connecticut, Amerika Serikat (1979-1983). Tesisnya tentang Topeng Cirebon dan konteks sosial masyarakat yang melingkupinya hingga saat ini masih menjadi rujukan akademik yang kuat.

Hasrat belajar Endo yang tinggi membawanya ke University of Washington (1987-1991).  Di sana dia menyelesaikan  program doktoral di bidang Etnomusikologi. Yang menjadi objek penelitiannya adalah tradisi Wayang Kulit yang berkembang di Cirebon dan Bandung.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1556982941_Endo_Suanda.jpeg" />Sarasehan Literasi Budaya Panji di Museum Panji, Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (26/4/2019). Foto: IndonesiaGOID/Hermawan Susanto

Redaktur Indonesia.go.id Yul Amrozi mewawancarai secara khusus Endo, sesaat setelah selesai menjadi pembicara pada acara Sarasehan Litarasi Budaya Panji yang berlangsung pada Jumat (26/4/2019), di Museum Panji, Tumpang, Kabupaten Malang. Acara yang diikuti komunitas-komunitas yang peduli pada konservasi budaya Panji itu berlangsung sejak pagi hingga tengah malam. Berikut petikan wawancara tersebut:

Tentang tradisi Budaya Panji yang berkembang di Jawa Barat, bagaimana Anda melihatnya hingga hari ini?

Budaya Panji sebagai sebuah tradisi yang berkembang di wilayah Cirebon dan sekitarnya pada saat ini sebenarnya sudah lebih banyak yang mengapresiasi ketimbang dua puluh tahun yang lalu. Tetapi seperti yang sudah saya sampaikan di sarasehan tadi, hingga hari ini peran pemerintah dalam memajukan program konservasi masih minimal.

Bagaimana dengan berbagai penyelenggaraan seminar dan festival yang disponsori oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama ini?

Dua tahun lalu saat seminar di Museum Wayang, Jakarta, saya menyampaikan pada Dirjen Kebudayaan (Kemendikbud) Pak Hilmar (Hilmar Farid), tentang pentingnya mengembangkan sumber daya yang fokus pada konservasi budaya Panji. Penyelenggaraan Festival Panji Internasional yang berlangsung di empat kota pada 2018 memang menarik perhatian orang banyak tentang apa pentingnya konservasi budaya Panji. Tetapi hingga hari ini, yang konsisten dan antusias dengan kegiatan konservasi masih orang-orang yang itu-itu juga. Kalau tidak pak Wardiman (Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada kurun 1993-1998 Wardiman Djojonegoro) berperan sebagai “provokator”, mas Henri yang cakap menulis, dan yang tidak kenal lelah mas Dwi Cahyono yang mengasuh museum ini.

Program seperti apa yang bisa Anda bayangkan untuk lebih memajukan koservasi budaya Panji?

Saat saya mendirikan Tikar Media Budaya Nusantara (tikar.or.id) saya merintis pendokumentasian berbagai produk seni dan budaya dalam bentuk digital. Tentu saja saya mengharapkan pemerintah lebih bisa mengembangkan lebih jauh upaya yang sudah ada rintisannya. Berbagai tulisan yang saya kembangkan di Lembaga Seni Pendidikan Nusantara (LSPN) memang telah masuk di dalam materi-materi pendidikan di ribuan sekolah. Tapi, upaya itu belum bisa membuka akses yang lebih besar lagi bagi orang-orang yang berminat terhadap pelestarian budaya nusantara.

Selain pendataan dan materi-materi pengajaran, hal apalagi yang penting untuk disegerakan dalam konservasi budaya Panji?

Bisa Anda bayangkan, jika melihat umur kami. Pak Wardiman, misalnya, dia sudah 85 tahun, saya sendiri sepuluh tahun di bawahnya. Sementara itu pak Dwi yang terlihat paling muda di sini sudah 53 lebih. Kami perlu “second liner”. Generasi baru yang lebih muda lebih bertenaga dan mempunyai kemampuan yang lebih komplet untuk memperkuat upaya-upaya pelestarian budaya nusantara.

Saya sendiri masih merasa “awam” dengan konservasi Budaya Panji, coba Anda ceritakan saat merevitalisasi Topeng Mimi Rasinah?

Saat itu saya bersama Toto (Toto Amsar Suanda) bertemu Rasinah pertama kali pada 1994. Saya mendengar ada seorang dalang topeng yang baik. Saya mendapat informasi dari Wangi (dalang Topeng dari Tambi) dan dinas kebudayaan Indramayu.

Saya bertemu seorang nenek yang waktu itu berumur 64 tahun. Dia terlihat seperti seorang nenek kebanyakan dari Desa Pekandangan yang waktu itu sedang sibuk mengasuh bayi dari tetangga yang menitipkan.

Rasinah pertama kali ditawarkan untuk menari dengan sopan menolak. Dia merasa sudah tidak pantas. Giginya juga sudah ompong, tak bisa lagi menggigit topeng. Sudah lima belas tahun lebih dia tidak menari. Kalaupun mau menari, nayaga yang seangkatan dia sudah tidak ada.

Saya waktu itu yakin pasti ada jalan untuk membuat Rasinah menari. Dengan memperdengarkan rekaman gending yang saya bawa dan sebuah “kedok” yang selalu dibawa Toto, Rasinah pun akhirnya mau membawakan beberapa gerakan.

Kisah selanjutnya adalah sejarah. Sejak Rasinah mau menari dengan diiringi nayaga dari Tambi,  saya seperti menemukan mutiara yang terpendam. Kebangkitan Rasinah menjadi berkah bagi tradisi Topeng Cirebon dan sekitarnya. Dari beberapa kali pagelaran di Bandung, Jakarta, Bali, Surakarta,  dan Yogyakarta, rombongan Topeng Cirebon yang berisi tambal sulam dari berbagai tradisi bisa melakukan muhibah dari Jepang, kemudian Prancis, Belgia, Belanda, Italia, hingga Swiss.

Dari kisah “luarbiasa” Mimi Rasinah, apakah mungkin pada saat ini merevitalisasi kekayaan tradisi seperti yang pernah Anda lakukan?

Hal ini yang ingin selalu saya sampaikan. Tidak ada namanya keberhasilan yang instan. Semua membutuhkan proses. Sejak pertama kali bertemu Rasinah sampai dengan pagelarannya yang pertama kali ada proses yang lama. Kurang lebih lima tahun untuk menyajikan kembali kemampuan dari seorang maestro seperti Rasinah.

Apa yang tersimpan di dalam diri seorang dalang adalah buah dari sebuah pengalaman hidup yang panjang. Perjalanan hidup, suka dan duka, proses belajar, menghadapi berbagai cobaan hingga proses penemuan jati diri sebagai seorang penari adalah hal yang berbeda-beda bahkan bagi setiap orang.

Untuk menemukan kembali yang semacam Rasinah, tentu bukan hal yang mudah. Faktor keberuntungan adalah hal yang sangat penting. Kemungkinan dengan mempertimbangkan berjalannya waktu bahkan nyaris tidak mungkin. Tetapi kita tidak boleh romantis.

Upaya seperti apa yang “paling mungkin” untuk paling tidak memajukan upaya konservasi?

Dari catatan dokumentasi dan data-data yang saya punya setidaknya saya mempunyai 100 jam rekaman Rasinah. Inilah pentingnya data. Khazanah Rasinah adalah sebuah database. Pelajaran dari Rasinah bisa memperlihatkan pada kita tentang berbagai ragam gerak, ekspresi, bahasa tubuh, luasnya variasi dari berbagai sumber, hingga kreativitas “jejogedan” (improvisasi), yang bisa digunakan untuk memperkaya pelajaran bagi generasi penerus tradisi selanjutnya.

Jadi kita harus realistis, ilmiah, dan metodologis dalam kerja-kerja konservasi?

Mungkin itu kata-kata yang lebih pas bagi kerja-kerja kita. Dalam hal seni dan olah seni kita yang bertemu dengan banyak pelaku seni dari seluruh dunia meyakini bahwa kesenian tidak ada yang paling asli. Seni mendapat pengaruh dari berbagai pihak, berbagai tempat, berbagai budaya, bolak-balik saling mempengaruhi yang tua mempengaruhi yang muda, demikian juga sebaliknya.

Kita harus terbuka, jujur, dan saling berbagi. Lebih penting lagi kita tidak boleh mementingkan popularitas atau keuntungan semata. Dalam hal konservasi budaya Nusantara, kualitas harus menjadi perhatian yang utama. Kita tidak boleh cepat puas diri. Banyak hal yang memerlukan ketekunan, proses saling belajar yang memakan waktu, dan yang lebih penting lagi saling berbagi.

Bagaimana dengan kecenderungan iklim budaya sekarang dengan perkembangan media sosial yang hanya suka melihat yang sudah populer, cepat saji, hanya dilihat kalau terkenal, dan serba ikut-ikutan? 

Saya termasuk orang yang optimistis dengan masa depan kebudayaan kita. Seperti acara festival pada hari ini. Lihatlah, masih ratusan anak-anak kecil yang mau menari tradisi. Masih ada banyak orang tua yang ingin anaknya bisa menari. Mereka tidak dibayar, mereka juga tidak peduli apakah mereka akan jadi terkenal. Mereka mau menari.

Tetapi kita juga tidak bisa memaksa agar orang bisa mencapai pemahaman seperti seniman-seniman yang mumpuni. Indonesia adalah negeri yang dianugerahi kekayaan luar biasa. Kita mempunyai riwayat orang-orang yang mempunyai capaian dalam bidang seni sampai pada tingkat kualitas yang begitu tinggi. Tetapi semuanya tidak akan bisa didapat jika tidak ada proses cobaan dan kontroversi yang menyertai jalan kreatifnya.

Anda mungkin tahu, di zaman dulu seorang dalang wayang kulit, Nartosabdo mendapat kritik yang begitu keras dari sesama koleganya. Dia dibilang merusak pakem, hanya mementingkan sisi komersial, merusak berbagai “gagrak” yang semestinya harus dihormati. Tetapi dia bergeming. Nartosabdo konsisten terhadap kejujuran ekspresi diri dan kerja bersama yang dia kembangkan. Kini, semua orang mengenalnya sebagai dalang terbesar yang pernah ada. Kreativitas dan daya hidup kreasinya yang seakan tidak ada habisnya selalu bisa dinikmati dari warisan kaset-kaset rekamannya yang hingga kini menjadi koleksi langka.

Jadi dengan kata lain, beri ruang berekspresi, berkreasi, dan berkontroversi bagi para penerus tradisi?

Seperti itulah dunia seniman. Jika ingin besar harus mampu menghadapi berbagai kecaman. Tak akan Anda mampu mengarungi lautan tanpa berjumpa angin dan badai. Generasi sekarang, terutama dengan orang-orang yang punya kemauan untuk belajar dan berbagi adalah pemilik masa depan. Jalan yang ada tentu saja tidak mudah, bahkan sudah sejak sedari dulu kala. Tetapi selama masih ada jiwa-jiwa yang peka, selama masih ada penghormatan terhadap sesama, terhadap kehidupan, terhadap nilai-nilai yang berbeda dan saling menghargai maka kebudayaan manusia akan terus menghidup dirinya. (Y-1)

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1556990797_Hari_Tari_Dunia.jpeg" />Sebanyak 400 orang penari se Malang Raya mengikuti eksebisi menari dalam rangka memperingati Hari Tari Dunia di Museum Panji, Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (26/4/2019). Foto: IndonesiaGOID/Hermawan Susanto