Lamun siro sekti, ojo mateni;
Lamun siro banter, ojo ndhisiki;
Lamun siro pinter, ojo minteri.
Meskipun kamu sakti/kuat, jangan menjatuhkan;
Meskipun kamu cepat, jangan mendahului;
Meskipun kamu pintas, jangan sok pintar”
19 September 2019, Suropati Syndicate menggelar Simposium Peneliti Jokowi yang ketiga dengan tajuk “Indonesia Pasca-Jawa di bawah Jokowi.” Bertempat di Teater Utan Kayu, dalam forum ini terdapat empat nara sumber selaku pemantik diskusi yaitu Fachry Ali, Manuel Kaisiepo, Aris Arif Mundayat, dan Asep Salahudin, serta dimonderatori oleh Nezar Patria.
Seperti diketahui, sebagian besar orang tentu sudah sering mendengar frasa “Indonesia-sentris.” Istilah ini belakangan kembali dipopulerkan Presiden Jokowi untuk menegaskan visi pembangunannya yang tidak menganut perspektif Jawa-sentris. Perubahan perspektif ini setidaknya terlihat jelas dari kebijakan Nawa Cita poin ketiga: “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.”
Perspektif Indonesia-sentris ini juga dipraktekkan Presiden Jokowi dalam serangkaian fenomena kenegaraan yang diinisiasi istana. Tak jarang kita melihat Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat dari daerah-daerah di luar Jawa di berbagai acara resmi.
Pun berbeda dari para presiden sebelumnya yang cenderung memilih Ibu kota Jakarta sebagai lokus aktivitasnya, Presiden Jokowi justru beberapa kali terlihat merayakan hari besar keagamaan di luar ibu kota negara. Dia pernah natalan di Papua, Idul Adha di Kalimantan Selatan, dan Idul Fitri di Sumatra Barat. Dan, tentu saja yang paling menarik ialah, Presiden Jokowi bahkan memutuskan untuk memindahkan pusat kekuasaan dari tanah Jawa ke Kalimatan Timur, sebuah rencana yang sudah dicanangkan jauh hari oleh Presiden Soekarno.
Menyimak fenomena tersebut, naga-naganya menjadi menarik untuk mendiskusikan sejauh mana diskursus kekuasaan Presiden Jokowi yang notabene adalah orang Jawa itu, perlahan-lahan namun pasti mulai tampak bergeser dari model kekuasaan Jawa ke model kekuasaan pasca-Jawa.
Pertanyaannya ialah: Benarkah Indonesia Pasca Jawa itu tengah berlangsung? Merujuk kesimpulan moderator, Nezar Patria, semua pembicara tampaknya sepakat, bahwa model kepemimpinan Presiden Jokowi telah keluar dari pakem paham kekuasaan Jawa, yang menganggap kekuasaan itu harus tunggal dan memusat.
Merujuk artikel Fachry Ali Indonesia Pasca-Jawa di bawah Jokowi, tampak jelas mengemukanya frasa “pasca-Jawa” ini berasal dari responsnya ketika menanggapi wawancara The Jakarta Post pada Presiden Jokowi berkaitan dengan situasi nasional pascakeputusan MK. Dalam wawancara itu, Jokowi mengutip petitah-petitih Jawa sebagaimana dikutip pada awal tulisan.
Ada kekhawatiran atau setidaknya rasa kaget, warna kejawaan Jokowi yang terekspresikan dalam kutipan petitah-petitih itu merupakan titik tolak kembalinya kepemimpinan a-la Jawa. Berbeda dari itu, Fachry justru beranggapan Jokowi tidak lagi berada dalam lingkup konsep kekuasaan Jawa. Menurutnya, jika menyimak tingkah laku politiknya Jokowi justru memperlihatkan sikap atau tanda-tanda “pasca Jawa.”
Fachry merujuk konsepsi klasik para Indonesianis. Dari Jhon Pamberton hingga Benedict Anderson untuk melukiskan bagaimana pandangan Jawa mengkontruksi kekuasaan. Sistem kekuasaan Jawa yang menekankan aspek kesatuan, harmoni dan ketenteraman, seturut kesimpulannya telah berpengaruh kuat dalam pandangan politik Bung Karno. Walaupun berhasil mengontrol dukungan simbolik yang besar, menurut Fachry, Bung Karno gagal menenteramkan hati rakyat karena absennya “politik nasi.”
Kekosongan politik nasi ini dikoreksi oleh Presiden Soeharto. Merujuk ide klasik “the Asiatic mode production,” menurut Fachry elite penguasa tampil sebagai pengontrol sumber daya alam. Lebih jauh, berdasarkan kontrol itulah kekuasaan rezim Orde Baru dibangun. Singkat kata, yang dilakukan Presiden Soeharto di sepanjang berkuasa hampir tigadasawarsa ialah “pembangunan sistem politik nasi,” yang dilaksanakan dengan menggabungkan konsep kekuasaan Jawa dan the Asiatic mode of production.
Yang menarik digarisbawahi dari artikel Fachry ialah: pada 2019, Presiden Jokowi mengambil keputusan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, maka periode “Jawa-sentris” di dalam dunia politik Indonesia secara simbolik telah “berakhir”. Salah satu argumentasi adalah, bahwa masa atau periode yang memungkinkan implementasi kekuasaan simbolik Jawa dari Soekarno dan visi serta praktek kekuasaan Jawa yang berkombinasi dengan the Asiatic mode of production dari Soeharto, kini sudah tidak lagi berlaku.
Menurut Fachry, ciri-ciri fundamental kehadiran periode “pasca-Jawa” dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, adanya sistem demokrasi membawa konsekuensi konsentrasi kekuasaan secara struktural tak lagi bisa ditegakkan. Kedua, pengagungan penguasa, baik pada raja maupun kaum aristokrat, seperti pernah dilakukan oleh Bung Karno dan Pak Harto, kini sudah tidak menemukan fondasi yang kuat.
Sebagai akibatnya, ketiga, penguasa kini tak lagi menjadi wilayah monopoli kalangan elite semata. Keempat, bersamaan dengan itu, maka posisi rakyat yang sebelumnya hanya bertindak sebagai penggembira dari sebuah panggung teater politik, kini telah bertransformasi menjadi aktor.
Adanya realitas sosiologis ini, yang terpotret pada poin ketiga dan keempat, maka dengan sendirinya menciptakan struktur hubungan horizontal ketimbang hubungan yang bersifat hirarkis. Di dalam atau di atas struktur inilah Jokowi, sebagai pribadi yang tak berasal dari kalangan elite melainkan dari kalangan khalayak tampil ke puncak kekuasaan.
Dan tearkhir atau kelima, tingkah-laku politik Jokowi yang tak terikat dengan locus (titik, tempat, wilayah) yang menempatkan Pulau Jawa sebagai “pusat,” maka konsep “kesucian” asal-usul dengan sendirinya juga menghilang.
Dalam analisis Fachry, keputusan Jokowi memindahkan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur lebih ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan teknikal-ekonomis dan pemerataan kemakmuran. Dengan kata lain, keputusan pemindahan ibu kota adalah sebuah garis pemisah yang secara tajam dan jelas menandai sejarah baru budaya politik Indonesia: “pasca Jawa”. Demikianlah, simpul Fachry.
Keluar dari Bayang-bayang Priyayiisme
Sayangnya, semua pemateri dalam forum Simposium itu ternyata luput atau alpa mengaitkan kebijakan Presiden Jokowi dalam agenda reformasi birokrasi sebagai proyek “pasca-Jawa.” Padahal keseriusan Jokowi untuk mentransformasikan birokrasi supaya menjadi birokrasi yang efisien dan efektif berulang kali ditegaskan dalam banyak kesempatan.
Sebutlah, dalam pidato kenegaraan di Sentul Bogor pada 14 Juli 2019 Presiden terpilih untuk periode 2019 - 2024 menyatakan akan fokus pada reformasi birokrasi, baik di lembaga maupun kementerian. Dia menyoroti soal efesiensi dan efektivitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
"Karena kecepatan melayani memberikan izin menjadi kunci bagi reformasi birokrasi kita, akan saya cek sendiri, akan saya kontrol sendiri, begitu saya lihat tidak efisien atau tidak efektif. Saya pastikan akan saya pangkas dan saya copot pejabatnya," ujar Jokowi.
Presiden Jokowi juga menegaskan, saat ini ialah waktunya meninggalkan kebiasaan dan pola pikir lama dalam bekerja. "Tidak ada lagi kerja yang hanya rutinitas, tidak ada lagi kerja yang monoton yang begitu saja. Tidak ada lagi kerja di zona yang nyaman. Penyakit kita ada di situ. Kita harus beribah, sekali lagi kita harus berubah," tegasnya.
Lebih jauh: "Kita harus membangun nilai baru dalam bekerja yang menuntut kita harus cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kita harus bangun indonesia yang adaptif, Indonesia yang produktif, Indonesia yang inovatif dan Indonesia yang kompetitif," pungkas Jokowi.
Seperti diketahui, ketika pemerintahan kolonial Belanda berkembang dan membutuhkan banyak pegawai, maka diperlukan tenaga-tenaga administratif yang berasal dari kalangan pribumi. Momentum ini merupakan kesempatan awal bagi elit pribumi terlibat dalam birokrasi modern. Selanjutnya pengalaman ini menjadi bekal mereka dalam mengelola pemerintahan di masa-masa berikutnya.
Sayangnya, tak sedikit kritik mengatakan budaya birokrasi dari masa feodal dengan lingkungan kerajaan plus budaya birokrasi kolonial Belanda (ambtenaar) sampai sekarang masih melekat pada perilaku birokrasi pemerintahan. Karakter budaya Jawa bukan hanya telah mempengaruhi gaya kepemimpinan politik di masa lalu, lebih dari itu rezim yang berkuasa juga bersandar pada jaringan-jaringan hubungan personal antara patron-klien dan para penyokongnya. Maka terbangunlah relasi kaum bangsawan dan priyayi dengan struktur birokrasi pemerintah.
Kuatnya pengaruh budaya Jawa dalam budaya birokrasi terlihat dari perubahan makna dari istilah priyayi itu sendiri. Berasal dari kata 'para' dan 'yayi' dalam bahasa Jawa, istilah priyayi pada awalnya hanya berarti merujuk pada keberadaan adik-adik raja atau keluarga raja yaitu para bangsawan.
Namun pascakolonialisme dan memasuki era kemerdekaan, pengertian priyayi kemudian berkembang untuk menyebut mereka yang berhasil mengenyam pendidikan formal tinggi, yang kemudian duduk sebagai birokrat di pemerintahan. Cita-cita menjadi birokrat adalah setali tiga uang berarti bercita-cita menjadi priyayi. Menjadi birokrat yang berarti menjadi priyayi sudah tentu memiliki nilai prestisius tersendiri, yaitu serba dilayani dan diistimewakan secara sosial sebagaimana keluarga adik-adik raja, yaitu para yayi di masal lalu.
Fungsi birokrasi pemerintah pun berubah makna menjadi sumber kekuasaan dan kekayaan dari para pejabatnya. Tak aneh, kombinasi antara model relasi patron-klien dan budaya priyayi ini akhirnya membentuk pola patronage dan neo-patrimonialistik dalam budaya birokrasi. Wajar saja bicara dampak negatif yang menonjol selama Orde Baru ialah terbangunnya budaya kolusi, korupsi dan nepotisme.
Kembali pada agenda reformasi birokrasi yang ditekankan oleh Presiden Jokowi. Sangat jelas, kata kunci utama reformasi birokrasi ialah ‘melayani masyarakat.’ Bahkan, dalam proses melayani masyarakat itu harus dilakukan secara efisien dan efektif. Selain itu, juga ada kata kunci ‘kerja bukan rutinitas’ dan ‘tidak ada lagi kerja di zona yang nyaman.’
Dari sini saja tampak jelas, bahwa budaya yang dibawa oleh Presiden Jokowi bukanlah kultur priyayi-isme yang berpamrih mendapat pelayanan. Sebaliknya Jokowi justru tampak membawa elan atau spirit melayani masyarakat sebagai prinsip utamanya. Ya, menyimak sejarah kehidupan Presiden Jokowi yang bukanlah berasal dari kultur priyayi, yang merintis karir personalnya sebagai pengusaha mabel dan bukan dari struktur birokrasi, tentu tidak berlebihan sekiranya ia mudah meninggalkan warna priyayi-isme yang pekat dalam budaya Jawa ketika berkuasa.
Ya, sejarah mencatat sejak pertama duduk sebagai eksekutif di birokrasi, yaitu saat menjadi walikota hingga posisi tertinggi kini sebagai presiden, Presiden Jokowi sama sekali tidak pernah memposisikan dirinya berada di atas menara gading yang berjarak dengan masyarakatnya. Dia tak segan keluar masuk lorong-lorong kampung atau gang-gang sempit di kota, hingga menjangkau di pelosok-pelosok jauh di pinggiran Indonesia.
Ya, pada pribadi Jokowi, naga-naganya spirit melayani adalah kredo hidupnya, dan itu sudah pasti adalah gaya kepemimpinan politik pasca-Jawa. Ekspresi lugas tentang hal ini terungkap pada tagline pemerintahannya, "kerja, kerja, dan kerja," yang mengisyaratkan keyakinan kuat Jokowi pada hakikat manusia sebagai makhluk yang bekerja (homo faber). (W-1)