Indonesia.go.id - Ratu Kalinyamat, Potret Perempuan Jepara dalam Jejak Maritim Nusantara

Ratu Kalinyamat, Potret Perempuan Jepara dalam Jejak Maritim Nusantara

  • Administrator
  • Rabu, 23 Oktober 2019 | 10:45 WIB
SEJARAH
  Kirab Hari Jadi Jepara. Foto: ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

Dalam tradisi Jawa, prempuan disebut sebagai “konco wingking” (teman belakang). Mengenai pembagian peran, perempuan Jawa sering ditempatkan di ruang domestik atau urusan dalam rumah tangga. Ungkapan paling populer untuk perempuan Jawa bagi lelaki adalah sebatas peran mereka di sumur, kasur, dan dapur.

Namun, pada periode tertentu selalu ada peristiwa yang menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi aktor dalam sejarah. Munculnya Ratu Kalinyamat sebagai lakon perempuan Jawa telah menunjukkan kondisi yang bertolak-belakang dengan tradisi dan gambaran perempuan Jawa secara umum.

Retna Kencana atau yang kemudian dikenal sebagai Ratu Kalinyamat, merupakan sosok perempuan yang hidup di pesisir utara Jawa. Ratu Kalinyamat telah memimpin Jepara pada sekitar abad ke-16 dan memainkan perannya yang tak hanya di lingkup lokal atau regional, tetapi juga pada lingkup internasional.

Sepanjang sejarah maritim di Indonesia, potret Ratu Kalinyamat telah meninggalkan jejak tersendiri mengenai keterlibatan perempuan Jawa yang menjaga kedaulatan maritim Nusantara. Selama 30 tahun kepemimpinnya, Ratu Kalinyamat telah berhasil membawa Jepara pada puncak kejayaannya.

Ratu Kalinyamat dengan armada lautnya, telah dua kali menyerang Portugis di Malaka. Selama masa kekuasaannya, Jepara semakin berkembang pesat menjadi bandar pelabuhan terbesar di Pantai Utara Jawa serta memiliki armada laut yang besar dan kuat.

Pada penyerangan pertama, Ratu Kalinyamat dan armadanya berhasil mengepung Malaka selama tiga bulan. Penyerangan ini dilakukan untuk menarik mundur Portugis dari Malaka pada tahun 1551 dan 1574. Namun, pada penyerangan kedua, Ratu Kalinyamat gagal dan menuntutnya menarik kembali pasukannya ke Jawa.

Walaupun demikian, pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat, kota pelabuhan Jepara merupakan salah satu kota atau kerajaan maritim di Pantai Utara Jawa yang sangat kuat. Sehingga masyarakat Jepara pada masa itu telah tampil dalam panggung sejarah Nusantara sebagai masyarakat bahari. Dalam hal ini, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya yang diperoleh dari kegiatan memanfaatkan sumber daya lautnya.

Mengutamakan Perdagngan ke Tanah Seberang

Ratu Kalinyamat selama masa kepemimpinannya tidak memfokuskan pada eksploitasi tanah pertanian yang menjadi wilayah kekuasaannya. Sang Ratu, lebih mengutamakan pada aktivitas pelayaran dan perdagangan dengan daerah di luarnya atau seberang.

Selain itu, Ratu Kalinyamat juga menerapkan sistem commenda (kontrak pinjaman alat bayar/uang untuk perdagangan) dalam melakukan hubungan dagang dan pelayaran. Sistem commenda mengatur raja atau penguasa yang ada di wilayah pesisir melalui wakil-wakilnya di Malaka, untuk menanamkan modal pada kapal dari dalam maupun luar negeri yang akan berlayar untuk melaksanakan perdagangan dengan wilayah lain.

Keberanian Ratu Kalinyamat juga diakui oleh bangsa Portugis, Diego de Couto, dalam bukunya “Da Asia” yang menyebutnya sebagai Rainha de Japara, senhora paderosa e rica (Ratu Jepara, seorang perempuan kaya dan sangat berkuasa) dan sumber lainnya juga menyebutnya sebagai De Kraine Dame (seorang perempuan yang pemberani).

Sepeninggal Ratu Kalinyamat dan ditundukkannya kekuasaan Jepara ke tangan Sultan Pajang telah mengalami kemunduran, namun bukan berarti pelabuhan Jepara dan aktivitas berdagangannya berhenti. Pelaut Belanda yang pertama kali datang ke Jepara menggambarkan Jepara masih berfungsi sebagai pelabuhan ekspor yang menjadi bagian terpenting kerajaan Mataram.

Sekitar tahun 1680-an, VOC memperoleh konsesi dalam bentuk sewa (gadai) dari Raja Mataram untuk mendirikan benteng di Pelabuhan Jepara. Selain Batavia, Jepara telah dipilih sebagai pusat kekuasaan VOC pada waktu itu atas dasar pertimbangan yang dianggap menguntungkan. Yaitu karena VOC akan mewarisi sarana dan prasarana kota pelabuhan, termasuk lokasinya yang strategis. Utamanya karena potensi Jepara yang saat itu masih memiliki daerah yang menghasilkan produk pertanian. (K-MR)