Indonesia.go.id - Kepiting Cantik dari Gunung Kelam Kalimantan Barat

Kepiting Cantik dari Gunung Kelam Kalimantan Barat

  • Administrator
  • Selasa, 9 April 2024 | 09:11 WIB
KEANEKARAGAMAN HAYATI
  Kepiting mungil tiga warna bernama latin Lepidothelphusa menneri yang ditrmukan di Gunung Kelam, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat oleh peneliti BRIN. Dok BRIN
Terakhir kali terlihat pada 1920 atau 104 tahun lalu, saat ditemukan oleh pakar biologi berkebangsaan Italia, Guiseppe Colosi di sekitar Serawak, Malaysia Timur.

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah dan belum tentu ditemui di belahan dunia lain. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat, Indonesia adalah negara pemilik kekayaan keanekaragaman hayati atau biodiversitas terrestrial tertinggi kedua di dunia. Tetapi, jika seluruh kekayaan biodiversitas baik di darat maupun lautan, maka Nusantara menjadi yang terkaya di dunia.

Spesies mamalia yang hidup di Indonesia jumlahnya mencapai 670 jenis dan terbanyak di dunia. Belum lagi 4.782 spesies ikan yang menjadikan Indonesia ada di urutan kedua. Indonesia juga menjadi rumah bagi 1.711 spesies burung, 755 spesies reptil, 1.600 spesies krustase, 365 spesies amfibi, dan 29.375 spesies tumbuhan vaskular.

Masih tingginya keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia memiliki banyak manfaat bagi lingkungan dan kehidupan. Hal itu menandakan masih terjaganya ekosistem lingkungan. Luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau juga menyebabkan belum semua biodiversitas tadi dapat terungkap oleh para peneliti Indonesia dan dunia.

Setiap saat selalu saja ada temuan-temuan baru dari flora dan fauna. Tak sedikit pula flora dan fauna yang ditemukan itu terakhir kali dilihat manusia pada puluhan atau ratusan tahun silam. Hal itu turut dialami oleh peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Daisy Wowor bersama sejawatnya dari National University of Singapore (NUS), Ng Kee Lin.

Keduanya beberapa waktu lalu menggelar ekspedisi untuk meneliti keanekaragaman hayati di sekitar Gunung Kelam yang terletak di Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Gunung setinggi 1.002 meter di atas permukaan laut tersebut merupakan bongkahan batuan monolit. Ahli botani Jerman, Johannes Gottfried Hallier pernah mengeksplorasi kekayaan Gunung Kelam pada tahun 1894 silam.   

Ia tercatat lima kali mendaki puncak Gunung Kelam antara 30 Januari--13 Februari 1894 dan menemukan bahwa tempat itu menjadi habitat terpenting bagi spesies tumbuhan kantung semar (Nepenthes) di dunia. Apalagi ada 14 spesies kantong semar termasuk Nepenthes clipeata yang sangat langka dan paling terancam punah di dunia. Selain itu, terdapat pula spesies langka anggrek hitam.

Namun, bukan flora yang ditemukan oleh Daisy dan Lin di lokasi ekspedisi mereka pada era milenium ini. Keduanya justru menemukan kepiting mungil tiga warna Lepidothelphusa jenis baru bernama Lepidothelphusa menneri di Gunung Kelam. Temuan ini juga sudah dituliskan dalam jurnal ilmiah, Zootaxa Nomor 5397 Volume 2 terbitan 4 Januari 2024.

Kepiting Lepidothelphusa seperti ini dalam catatan literasi ilmiah pernah ditemukan oleh ahli zoologi berkebangsaan Italia, Guiseppe Colosi di Sarawak, Malaysia pada 1920 silam. Sedangkan kepiting yang ditemukan oleh Daisy dan Lin ukurannya begitu mini, panjang sekitar 10 milimeter (mm) dan lebar 8,8 mm. Tekstur pada karapas atau punggung kepiting mungil ini terlihat licin.

Seperti dikutip dari siaran pers BRIN, Sabtu (9/3/2024), terdapat tiga warna kontras pada tubuh kepiting dan membuatnya tampak cantik. Sepertiga bagian tubuhnya, mulai dari bagian kepala dan mata berwarna kuning cerah hingga oranye. Sementara bagian tengahnya berwarna coklat tua hingga hitam keunguan, dan sisa sepertiga bagian posteriornya berwarna pucat hingga biru cerah.

Daisy mengungkapkan, kepiting ini memiliki keunikan karena ukuran capitnya besar sebelah. Capit kanan lebih kecil dibandingkan sebelah kiri. Kondisi ini terjadi bukan karena pernah terpotong, namun memang ciri khas morfologinya seperti itu.

"Dapat dipastikan kepiting ini bukan jenis pemanjat. Untuk menemukannya pun perlu ketelitian, karena kepiting ini hidup di tepi anak sungai yang dangkal dengan substrat kerikil dan batu. Kepiting ini sangat suka bersembunyi di balik serasah daun dan akar,” jelas Peneliti Ahli Utama BRIN tersebut.  

Ia menerangkan bahwa genus ini terbagi ke dalam enam spesies meliputi Lepidothelphusa (L.) cognettii, L. flavochela, L. limau, L. loi, L.padawan, dan L. sangon. Semuanya berasal dari Sarawak bagian barat, Malaysia Timur. Sedangkan L.menneri yang ditemukan di sekitar Gunung Kelam didokumentasikan pertama kali oleh warga sekitar bernama Noplentinus.

Secara etimologi, L. menneri diambil dari nama Jochen K. Menner. Dialah yang memberi tahu Daisy dan Peter tentang keberadaan spesies ini di Kalimantan. Kemudian memfasilitasi pengumpulan spesimen dengan penduduk di Sintang. Menurut Daisy, penetapan status konservasi L. menneri masih sulit dilakukan karena wilayah penyebarannya belum diketahui secara tepat.

Kolektor lokal saat ini juga sedang marak mengumpulkan L. menneri untuk diperdagangkan ke Singapura, Tiongkok, dan Eropa. Sebagian besar spesies Lepidothelphusa mempunyai ukuran induk yang kecil dengan kemampuan bertelur terbatas, yakni sekitar 21 butir.

Daisy dan para peneliti pada umumnya merasa khawatir dengan eksploitasi kepiting langka yang cantik ini terlebih jika dijadikan hewan peliharaan. Nantinya dapat menimbulkan ancaman penyusutan populasi di habitat aslinya.

Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan agar kepiting cantik ini masuk kategori rentan agar tidak lagi diperdagangkan sebagai hewan hias. Sehingga, populasinya tetap terjaga di habitat aslinya.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari