Indonesia.go.id - Bandar-bandar Tua dan Kronik Sejarah

Bandar-bandar Tua dan Kronik Sejarah

  • Administrator
  • Senin, 21 Oktober 2019 | 20:58 WIB
SEJARAH
  Ilustrasi situasi pelabuhan Banda Aceh. Foto: Dok. Kemendikbud

Mari disimak beberapa bandar tua dan catatan kronik sejarahnya. Tulisan ini hendak memaparkan sejarah dan profil singkat dari tiga bandar laut, yaitu Aceh, Sibolga, dan Padang.

Selain Barus, di Pulau Sumatra juga terdapat bandar-bandar tempo dulu yang menarik disimak. Merujuk Atlas Pelabuhan-pelabuhan Bersejarah di Indonesia suntingan Endjat Djaenuderajat (2013), ditulis bahwa di pesisir barat Pulau Sumatra membujur dari arah barat laut ke tenggara, di sana terdapat pelabuhan Lamuri (Aceh), Barus, Sibolga, Tiku, Pariaman, Padang (Muaro dan Teluk Bayur), Bengkulu (Padang Baai), dan Lampung.

Beberapa di antara bandar tua itu kini telah mati, seiring dengan tidak diproduksinya lagi hasil hutan yang dahulu merupakan komoditas andalan bagi perdagangan di daerah tersebut. Sebagian lainnya masih tetap hidup dan berkembang hingga kini, antara lain, ialah pelabuhan Aceh, Sibolga, Padang (Teluk Bayur), Bengkulu (Padang Baai), dan Lampung.

Sementara itu, walaupun secara geografis lokasi Bandar Barus sebenarnya cukup sulit dijangkau dari arah laut dibandingkan dengan Bandar Singkel atau Sibolga, seperti dilaporkan oleh Tome Pires, di masa lalu posisi bandar yang juga sohor dengan nama “Fansur” ini masih merupakan bandar terpenting hingga abad ke-16 Masehi. Bandar tua ini hingga saat ini masih berfungsi sebagai pelabuhan kecil bagi masyarakat nelayan di sana, namun keberadaannya kini tampaknya sudah tidak sanggup berkembang jadi sebuah pelabuhan besar.

Mari disimak beberapa bandar tua dan catatan kronik sejarahnya. Tulisan ini hendak memaparkan profil singkat dari tiga bandar laut yaitu Aceh, Padang, dan Sibolga.

Bandar Lamuri

Bandar tua ini terletak di ujung barang laut Pulau Sumatra, di pintu masuk Selat Malaka yang terkenal sangat ramai lalu lintas pelayarannya. Dengan lokasinya yang strategis sebagai jalur pelayaran dari India ke Cina ini, wajar saja Bandar Lamuri dahulu merupakan salah satu bandar terpenting. Ketika kerajaan Islam berdiri nama bandar ini berubah menjadi Aceh Darussalam.

Mengenai letak lokasinya secara persis, hingga saat ini masih jadi perdebatan di antara para pakar sejarah karena tidak adanya satupun sumber literatur sejarah yang pernah menginformasikannya. Namun merujuk cerita turun-temurun atau folklore setempat, letak bandar ini ditengarai berada di sekitar Aceh Besar dan Banda Aceh.

Keberadaan bandar tua ini telah disebut-sebut dalam sebuah prasasti dari India. Prasasti Rajendracola dari Tanjore dari 1030 Masehi, mencatat:

“(Rajendra) setelah mengirim banyak kapal ditengah laut bergelombang dan setelah menawan Sanggramavijayottunggavarman, Raja Kadaram, bersama dengan gajah-gajah dalam pasukannya yang perkasa (mengambil) tumpukan besar harta benda berharga…Ilamuridesam kekuatannya yang dahsyat; Manakkavaram...dan Kadaram yang kekuatannya dahsyat, yang dilindungi oleh lautan dalam…”

Prasasti itu menyebut Lamuri dengan istilah Ilamuridesam. Ketika Rajendracola menyerang Sumatra, ia menghadapi resistensi dari pasukan setempat secara dahsyat. Menurut prasasti ini, meskipun Lamuri mempunyai kekuatan besar, orang-orang Cola menyebutnya dengan istilah “desa.”

Bandar Lamuri atau Bandar Aceh Darussalam, kemudian hari menjadi Banda Aceh adalah tempat berkumpulnya para saudagar yang berasal dari berbagai bangsa seperti Cina dan Tamil. Adanya komunitas saudagar Tamil diketahui dari sebuah prasasti beraksara Grantha dan berbahasa Tamil yang ditemukan di Banda Aceh.

Berdasarkan tipografinya, yaitu tata huruf yang digunakan, prasasti ini agaknya sezaman dengan prasasti batu yang ditemukan di Barus yang berasal dari 1088 Masehi. Sayangnya prasasti Tamil dari Banda Aceh ini hingga kini belum bisa dibaca, namun bicara penanggalannya berdasar tipografinya diperkirakan berasal dari sekitar abad yang nisbi berdekatan.

Secara geografis bandar ini sebenarnya sangat ideal bagi sebuah pelabuhan. Pasalnya, selain terletak di sebuah teluk, tempat bermuaranya sungai, juga nisbi terlindung dari angin dan gelombang ombak besar. Di depannya terdapat tiga buah pulau. Tetapi justru pulau-pulau itu sangat mengganggu pelayaran masuk menuju bandar tua itu.

Sejarawan Belanda, de Graaf, pernah mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan ketika hendak mendarat ke Aceh, setelah pelayarannya dari Malaka. Kapal yang ditumpanginya kandas di perairan Aceh. Graaf mencatat kisah itu:

“Adapun kami yang berlayar dengan kapal Dragon itu, saat menuju Kerajaan Aceh, tetapi kapal kami kandas di karang-karang Pouloway, tetapi kami dapat menyelamatkan diri dengan perahu kami dan berdayung masuk ke Sungai Aceh. Waktu kemudian kami hendak kembali ke Batavia, nyaris celaka lagi.”

Mudah diduga, kata Pouloway yang disebutkan oleh de Graaf tentu merujuk pada keberadaan Pulau We yang berada di sisi utara Banda Aceh di Pulau Sumatra.

Bandar Padang

Sumatra Barat, khususnya di Kota Padang terdapat dua badar laut. Yang pertama terletak di muara Sungai Batang Arau, yaitu Bandar Muaro, sedangkan yang kedua terletak di Teluk Bayur, yaitu Bandar Emmahaven.

Merujuk artikel Gusti Asnan yang berjudul Pelabuhan-pelabuhan Kota Padang Tempo Doeloe disebutkan, Bandar Muaro di masa VOC masih bisa jadi tempat bersandar bagi kapal-kapal bermuatan hingga 200 ton. Bandar ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari pelabuhan alami, yang mulai dikembangkan serius oleh VOC dengan menambahkan berbagai fasilitas mulai akhir abad ke-17.

Sepanjang sejarahnya, di sini telah dilakukan beberapa kali perbaikan dan penambahan panjang dermaga. Perbaikan dan penambahan yang paling penting dilakukan di tahun 1850?an dan 1870?an. Bandar Muaro jadi dilengkapi sejumlah fasilitas seperti pergudangan, kantor syahbandar, dan menara suar.

Tak hanya itu, di sana juga dibuat jalan raya yang menghubungkan pelabuhan dengan bagian lain dari kota Padang. Pun ketika pemerintah Hindia-Belanda kemudian membangun jaringan jalan kereta api di kota tersebut, di bandar tua ini juga dibangun rel yang terhubung dengan jalur utama di kota itu.

Menyimak berbagai fasilitas prasarana dan sarana yang ada, pada 1870 bersama dengan Batavia, Semarang, Surabaya dan Makasar, posisi pelabuhan Muaro ini masih ditetapkan sebagai pelabuhan kelas A. Kategori ini berarti status pelabuhan yang dapat melayani kegiatan pelayaranan nasional maupun internasional, yang melayani kegiatan ekspor maupun impor.

Namun pada perjalanannya karena banyaknya endapan lumpur di muara sungai, hanya kapal-kapal berukuran kecillah yang bisa masuk serta melakukan aktivitas di bandar tua ini. Sejarah mencatat, di pertengahan abad ke?19 hanya tersisa kapal?kapal kecil dengan ukuran di bawah 12 ton yang dapat bersandar di bandar tersebut.

Akhir tahun 1880-an pemerintah Hindi Belanda memutuskan membangun sebuah pelabuhan baru, yakni Bandar Emmahaven. Pelabuhan ini diresmikan bersamaan waktunya dengan pemakaian jalan kereta api ruas Emmahaven?Padang, Padang Panjang?Muaro Kelaban di tahun 1892.

Ada beberapa latar di balik pembangunan pelabuhan ini, dua di antaranya ialah: pertama, sejalan dengan dibangunnya industri batubara Ombilin di Sawahlunto, maka dibutuhkan sebuah pelabuhan yang representatif yang mampu melayani kegiatan ekspor batubara. Kedua, sehubungan alasan di atas, Bandar Muaro plus reede yang berada di Pulau Pisang dianggap tidak mampu menampung kapasitas jumlah batubara yang akan diekspor. Selain itu, bandar itu juga dianggap kurang mampu memfasilitasi kapal?kapal besar yang bersandar untuk kepentingan ekspor batubara tersebut.

Masih merujuk artikel Asnan di atas, teknologi pengisian batubara ke kapal-kapal yang ada di bandar tua ini merupakan yang tercanggih di Asia Tenggara untuk waktu itu. Ada tiga corong pengisian batubara dengan total kapasitas mencapai kurang-lebih 280 ton per jam.

Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, Emmahaven memang berhasil menjadi sebuah prasarana transportasi laut terpenting di bagian barat Sumatera. Namun, era kejayaan pelabuhan yang memiliki nama lain Teluk Bayur itu juga tidak berlangsung begitu lama. Pasalnya, beberapa saat setelah Pelabuhan Emmahaven diresmikan, pemerintah Hindia Belanda juga membangun Pelabuhan Sabang dan Belawan.

Terlebih belakangan, Bandar Belawan juga tampil menjadi pelabuhan laut yang penting karena banyaknya komoditas perdagangan yang bisa dibongkar-muat di sana, sejalan tampilnya Medan sebagai kota niaga terkemuka. Ini sudah tentu menyebabkan kapal?kapal yang semula singgah di Emmahaven, lantas mengalihkan rutenya ke Belawan. Mudah diduga, situasi ini membuat semakin berkurangnya aktivitas perekonomian di Sumatera Barat secara umum dan khususnya Padang di akhir dekade 1920?an juga membuat semakin sedikitnya kapal singgah di Emmahaven.

Akhirnya, pukulan paling telak ialah depresi tahun 1930?an menjadi faktor pemicu utama mundurnya kegiatan pelabuhan Emmahaven dan juga pelabuhan Muaro. Sejak itulah, kedua bandar ini tidak pernah lagi mengalami masa kejayaannya seperti dahulu.

Bandar Sibolga

Bandar Sibolga pada awalnya termasuk karakteristik pelabuhan alam karena berada di teluk, yaitu Teluk Tapian Nauli atau Teluk Sibolga, lokasinya secara alamiah terlindungi dari ombak besar Samudera Indonesia.

Konon, sejak awal abad Masehi, pedagang India dan Arab biasa berlayar menyeberangi Samudra Hindia ke Sumatra menggunakan salah satunya gerbang barat ini. Daya tarik utama di sini adalah komoditas kapur barus berkualitas tinggi, yang diambil dari pelabuhan Barus di dekatnya. Sama-sama berada di kawasan pesisir, Sibolga sendiri berada sekitar 67 kilometer di selatan Barus. Namun belakangan sejak abad ke-19, Bandar Sibolga muncul dengan fasilitas yang lebih baik dari pada Bandar Barus.

Lahir di masa pemerintahan Hindia-Belanda, Bandar Sibolga termasuk pelabuhan muda. Sejarah mencatat, kota Sibolga sekarang dahulu merupakan bandar kecil di tepi Teluk Tapian Nauli di Pulau Poncan Ketek, sebuah pulau kecil yang lokasinya tak jauh dari Kota Sibolga kini. Bandar kecil ini dibangun pada sekitar abad ke-18 dengan penguasanya bergelar Datuk Bandar.

Kemudian di masa pemerintahan Hindia Belanda, sekitar abad ke-19, bandar kecil itu dipindahkan ke daratan di Pulau Sumatra, yaitu di lokasi Sibolga saat ini untuk menggantikan bandar di Pulau Poncan Ketek. Karena lokasinya dekat dengan sumber alam dan sumber air sebagai sumber perbekalan bagi kapal yang tengah berlabuh, Bandar Sibolga ini lama kelamaan berkembang menjadi sebuah bandar yang besar, kota pelabuhan dan perdagangan.

Sejarah mencatat, Sibolga pernah berjaya sebagai pelabuhan dan gudang niaga untuk barang-barang hasil pertanian dan perkebunan seperti kapur barus, karet, cengkeh, kemenyan dan rotan. Inggris bahkan pernah menjadikan Sibolga sebagai pelabuhan gudang niaga lada terbesar di Teluk Tapian Nauli.

Di masa pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal pada 7 Desember 1842 tempat kedudukan Residen Tapanuli dipindahkan dari Air Bangis ke Sibolga, dan sejak itulah Sibolga resmi menjadi Ibu Kota Keresidenan. Meski statusnya sebagai Ibu Kota Keresidenan sempat dipindahkan ke Padang Sidempuan, yaitu antara tahun 1885-1906, predikat itu akhirnya kembali lagi ke Sibolga berdasarkan Staadblad yang dikeluarkan pada 1906. Tercatat hingga 1920, Sibolga masih bernama Onderafdeeling Sibolga en Ommelanden dan berada di bawah Residen Tapanuli, di mana ibu kotanya berada di Sibolga.

Sayangnya tak terlalu banyak catatan sejarah perihal Bandar Sibolga bisa digali. Toh demikan bicara sejarah masa depan bandar ini tampaknya bakal nisbi lebih cerah dibandingkan bandar-bandar lain tersebut di atas. Apa pasalnya?

Belum lama berselang, pada 7 Maret 2019 Presiden Joko Widodo telah meresmikan Bandar Sibolga. Sudah tentu, ini bukan pelabuhan yang benar-benar baru, melainkan hasil pengembangan dari bandar sebelumnya.

Menarik disimak, pembangunan bandar ini dilakukan selama dua tahun itu. Pelabuhan Sibolga kini memiliki sejumlah fasilitas dengan standar kelas setara bandara internasional. Bandar ini dapat disandari oleh 4 kapal besar hingga berukuran 6.000 GT. Juga difasilitasi container yard dengan kapasitas 20.000 TEUs per tahun, perkuatan trestle dan breasting dolphine.

Guna menunjang kualitas dan kecepatan pelayanan bongkar muat dan aktivitas eksor impor, Bandar Sibolga juga didukung peralatan bongkar muat berupa peralatan fix craine berkapasitas 40 ton.

Selain itu, untuk terminal penumpang di pelabuhan ini ditata menjadi dua lantai dan dilengkapi dengan rooftop seluas 2.786 meter persegi. Terminal ini dapat menampung hingga 500 penumpang.

Ya, cukup unik, memang. Pelabuhan Sibolga sengaja didesain untuk mengakomodasi kegiatan bongkar muat, namun juga ditujukan bagi aktivitas kapal penumpang secara berdekatan. (W-1)