Lombok Nusa Tenggara Barat tak hanya dikenal dengan keindahan alamnya. Di pulau seluas 4.725 kilometer persegi itu juga tersimpan kekayaan tradisi yang menawan. Salah satunya adalah kain Sesek. Ini adalah kain khas Sasak, suku asli dari pulau terbesar di Nusa Tenggara Barat. Kain Sesek telah digunakan sejak ratusan tahun lalu oleh suku Sasak. Kain Sesek merupakan sejenis songket seperti halnya yang terdapat di Sumatra. Biasanya dipakai sebagai baju adat atau hiasan seperti selendang dan penutup kepala.
Sesek dalam bahasa Sasak berarti menenun karena dilakukan dengan menjalin benang satu demi satu (sak sak). Benang yang sudah dijalin kemudian dipadatkan hingga berbentuk layaknya selembar kain dengan cara ditenun memakai alat tenun berbahan kayu yang sepintas seperti dipukul-pukul dan menghasilkan suara khas "tak tak". Nyaris seluruh tahapan pembuatan kain Sesek masih menggunakan peralatan tradisional dan bahan baku yang digunakan sebagian besar masih alami.
Pembuatan kain Sesek dimulai dari tahapan tetompok atau pemintalan. Benang yang terbuat dari kapas diproses dengan cara dipanjangkan. Selanjutnya, proses tetaneq atau menggulung benang. Setelah benang terbentuk, dimulailah proses tetisiq atau menenun menggunakan alat tenun kayu diteruskan dengan tepinaq atau membentuk motif dengan benang nilon.
Cara menenunnya pun sangat unik. Alat tenun yang berukuran 1 meter x 1 meter ditopangkan atau dipangku oleh si perajin beralaskan kedua kakinya yang diselonjorkan di lantai. Kegiatan menenun ini biasanya dilakukan di teras rumah para perajin sejak pagi hingga petang. Selembar kain Sesek yang dihasilkan rata-rata berukuran panjang 1,5 meter dan lebar 1 meter.
Bahan Alami
Proses pembuatan selembar kain Sesek ini memakan waktu antara dua minggu hingga 1,5 bulan. Selain terbilang rumit karena memiliki motif yang unik, juga semua tahapannya masih menggunakan cara-cara tradisional dan manual alias dikerjakan dengan tangan (handmade) tanpa bantuan mesin. Di samping itu proses produksinya juga masih bersifat rumahan atau home industry.
Ada beberapa pilihan warna benang yang acap dipakai sebagai bahan tenun seperti benang katun, sutra, marcis, emas, dan perak. Untuk menghasilkan warna pada kain digunakan bahan alami seperti kunyit untuk warna kuning, warna hijau dari pandan. Atau dari getah tanaman mahoni untuk warna cokelat, warna cokelat muda dari getah kayu jati dan cokelat tanah dari biji asam. Jika ingin mendapatkan warna ungu tinggal merebus dari kulit manggis.
Motif yang digunakan pada kain Sesek bisa berupa lumbung (rumah tradisional suku Sasak berbahan kayu dengan langit-langit tinggi membentuk bangunan separuh lonjong dan beratap jerami), aneka biota laut, atau hewan ternak. Ada juga motif pucuk rebung dan hewan tokek. Motif-motif tersebut dipilih karena dekat dengan keseharian suku Sasak.
Dengan tingkat kesulitan tinggi dan diperlukan ketelitian dalam setiap helai benangnya, dalam satu hari seorang perajin hanya mampu menenun kain sepanjang tak lebih dari 15 sentimeter. Itulah mengapa kain tenun Sesek dijual dengan harga relatif mahal, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per helainya. Semakin rumit motif yang digunakan serta semakin lama proses pembuatannya, tentu harganya akan semakin mahal. Ada nilai seni bercita rasa tinggi serta kerja keras berhari-hari dari sang perajin kain.
Syarat Menikah
Kain Sesek tak bisa lepas dari peran perempuan Sasak. Hanya kaum perempuan yang diperbolehkan menenun kain legendaris ini. Keahlian membuat kain dilestarikan secara turun-temurun. Sejak usia belia, para ibu mengajarkan cara membuat kain kepada anak-anak gadisnya.
Ada alasan khusus mengapa para ibu secara khusus mengajarkan cara menenun hanya kepada anak gadisnya. Kemampuan menenun dari perempuan muda Sasak memiliki makna mendalam. Mereka baru boleh menikah jika sudah dianggap menguasai keterampilan menenun kain termasuk menyelesaikan pembuatan kain tenun. Jika sudah mampu, mereka sudah dianggap dewasa dan siap menikah. Sebaliknya, jika masih belum bisa menenun, jangan harap restu dari kedua orang tua bisa didapat.
Salah satu sentra kerajinan tradisional kain Sesek ada di Desa Sukarara. Berlokasi di Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, desa ini berjarak 25 kilometer dari Ibu Kota Mataram atau dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama 30 menit. Sejak dibukanya Bandar Udara Internasional Lombok di Praya, akses menuju ke Desa Sukarara semakin mudah. Kita hanya perlu menempuh perjalanan berkendara dari bandara sekitar 20 menit menuju desa adat ini, melewati jalan beraspal mulus.
Desa Sukarare, demikian masyarakat Lombok melafaskannya, adalah satu di antara tiga desa adat yang menjadi tujuan wisata utama ketika kita berkunjung ke Pulau Lombok, pulau terbesar di Nusa Tenggara Barat. Dua desa adat lainnya adalah Sade dan Banyumule. Ketiga desa adat ini memiliki keunikan yang sama, di mana masyarakatnya masih melestarikan tradisi warisan sejarah para leluhurnya, menenun kain Sesek.
Di desa berpenduduk 700 jiwa ini kerajinan tenun kain Sesek menjadi mata pencaharian utama sebagian besar kaum hawa. Hanya dengan membayangkan saja desain dan motifnya, para perajin sanggup membuat kain tenun dengan hasil memukau.
Mereka juga terbiasa menenun kain sambil menerima kunjungan turis, baik lokal maupun mancanegara. Tangan mereka terampil memasukkan helai demi helai benang untuk dijadikan kain. Sembari bercerita tentang tenun Sesek, sesekali mereka juga memberi kesempatan bagi wisatawan yang ingin mencoba alat tenun itu.
Selain dijual dalam bentuk helaian, kain tenun Sesek dikreasikan pula menjadi beberapa kerajinan tangan. Ada tas, dompet, pakaian adat, dan lain sebagainya. Kain Sesek bisa juga dipasang sebagai hiasan dinding dengan pigura.
Di Sukarara, pengunjung juga bisa menyewa kain Sesek dan pakaian adat lainnya untuk berfoto. Dengan berpose di depan rumah adat Sasak, tentu hasil foto akan semakin menarik jika diunggah di media sosial.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini