Sebuah tangga bulat dari batang kayu terlihat licin mengkilap kehitaman. Itulah satu-satunya tangga memasuki rumah panjang atau dalam bahasa Taman disebut ‘rumah betang’ tempat tinggal khas masyarakat Dayak Taman. Walaupun dalam banyak hal, istilah "Dayak" mempunyai banyak problem antropologis, tetapi artikel ini memaklumi kesalahkaprahan ini untuk menjelaskan dengan gampang suku bangsa penghuni lama pulau Kalimantan.
Penghuni rumah betang yang menjadi rujukan penulisan ini, lebih suka menyebut diri mereka sebagai orang “Taman”. Hal itu dikonfirmasi oleh Guru Besar Universitas Tanjungpura Yohannes Cyprianus Thambun Anyang yang menyelesaikan pendidikan Doktor Antropologi dari Universitas Nijmegen Belanda (1997). Dalam bukunya Kebudayaan dan Perubahan Dayak taman Kalimantan dalam Arus Modernsisasi (1998), dia menjelaskan bahwa orang Taman, yang melahirkan dan membesarkan dirinya, menyebut beberapa suku yang ada di sekitar Kapuas Hulu sebagai "rumpun Taman". Orang Maloh atau Tamambaloh, berasal dari rumpun Taman yang tinggal disekitar Sungai Embaloh, sementara orang Kalis berasal dari Taman yang tinggal di sekitar sunga Kalis. Hanya istilah "Taman" yang tidak merujuk pada nama sungai.
Petrus Karit, kelahiran 1952, saat bertemu dengan penulis menjelaskan bahwa mereka, Urang Taman, sebenarnya berasal dari tiga kelompok besar. "Sebenarnya orang Taman ada tiga, yang pertama Taman terus Tamambaloh atau Embaloh dan kemudian Kalis." Tiga kelompok besar ini yang biasa disebut sebagai Urang Taman.
Petrus Karit yang hanya menyelesaikan pendidikan sekolah rakyat pada pertengahan 60-an menjelaskan asal-usulnya yang berasal dari Kedamin. Pada umur 18 tahun dia mendapatkan jodoh perempuan Taman dengan perantaraan para tetua. Sejak itulah dia menjadi orang Taman dan tinggal di rumah mertuanya di Kedamin Hilir sebelum berpindah ke rumah betang yang bertempat di lokasi yang sekarang pada tahun 1996.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1572322732_Konservasi_Budaya_Urang_Taman.jpg" />Tampak depan Rumah Betang. Foto: IndonesiaGOID/Eri Sutrisno
Konservasi Budaya Urang Taman
Bali Gundi adalah nama rumah betang tempat tinggal Petrus Karit. Bali Gundi dalam pengertian orang Taman adalah "membeli tempayan". Hal ini berkaitan dengan mitologi orang Taman yang ada di sekitar Sungai Sibau. Mitologi itu bercerita tentang bersatunya orang daratan dengan orang langit. Orang darat adalah laki-laki dari Sibau yang menikah dengan bidadari dari langit. Akhirnya mereka menjadi satu yang diistilahkan berada dalam satu tempayan. "Leluhur kami bersatu orang langit dan orang bumi, dari sanalah asal-usul orang Taman," tutur Petrus Karit.
Pembuatan Bali Gundi di tahun 1996, menurut cerita Petrus Karit bisa terjadi atas musyawarah beberapa kelompok orang Taman di sekitar Putussibau yang ingin mengembalikan lagi kekayaan kultural orang Taman. "Dulu, waktu zaman pembangunan (Orde Baru), kami diminta tinggal sendiri-sendiri," kata Petrus Karit. Akibatnya orang-orang Taman yang kemudian banyak bersekolah dan pergi merantau tidak lagi mempunyai kedekatan dengan warisan budaya leluhur.
"Lalu para tetua Taman musyawarah untuk membuat kembali 'rumah betang' yang bisa mengajari anak dan kerabat," kata Petrus Karit. Musyawarah itu berlangsung di sekitar awal 90-an hingga sampai penyelesaian pembangunan Rumah Betang "Bali Gundi" pada 1996. Pembangunan waktu itu salah satunya disponsori oleh bupati yang menjabat dengan beberapa bantuan dari beberapa donatur yang tidak bisa diingat lagi oleh Petrus Karit. Berdasarkan catatan Asmadi, dalam buku Muatan Lokal Kabupaten Kapuas Hulu (2017), yang menjabat bupati waktu itu adalah Jacobus F Layang dengan wakilnya Abang Ramli (1995-2000).
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1572323020_Konservasi_Budaya_Urang_Taman.png" />Tampak dalam Rumah Betang. Foto: IndonesiaGOID/Eri Sutrisno
Perajin Emas
Reed L Wadley (2000) dalam artikelnya yang berjudul Reconsidering an Ethnic Label in Borneo, The 'Maloh' of West Kalimantan, Indonesia menulis bahwa orang Taman pada abad 19 terkenal dengan kemampuannya dalam mengolah kerajinan emas dan perak. Kemampuan itu mereka warisi sejak zaman "Tumenggong" yang banyak diyakini oleh para ahli sejarah mulai berkembang saat zaman perburuan emas di tanah Borneo merebak pascaruntuhnya Imperium Majapahit dan masuknya penjelajah Cina di Borneo bagian barat.
Saat ini ketelatenan orang Taman tecermin dalam kerajinan manik-manik yang dilakukan oleh perempuan-perempuan penghuni rumah betang. Kemampuan mengolah emas dan perak menjadi perhiasan sudah lama tidak ditekuni lagi karena kondisi ekonomi sudah berubah. Orang Taman yang ada di sekitar Putussibau telah lama tidak mendapatkan 'kejayaan' mereka yang pernah mereka miliki saat mereka terkenal sebagai pedagang dan perajin yang menjelajahi bandar-bandar perdagangan internasional di Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kebanyakan orang-orang Taman yang sudah berjaya jauh di luar tanah lahirnya tidak kembali pulang. Kini Rumah Betang di Kapuas Hulu menunggu anak-anaknya untuk menemukan kembali budaya kebesaran mereka. (Y-1)