Seperti halnya dengan masyarakat Toraja yang memiliki makam-makam yang unik, maka masyarakat suku Minahasa, Sulawesi Utara ternyata pernah melakukannya tradisi unik serupa.
Masyarakat yang telah meninggal dikuburkan dalam sebuah kotak batu berongga, dan jenazah ditaruh dalam posisi meringkuk. Wadah tersebut kemudian ditutup dengan penutup berbentuk segitiga. Kubur batu tersebut kemudian disebut Waruga.
Waruga sendiri berasal dari dua kata “waru” yang berarti “rumah” dan “ruga” yang berarti “badan”. Jadi secara harfiah, waruga berarti “rumah tempat badan yang akan kembali ke surga”. Saat jenazah dimasukkan ke dalam waruga, jenazah akan berada dalam posisi tumit yang bersentuhan dengan bokong, dan mulut seolah mencium lutut. Persis seperti posisi bayi dalam rahim.
Filosofi posisi ini bagi masyarakat Minahasa adalah manusia mengawali kehidupan dengan posisi bayi dalam rahim, maka semestinya mengakhiri hidup juga dalam posisi yang sama. Dalam bahasa setempat, filosofi ini dikenal dengan istilah “whom”. Tidak hanya itu, jenazah juga ditempatkan dalam posisi menghadap ke arah utara yang menandakan nenek moyang suku Minahasa yang berasal dari utara.
Jejak mahakarya zaman Megalitikum itu bisa kita ditemui di Taman Purbakala Waruga Sawangan. Taman yang berlokasi di Kabupaten Minahasa Utara ini kini menjadi destinasi wisata sejarah favorit para pelancong baik dalam maupun luar negeri.
Di taman ini, setidaknya ada 143 Waruga yang bisa ditemui. Dimana Waruga tersebut dikelompokan berdasarkan ukuran diantaraya, Waruga berukuran kecil dengan tinggi antara 0-100 cm berjumlah 10 buah, Waruga berukuran sedang dengan tinggi antara 101-150 cm berjumlah 52 buah, dan Waruga berukuran besar dengan tinggi antara 151-250 cm berjumlah 81 buah.
Dulu taman tersebut sangat terbengkalai. kuburan-kuburan tersebar di area rumah warga. Hingga akhirnya pemerintah setempat melakukan pengumpulan dan pemugaran di tahun 1977. Kini Taman Purbakala Waruga Sawangan bisa kamu kunjungi saat berada di Sulawesi Utara.
Ketika masuk ke komplek taman, kamu akan melihat relief di kiri kanan. Relief tersebut menggambarkan bagaimana pembuatan hingga pemakaian Waruga. Meski ada ratusan Waruga, hanya 31 yang bisa diidentifikasi.
Menurut juru kunci, Anton Waruga mulai digunakan oleh orang Minahasa pada abad ke IX. Namun sekitar tahun 1860, kebiasaan mengubur dalam Waruga mulai dilarang oleh Belanda. Alasanya adalah saat itu mulai berkembang wabah pes, tipus dan kolera. Maka muncul kekhawatiran apabila orang yang dikubur membawa penyakit, maka penyakit akan menyebar melalui rembesan dari celah kotak Waruga.
“Pas agama Kristiani masuk kesini dibawa oleh Belanda juga masyarakat Minahasa mulai deh menguburkan jasad dalam peti mati lalu dikubur kedalam tanah. Sampai tahun sekitar 1977 makam baru diurus lagi oleh pemerintah, tadinya terbengkalai gitu aja udah,” ujar Anton.
Zaman itu, hanya orang-orang yang mempunyai kelas sosial cukup tinggi yang dikubur dalam Waruga. Dan itu ditandai lewat ukiran yang ada di penutupnya. Seperti motif wanita beranak menunjukkan yang dikubur adalah dukun beranak, gambar binatang menunjukkan yang dikubur dalam Waruga adalah pemburu. Penutup yang diukir gambar beberapa orang menunjukkan yang dikubur adalah satu keluarga.
Jumlah orang yang dikubur dalam waruga ditandai dengan ukiran berupa garis di samping penutup Waruga. Sementara penutup yang polos kemungkinan merupakan Waruga tua dimana saat itu belum ada kebiasaan mengukir atau memahat penutup Waruga
Untuk mengetahui barang-barang apa saja yang dikubur beserta pemilik di Waruga, sebuah rumah panggung khas Minahasa di samping makam akan menunjukkannya. Barang-barang berupa piring, gelas dan perkakas lainnya ditaruh di dalam lemari kaca. Hanya saja, barang-barang tersebut sudah dalam keadaan tak utuh.
Sebelum masuk ke kawasan makan, kita juga bisa melihat relief proses pembuatan Waruga mulai dari pemahatan hingga diisi mayat menyambut di sisi kiri dan kanan pagar pembatas. Juga tradisi bertani masyarakat Minahasa zaman dulu. (K-YN)