Indonesia.go.id - Mengantar Astuti ke Kampung Halaman

Mengantar Astuti ke Kampung Halaman

  • Administrator
  • Rabu, 15 Maret 2023 | 20:26 WIB
KONSERVASI
  Orangutan bernama Astuti saat akan dikembalikan kehabitatnya di hutan Kalimantan. ANTARA FOTO
Orangutan berperan penting dalam menjaga kesehatan ekosistem hutan dan membantu regenerasi pohon di belantara rimba.

Mata hitamnya yang bundar terus memandangi lalu-lalang orang dari balik jendela jeruji merah. Astuti, nama si pemilik mata hitam bundar itu, terlihat bagaikan berusaha mengenali suara dan orang-orang itu. Dia pun berusaha tetap tenang, meski orang-orang di luar jeruji besi menatap ke arahnya. Sesekali, jemari mungilnya menggenggam jeruji merah di hadapannya itu.

Astuti bukanlah nama seorang perempuan, melainkan seekor bayi orangutan betina berusia dua tahun. Nama itu disematkan oleh para relawan dari Pusat Penyelamatan Satwa II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Tasikoki, Manado, Sulawesi Utara. Primata asli Indonesia itu merupakan korban perdagangan satwa liar antarpulau dan diduga pula akan dibawa ke luar negeri.

Hewan berbulu lebat ini pertama kali ditemukan aparat Kepolisian Resor Boalemo, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, saat menggelar razia di depan markas mereka, pada 31 Mei 2022. Dalam razia yang berlangsung di jalan raya Trans-Sulawesi di provinsi berjuluk Serambi Madinah itu, polisi menghentikan satu unit minibus asal Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Mobil berpelat DD 1037 RR yang dikemudikan Wahyudi Fajar dan kernet Ibrahim itu difungsikan sebagai taksi gelap. Aparat curiga dengan minibus tersebut karena berusaha menghindari razia dengan berusaha berbalik arah. Ketika dikejar dan diperiksa isinya, polisi menemukan sejumlah satwa dilindungi yang tidak dilengkapi dokumen resmi.

Selain Astuti, polisi juga menemukan primata seperti owa (Hylobates albibarbis), lutung (Trachypithecus auratus), kemudian ada biawak (Varanus salvator) dan 20 ekor kura-kura. Terdapat pula kura-kura dada merah (Emydura subglobosa), kura-kura kaki gajah (Manouria emys), dan kura-kura matahari (Heosemys spinosa). Kura-kura itu semua masuk ke dalam satwa terancam punah.

Total ada 58 satwa yang berusaha diselundupkan dari habitatnya. Aparat selanjutnya menitipkan satwa-satwa tadi di kandang transit Kantor Seksi Konservasi Wilayah (SKW) BKSDA Gorontalo. Kemudian fauna dilindungi itu dibawa ke PPS Tasikoki. Wahyudi dan Ibrahim telah dipidana penjara lima bulan serta denda Rp15 juta. Kepala BKSDA Sulut Askhari Masiki, seperti diwartakan Antara, meyakini bahwa keduanya hanyalah berperan sebagai kurir.

Sedangkan otak penyelundupan dan para pemodal, masih bebas berkeliaran. Khusus bayi orangutan, para petugas di PPS Tasikoki melakukan tes Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) untuk mengetahui asal si primata. Rupanya dari hasil tes DNA diketahui bahwa Astuti adalah bayi orangutan dari jenis Pongo pygmaues morio yang memiliki habitat di Kalimantan Timur.

 

Sekolah Khusus

Setelah itu, Astuti pun dipersiapkan untuk dikembalikan ke kampung halamannya. Pihak BKSDA Sulut berkoordinasi dengan sejawat mereka, BKSDA Kaltim, dibantu oleh organisasi nirlaba, Central for Orangutan Protection (COP). Pemulangan orangutan ke habitat aslinya merupakan salah satu isi amar putusan sidang para terdakwa. Astuti pun melakukan perjalanan udara antarpulau untuk kembali ke alam liar.

Ia ditempatkan di sebuah kandang khusus transportasi berukuran panjang dan lebar yang sama yaitu 70 sentimeter, milik COP, yang dibuat dari bahan besi antikarat. Kandang ini diletakkan di bagasi pesawat dalam perjalanan dari Manado ke Balikpapan. Sebelum dilepasliarkan, Astuti ternyata harus menjalani semacam "pendidikan khusus".  

Proses rehabilitasi ini untuk menyembuhkan luka, jika ada, dan trauma psikologis karena faktanya Astuti masih bayi orangutan dan tidak bersama induknya. Primata dilindungi ini akan belajar keterampilan bertahan hidup di alam bebas sebagaimana layaknya orangutan. Perlu waktu 6--7 tahun agar bisa lulus dari "pendidikan khusus" berupa pusat rehabilitasi.

Selama di sana, Astuti dan rekan-rekannya ditempatkan di kandang besar di tengah hutan. Mereka umumnya adalah orangutan yang berhasil diselamatkan dari upaya penyelundupan atau dipelihara oleh masyarakat. Atau akibat aktivitas pembalakan liar serta kebakaran hutan dan lahan.

Agar lulus, mereka harus pintar memilih pakan alaminya, pandai membuat sarang, dan gesit memanjat pohon. Mereka juga harus mampu mengenal bahaya yang dapat mengancam jiwa. Menurut Askhari, pendidikan serupa itu diperlukan supaya orangutan-orangutan itu bisa hidup selamat di alam liar ketika kelak dilepasliarkan.

 

Hampir Punah

Pada dasarnya orangutan adalah hewan liar dan mandiri di alam sebagai habitatnya. Namun sayang, populasinya sudah makin menyusut di alam liar. Lantaran makin tingginya perburuan serta adanya ancaman kerusakan alam. Bagi kalangan tertentu, memelihara orangutan di kediaman dapat menaikkan status sosial mereka. Beberapa pertunjukan sirkus dunia juga diketahui memakai orangutan sebagai salah satu bintang acara. 

Dua lembaga konservasi dunia juga telah memproteksi habis-habisan kera besar satu-satunya di Asia tersebut. Uni Konservasi Alam Internasional (International Union Conservation Nature/IUCN) sejak Juli 2016 telah memasukkan orangutan ke dalam Daftar Merah di kategori Kritis (Critically Endagered/CR). IUCN bahkan menempatkan orangutan sebagai 25 Primata Dunia Paling Terancam Punah (World's 25 Most Endangered Primates).

Sedangkan Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Dilindungi (Convention on International Trade in Endagered Species/CITES) telah menjadikan orangutan bagian dari Appendix I. Artinya, CITES melarang orangutan untuk diperjualbelikan dalam bentuk apa pun. Pemerintah Indonesia sudah memasukkan orangutan ke dalam daftar hewan yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990.

Menurut pakar orangutan dunia Birute Galdikas, primata asli Indonesia itu hanya dapat ditemui di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Terdapat tiga subspesies orangutan di Kalimantan, yakni Pongo pygmaeus pygmaeus yang mendiami Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia. Kemudian Pongo pygmaeus wurmbii di Kalbar dan Kalimantan Tengah, serta Pongo pygmaeus morio di Kaltim dan Sabah (Malaysia).

Orangutan sumatra terdiri dari dua subspesies, yakni Pongo abelii dan Pongo tapanuliensis. Mereka dapat ditemui di Taman Nasional Gunung Leuser dan Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Istilah ‘pongo” pada orangutan pertama kali disematkan oleh naturalis asal Prancis Bernard Germain de Lacepede pada 1799.      

 

Beda Morfologi

Ada sejumlah perbedaan morfologi di antara jenis kera besar itu di kedua pulau. Orangutan di Kalimantan memiliki postur lebih besar dan rambut bulu lebih pendek dengan warna merah cokelat gelap. Mengutip penjelasan dari website Pusat Studi Satwa Primata IPB University, orangutan jantan dewasa di Kalimantan dapat mencapai berat 90 kg dan tinggi badan 1,5 meter.

Sedangkan betina dapat mencapai berat maksimal 50 kg dan tinggi 1 meter. Orangutan jantan dewasa di Kalimantan memiliki semacam bantal pada pelipis, membuat wajahnya menjadi lebih besar. Tidak semua orangutan jantan dewasa di Kalimantan memiliki pelipis seperti bantal. Mereka juga memiliki jakun yang dapat digelembungkan untuk menghasilkan suara keras.

Makanan orangutan di Kalimantan lebih beragam, mulai dari buah-buahan, biji-bijian, pucuk daun, kulit pohon yang lunak, hingga serangga. Jenis di Kalimantan itu lebih senang beraktivitas di atas pohon-pohon tinggi dan besar di hutan dataran rendah dan kawasan gambut. Mereka membuat sarang di puncak pohon-pohon tinggi berdahan kuat dan besar, seperti keruing. 

Orangutan betina pertama kali dapat melahirkan di usia sekitar 15 tahun. Interval berikutnya untuk melahirkan umumnya terjadi sembilan tahun kemudian, terlama di antara jenis kera besar lainnya, seperti gorila dan simpanse. Masa kehamilannya selama sembilan bulan dan bayi lahir dengan berat 1,5--2 kilogram dan setiap induk hanya melahirkan seekor bayi orangutan. 

Bayi orangutan akan menyusui kepada induknya hingga usia dua tahun meski beberapa primatalog menyebut sampai usia empat tahun. Selama empat bulan pertama, bayi selalu menempel atau memeluk perut induknya. Usia 6--7 tahun menjadi masa remaja dalam siklus kehidupan orangutan dan mampu hidup sendiri kendati tetap berhubungan dengan induknya. Orangutan mampu hidup sampai usia 55 tahun.

Menurut survei terakhir yang dilakukan pada 2016, populasi orangutan di alam liar Kalimantan jumlahnya sekitar 104.700 ekor dan orangutan di Sumatra masih menyisakan 4.613 ekor Pongo abelii dan hanya 800 ekor Pongo tapanuliensis. Jumlah berbeda didapat berdasarkan analisa pihak Population Habitat Viability Analaysis (PHVA) pada 2016.

PHVA menyebutkan, terdapat sekitar 71.820 individu orangutan di Sumatra dan Kalimantan yang tersebar di 52 metapopulasi di kawasan seluas 17.460.000 hektare. Sebanyak 57.350 orangutan di Kalimantan menjadi penghuni kawasan seluas 16.013.600 ha dengan Pongo pygmaeus wurmbii sebagai subspesies terbanyak, yakni 38.200 individu. Sedangkan di Sumatra, versi PHVA disebutkan populasinya sekitar 14.470 individu.

Organisasi World Wildlife Fund (WWF), seperti dikutip dari BBC, menyatakan bahwa telah terjadi penurunan populasi sampai 100 ribu ekor kera besar ini dalam kurun 20 tahun akibat perburuan besar-besaran dan kerusakan alam habitatnya oleh manusia. Makin berkurangnya populasi orangutan turut memberi andil bagi kelangsungan kehidupan di hutan.

Ini lantaran mamalia arboreal terbesar tersebut memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan ekosistem hutan. Ia makan banyak buah berbiji dan sambil memanjat atau berjalan di tanah, biji-bijian itu disebar lewat feses atau sisa makanannya.

Saat bergerak dari satu ranting pohon ke ranting lainnya, secara tidak langsung mereka telah memberi kesempatan sinar matahari menembus hingga mencapai tanah hutan. Sehingga membantu pepohonan kecil yang membutuhkan sinar matahari.

Dengan demikian, mereka menjadi salah satu pihak yang membantu regenerasi pohon di hutan. Oleh karena itu, perlu upaya bersama dari segenap lapisan masyarakat untuk mencegah kepunahan satwa asli Indonesia ini.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari