Masyarakat Sinar Wajo dan Sungai Beras di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi berhasil mengembangkan piring dan mangkuk ramah lingkungan berbahan pelepah pohon pinang dan mendapat sambutan dari masyarakat.
Siapa tak kenal pohon pinang? Namanya sangat melekat sebagai salah satu acara paling dinanti saat perayaan tujuh belasan, yakni panjat pinang.
Sejatinya, pohon pinang punya nilai ekonomi tinggi tak hanya sebatas piranti tujuh belasan saja. Pinang atau dalam bahasa Latin dikenal sebagai Areca catechu ini adalah jenis tumbuhan monokotil dari keluarga palem-paleman.
Tanaman itu tumbuh subur di hutan-hutan Indonesia pada ketinggian hingga 1.400 meter dari permukaan laut. Seperti juga pohon kelapa, seluruh bagian tumbuhan berbatang lurus dan ramping ini dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia.
Bagian buah dan biji pinang oleh masyarakat di Indonesia dimanfaatkan sebagai bahan baku obat untuk menangkal bermacam penyakit. Seperti radang tenggorokan, kanker, infeksi, dan lainnya. Buah dan biji pinang jika diolah dengan baik, maka dapat menghasilkan minyak atsiri untuk bahan baku parfum, obat-obatan, dan biofuel.
Pinang juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam budaya tradisi pada sejumlah etnis di Indonesia. Misalnya, tradisi di Minangkabau ketika menyambut tamu agung selalu menyuguhkan pinang, daun sirih, kapur, dan tembakau yang ditempatkan dalam wadah khusus bernama carano.
Tanaman itu juga sudah ada pada salah satu dari 2.672 panel relief Candi Borobudur yang dibangun sekitar tahun 770 Masehi dan Candi Sukuh. Pinang dan empat tanaman palma lainnya turut disebut pada Prasasti Talang Tuo dari era 684 Masehi peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
Bagian penting lainnya dari tanaman berbuah warna oranye ini ada pada pelepahnya. Sebenarnya, sejak tanaman ini tumbuh di Nusantara selama ribuan tahun, pelepah pisang dianggap sampah saja atau dijadikan pembungkus nasi dan lauk. Tetapi hal berbeda akan terlihat jika pelepah sudah berada di genggaman tangan-tangan terampil masyarakat Sinar Wajo dan Sungai Beras, dua desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Provinsi berjuluk Bumi Melayu ini merupakan produsen utama pinang di Indonesia dan menurut data Badan Pusat Statistik 2018, luas perkebunannya mencapai 21.531 hektare. Perkebunan Areca catechu di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur mendominasi, masing-masing seluas 8.760 ha dan 6.716 ha.
Bermula dari Lara
Lewat wadah Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Lojo Kleppa dan Kodopi Mitra Madani, warga Sinar Wajo dan Sungai Beras bahu-membahu berkreasi menciptakan piranti makan seperti piring dan mangkuk berbahan pelepah pinang. Semua bermula dari makin menukiknya harga dari komoditas andalan warga di kedua desa sentra pinang itu, terlebih saat awal pandemi.
Ide inovasi berkelanjutan itu datang dari luar desa di akhir 2020. Saat itu warga melihat ada sangat banyak sampah pelepah di sekitar kebun pinang mereka. Jika pelepah tetap dibiarkan berserakan dan kemudian mengering, maka ketika kemarau sampah-sampah tadi jadi mudah terbakar. Hal ini berbahaya karena bisa memicu kebakaran lahan.
Warga tidak sendirian dalam mengembangkan inovasi yang idenya datang dari luar desa mereka. Komunitas Konservasi Indonesia-Warung Informasi Konservasi atau KKI-Warsi menjadi pendamping untuk pengembangan produk berbasis pelepah. Mereka kemudian menggandeng Rumah Jambee, sebuah wadah usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) yang didirikan oleh empat peneliti dari Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Jambi. Keempatnya pada 2017 pernah meneliti manfaat ekonomi dari pelepah pinang.
Menurut Fasilitator Komunitas dan Kabupaten pada KKI-Warsi, Ayu Shafira seperti dilansir Antara, ketika inovasi piranti makan dari pelepah dikembangkan, maka petani pinang akan diuntungkan. Mereka tidak harus membersihkan area perkebunan dari pelepah yang setiap hari berjatuhan. Perajin boleh mengambil dan memanfaatkan limbah pelepah itu sebagai bahan baku, tanpa harus membayar sedikit pun. "Jadi, bahan baku yang begitu berlimpah bisa didapatkan secara gratis," kata Ayu.
Pelepah dari pohon pinang terkenal kuat dan tak mudah patah saat sudah kering. Salah satu sisi permukaan pelepah punya pelapis lilin alami. Untuk kebutuhan bahan baku piranti makan adalah pelepah baru 1-2 hari jatuh dari pohonnya. Kemudian pelepah dicuci dengan sabun pencuci piring dan dijemur di sinar matahari langsung selama sekitar 3-4 jam.
Pelepah kemudian siap untuk masuk ke mesin cetak bernama moulding hot press yang digerakkan oleh tenaga tabung gas dan menghasilkan panas bersuhu 120 derajat Celcius. Proses pencetakan memakan waktu sekitar satu menit. Ayu menjelaskan, piring pelepah pinang tahan lama dan tidak berjamur jika disimpan di dalam lemari tertutup. Hal itu dikarenakan saat proses penjemuran, pelepah harus dipastikan dalam kondisi benar-benar kering.
Menurut Rudi Nata dari Rumah Jambee seperti dikutip dari Mongabay, setiap pelepah dapat menghasilkan dua piranti makan, baik piring ataupun mangkuk berukuran panjang 24 sentimeter (cm) dan lebar 16 cm. Ia menuturkan, pelepah pinang punya aroma harum yang khas dan lebih ramah lingkungan. Sedangkan Ayu menambahkan, piranti makan unik ini dapat dipakai berulang hingga delapan kali.
Keunikan lainnya adalah corak alami dari pelepah pinang menjadi nilai lebih dari piranti makan dari Tanjung Jabung ini. Bahkan, dari segi warna piranti makan ini diklasifikasikan menjadi grade A, B, dan C bergantung dari banyaknya motif warna. Produk piranti makan ini pun sudah dijual di berbagai platform lokadagang dalam aneka ukuran dan bentuk.
Baik Rudi maupun Ayu sepakat menyebutkan, piranti makan dari pelepah pinang punya banyak kelebihan. Selain bebas kimia dan ramah lingkungan juga mampu menekan pemakaian produk sejenis berbahan plastik dan styrofoam yang lebih sulit didaur oleh alam. Apalagi dalam catatan Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi, mayoritas dari produksi sampah per hari sebesar 650 ton berasal dari plastik pembungkus dan styrofoam.
Semoga saja semakin banyak lapisan masyarakat peduli dan tergerak untuk memproduksi aneka kreasi produk ramah lingkungan untuk menekan pemakaian bahan-bahan yang dapat mencemari alam.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari