Indonesia.go.id - Kidung Keselamatan Semesta dari Kaki Gunung Slamet

Kidung Keselamatan Semesta dari Kaki Gunung Slamet

  • Administrator
  • Jumat, 18 September 2020 | 06:12 WIB
BUDAYA
  Warga Desa Papringan, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah menggelar acara sedekah bumi. Foto: ANTARA FOTO/ Idhad Zakaria

Masyarakat di sekitar kaki Gunung Slamet yang membentang dari wilayah karesidenan Banyumas hingga  karesidenan Pekalongan mengadakan “Sedekah Bumi”. Wujud kesetiaan memelihara tradisi warisan leluhur.

Sesosok pria sepuh, memakai blangkon (udeng) khas Banyumas dan surjan hitam bersimpuh khusyuk di atas panggung. Di sampingnya terdapat tumpeng gunungan dan satu tampah berisikan lauk-pauk.

Ia adalah mbah Tarmono, sesepuh komunitas adat Ketanda asal Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah. Sesepuh adat ini merapalkan doa keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk warga desa, keluarga Dalang Nawan, dan alam semesta sekaligus wujud rasa syukur atas keberkahan hasil bumi. Doa dilakukan dalam bahasa Banyumasan dan Arab.

Doa Mbah Tarmono merupakan inti dari kegiatan Sedekah Bumi Suran Trah Dalang Narwan 2020 yang mengusung tema "Merawat Tradisi Menjaga Asa dalam Pandemi". Perhelatan ini digelar Yayasan Dhalang Nawan di halaman rumah keluarga besar Dalang Nawan, Desa Karangnangka, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, pada Sabtu dan Minggu, 5-6 September 2020.

Kegiatan ini diisi dengan berbagai pergelaran seni budaya sejak pagi hingga siang hari dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Seperti kesenian tradisional Gubrak Lesung yang dilakoni enam perempuan yang memegang alu dan satu penyanyi, tarian dan karawitan anak, tari gambyong, kolaborasi musik modern dan gamelan, serta ditutup oleh gending karawitan klasik sanggar Dalang Nawan.

Pentas tersebut tetap memerhatikan protokol Kesehatan. Para penari tampil memakai pelindung wajah (face shield) saat menari di atas panggung. Demikian pula dengan penabuh gamelan tetap memakai masker saat mengiringi tarian.

Para hadirin juga diwajibkan mengenakan masker. Sebagai bagian dari kegiatan merawat tradisi Banyumasan, keluarga Dalang Nawan juga mengundang empat komunitas/desa adat terbesar Banyumas, yaitu Bonokeling (Kecamatan Jatilawang), Kalitanjung (Kecamatan Rawalo), Katanda (Kecamatan Sumpiuh), dan Tinggarwangi (Kecamatan Purwojati). Perwakilan mereka semua hadir.

Sehari sebelum acara puncak, para kasepuhan Karangnangka menggelar kidungan dari Sabtu malam mulai pukul 21.30 WIB hingga 00.30 WIB Minggu dini hari. Dilanjutkan dengan ziarah ke empat penjuru punden desa hingga pukul 04.30 WIB.

Kegiatan pada Minggu pagi didahului dengan ziarah (donga kubur) ke makam almarhum Dalang Nawan, Dalang Purwasemita, dan keluarga di desa setempat. Ketua Yayasan Dhalang Nawan Bambang Barata Aji mengatakan, tradisi Suran merupakan tradisi yang banyak diselenggarakan oleh berbagai komunitas di Jawa, khususnya saat bulan Sura atau Muharam.

Sayangnya, perhelatan Suran Sedekah Bumi kali ini tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Biasanya dihadiri oleh ribuan orang dari seantero Banyumas maupun daerah lain. Acara gerebeg gunungan dan wayangan ditiadakan karena pandemi Covid-19.

"Kami, keturunan (trah) Dalang Nawan sudah melaksanakan tradisi Suran ini sejak 2008, biasanya diisi dengan wayangan karena orang tua kami adalah dalang," ungkap Bambang, yang merupakan putra ke-10 almarhum Ki Nawan Partomihardjo alias Dalang Nawan.

Ayah Bambang, Nawan Partomihardjo, yang lahir pada 11 Maret 1911, merupakan dalang kondang asal Desa Karangnangka, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, yang mengalami masa keemasan pada masa kolonial Belanda hingga kemerdekaan Indonesia. Ki Dalang Nawan pernah manggung di lapangan Ikada (sekarang) Monas pada 1956 dan disiarkan langsung oleh RRI kala itu,

Meski disiapkan secara mendadak, Bambang menerangkan, tradisi Suran tersebut masih memiliki semangat gotong-royong dan optimisme dalam situasi pandemi seperti saat ini. Satgas Covid-19 Banyumas turut menyokong dengan mempercepat perizinan mengingat pemerintah setempat cukup ketat memberikan izin keramaian di tengah pandemi.  

Merawat tradisi sedekah bumi adalah bagian dari warisan leluhur masyarakat di sekitar kaki Gunung Slamet yang membentang dari wilayah karesidenan Banyumas hingga Pemalang, Tegal, dan Brebes.

Banyumas, baik secara geografis, kultural maupun etnis, termasuk dalam wilayah kebudayaan Jawa. Menurut sejarawan Prancis, Dr Denys Lombard di dalam bukunya “Nusa Jawa: Silang Budaya” (2005), di tanah Jawa dapat dibedakan menjadi lima wilayah pokok, dan Banyumas termasuk wilayah pokok daerah lembah sungai Serayu, merupakan salah satu daerah tempat berkembangnya kegiatan kecil yang sibuk bersamaan dengan daerah Purbalingga, Cilacap, dan Purwokerto. Lebih lanjut, Lombard menyatakan bahwa pada abad ke-16 dan ke-17 daerah itu berfungsi sebagai persinggahan Islam di antara Demak dan bagian timur Tanah Pasundan. Bagi mereka yang datang dari barat, daerah itu merupakan serambi dunia Jawa.

Selain Banyumas, menuruti penanggalan Islam bulan Dzulhijah dan Muharam sejumlah desa di pesisir Jawa Tengah/Jawa Timur seperti, Blora, Bojonegoro, Pati tetap menggelar ritual sedekah bumi secara sederhana. Pun, beberapa desa lainnya di sekitar Cilacap dan Banjarnegara, Jateng tetap menyajikan tradisi “nyadran” dengan menerapkan protokol kesehatan.

Pemerintah Kabupaten Banyumas sendiri dalam beberapa tahun terakhir terus mendukung upaya “nguri-uri kebudayaan” di wilayah tersebut. Termasuk melanggengkan tradisi kirab pusaka Banyumas dalam setiap peringatan hari jadi Kabupaten Banyumas. Pemerintah Banyunas mendorong setiap pemerintahan desa mendukung perhelatan Suran maupun komunitas kejawen Bonokeling, sekaligus meningkatkan atraksi wisata budaya, wisata alam. Namun demikian pemerintah Banyumas juga tetap terus meningkatkan kualitas pesantren yang ada.  

 

 

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini