Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) berhasil mendomestikasi ikan belida. Ikan karnivora yang mahal itu kini bisa berpijah dalam kolam dan makan pelet. Induknya akan disebar ke seluruh penjuru Indonesia.
Apa yang kurang pada belida, sisik ada, tulang pun ada. Peribahasa Melayu itu merujuk pada orang yang dianggap hebat karena memiliki banyak hal, seperti paras yang keren, berpengetahuan, memiliki reputasi baik, dan harta yang melimpah pula. Dalam konteks ini, ikan belida diasosiasikan dengan hal yang serba keren, bentuknya menarik, enak rasanya, langka pasokannya, dan tentu mahal harganya.
Belida adalah ikan air tawar yang tersebar di Asia Tenggara. Dia juga sering menempati akuarium air tawar karena sisiknya yang elok. Ia karnivora sejati yang memangsa hewan air lainnya, utamanya ikan jenis lain yang lebih kecil. Karena tabiat karnivorannya itu, belida sulit dipelihara dalam kolam tertutup. Usaha budi daya ikan belida biasanya dilakukan dalam keramba di pinggir sungai, dengan bibit yang ditangkap dari perairan bebas.
Namun kini, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Mandiangin, Jambi, telah membuat semuanya berbeda. Instansi di bawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu telah bisa menghadirkan galur baru ikan belida yang dapat dibudidayakan dalam kolam. Ikan itu bisa tumbuh dan berbiak dalam kolam tertutup.
Keberhasilan ini diumumkan melalui rilis media yang diposting pada portal KKP edisi Rabu, 29 Juni 2022. Dalam rilis itu disebutkan, pengembangan galur baru itu memakan waktu sampai 15 tahun, dan telah menghasilkan galur belida baru yang amat berbeda, karena bisa mengkonsumsi pakan (pelet) buatan manusia. Perubahan perilaku itu membuatnya lebih mudah dibudidayakan untuk ikan konsumsi.
“Ini capaian yang sangat luar biasa, setelah melewati proses yang panjang,” tutur Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Tb Haeru Rahayu. Menurut Tebe, begitu pejabat KKP itu biasa disapa, masa 15 tahun pngembangan itu penuh dengan tantangan. Ada persoalan dalam proses seleksinya dan apa pula tantangan dalam soal pakan. ‘’Setiap tahap perkembangan ikan belida itu perlu pakan yang berbeda,’’ ujarnya.
Tebe lebih suka menyebut proses panjang itu sebagai domestikasi. Di dalamnya ada unsur breeding, proses seleksi guna mencari individu atau kelompok dengan sifatyang diinginkan. Ada pun karakter yang diinginkan ialah bisa beradaptasi dalam lingkungan kolam, bisa mengkonsumsi pakan buatan manusia, bisa berbiak dalam lingkungan kolam, dan lava serta bayi-bayi ikan itu pun bisa hidup di dalam lingkungan yang serupa.
Domestikasi belida itu telah berhasil. BPBAT Mandiangin kini siap memproduksi induk ikan belida untuk bisa dibudidayakan dalam kolam. Ikan belida yang dikembangkan secara fisik tak beda dari tetuanya, baik bentuk, ukuran, maupun rasa dagingnya. Dalam waktu dekat, induk-induk ikan belida ini bisa didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.
“Keberhasilan ini sejalan dengan prioritas KKP, yakni meningkatkan produksi komoditas unggulan terutama yang berbasis pada kearifan lokal,” ujar Tebe. Belida sendiri, kata Tebe, ialah komoditas unggulan, karena citranya bagus, harganya tinggi, dan pasarnya pun luas. ‘’Ini potensi besar, maka keberhasilan ini merupakan capaian yang selama ini kita semua nantikan,” ujar Tebe.
Di Palembang, Jambi, atau Pekanbaru, sop ikan (yang sering disebut pindang) belida adalah sajian istimewa. Pindang belida jauh lebih mahal dibanding pindang patin atau pindang ikan baung. Pempek ikan belida di Palembang harganya pun lebih tinggi dibandingkan pempek tengiri-tongkol atau ikan tengiri-kakap ekor kuning.
Pasokan ikan belida terbatas. Di sekitar Palembang ada pembudi daya belida dengan bibit diambil dari perairan bebas. Tapi, jumlahnya terbatas karena bibitnya langka. Yang Lebih langka lagi ialah belida yang ditangkap dari sungai. Populasi belida di perairan bebas sudah semakin ciut.
Terancam Punah
Badan Konservasi Dunia (IUCN) menyatakan, ikan belida di Indonesia dalam keadaan yang terancam punah. Dari empat jenis belida yang pernah hidup di Indonesia, satu di antaranya yang disebut belida lopis (Chitala lopis) sudah tak pernah dijumpai lagi. Tiga yang yang lain pupulasinya terus menipis.
Lewat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) nomor 1 tahun 2021, ikan belida dinyatakan sebagai hewan yang dilindungi. Tak boleh ditangkap dan dikonsumsi. Namun, kepmen yang dirilis akhir 2022 itu belum sepenuhnya berjalan di lapangan.
Belida termasuk dalam suku Notopteridae atau ikan berpunggung pisau. Punggungnya tinggi yang membuat bagian perut tampak lebar dan pipih. Ia aktif di malam hari dan mencari makanan pada sore. Ukuran dewasanya dapat mencapai 1 meter dan berat 10 kilogram.
Nama belida diambil dari nama sungai di Muara Enim, Sumatra Selatan yang bermuara ke Sungai Musi. Anak sungai Musi itu adalah habitat yang cocok bagi belida. Induk dewasa meletarkan telur di perairan rawa atau danau, dan setelah tumbuh menjadi ikan sepanjang 2-3 cm, kawanan belida migrasi ke sungai-sungai. Belida adalah ikon Sumatra Selatan.
Ikan belida dulunya bisa ditemukan di perairan air tawar di seluruh Sumatra, Kalimantan, dan Jawa. Indonesia tercatat memiliki empat spesies ikan belida, yakni Belida Sumatra (Chitala hypselonotus), Belida Lopis (Chitala lopis), Belida Borneo (Chitala chitala), dan Belida Jawa (Notopterus notopterus). Kini belida Sumatra dan Kalimantan yang masih mudah ditemukan.
Namun, di Sumatra sendiri konsentrasi belida ada di Sumatra Selatan. Seluruh anak Sungai Musi, yakni Sungai Ogan, Komering, Lematang, Pangkalan Lampam, dan Lakitan, Kelingi, Rupi, Belido, dan yang lain ialah habitat ikan belida. Belida dari anak Sungai Musi ini menjadi bagian dari induk-induk yang didomestikasi di BPBAT Mandiangin di Jambi.
Budi Daya Massal
Kepala BPBAT Mandiangin Evalawati menyatakan siap memproduksi bibit belida dalam jumlah yang besar. “Alhamdulillah kami telah berhasil mengembangkan ikan belida, namun ikan ini masih belum kita rilis. Tahun ini baru kita bentuk tim untuk merilis ikan belida, sehingga harapannya ikan ini bisa dibudidayakan secara massal kepada pembudi daya ikan seluruh Indonesia,” ujar Eva.
Dengan budi daya ini, kata Evalawati, masyarakat bisa mendapatkan tanpa bergantung kepada hasil tangkapan alam yang semakin menyusut. ‘’Dengan budi daya ini masyarakat bisa memperoleh ikan belida, tanpa harus menangkapnya di alam. Dengan begitu belida terjaga dari kepunahan,” ujarnya.
Pelaksana program domestikasi BPBAT Puji Widodo mengatakan bahwa program belida itu dimulai sejak 2005. Proses awalnya ialah menyeleksi ikan-ikan belida yang dapat beradaptasi di lingkungan kolam dengan pakan buatan (dengan protein tinggi). Berikutnya menyeleksi induk yang dapat kawin dan memijah di lingkungan kolam. Dua tahap penting itu berhasil.
Tahap berikutnya ialah pemeliharaan benih dan pembesaran. Ada masa kritis ketika telor menetas menjadi lava dan lava tumbuh menjadi bayi ikan. Namun, situasi kritis itu sudah berlalu. ‘’Sekarang, semuanya bisa makan dari pakan buatan berupa pelet,’’ kata Puji Widodo. Saat ini, induk yang dia miliki baru 110 ekor, berukuran 2–4 kg. Mereka bisa memproduksi benih ukuran 1--3 cm sebanyak 1.000--2.000 ekor per bulan. Benih-benih itu masih dia kembangkan menjadi induk.
Belida bukan induk yang terlalu produktif. Satu induk hanya bisa bertelur 300--500 butir. Tidak semua bisa tumbuh menjadi bibit. Untuk bisa menjadi bibit ukuran 5--8 cm, perlu waktu 1,5 bulan. ‘’Singkatnya, dulu sulit betul untuk produksi benih dan induk, sekarang telah bisa diatasi,’’ ungkap Widodo.
Prioritasnya kini ialah memproduksi induk sebanyak-banyaknya. Induk itulah yang akan dibagikan ke masyarakat pembudi daya. Diharapkan, masyarakat juga memproduksi induk lagi dalam jumlah yang cukup untuk melayani kebutuhan bibit.
Dari bibit untuk tumbuh menjadi ikan layak konsumsi ukuran berat 150 gram per ekor perlu waktu empat bulan, dan dua tahun untuk sampai ke berat 1 kg. Widodo juga sudah menguji coba bahwa bibit-bibit belida dari Mandiangin ini bisa beradaptasi pada lingkungan kolam karing apung.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari