Indonesia.go.id - Batang Hari Sembilan, Ibu Suku dan Marga

Batang Hari Sembilan, Ibu Suku dan Marga

  • Administrator
  • Jumat, 24 Mei 2019 | 05:00 WIB
MELAYU PALEMBANG
  Rangkaian Light Rail Transit (LRT) Palembang melintas di atas Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan. Sumber foto: Antara Foto

Melalui jalur sungai itu, Kesultanan Palembang menegakkan integritas wilayah, kedaulatan hukum, dan kesatuan budaya. Jaringan sungai yang menguntai budaya Palembang itu memiliki sebutan khusus, yakni Batang Hari Sembilan, yang terdiri dari Sungai Musi dan delapan anak sungai utamanya.

Budaya Palembang berkembang di sepanjang Musi dan anak-anak sungainya, wilayah budaya yang disebut Batang Hari Sembilan. Budaya sungai itu melahirkan banyak suku dan marga.

Masyarakat Palembang itu khas. Ada yang menyebutnya Melayu-Palembang untuk membedakannya dengan Melayu Riau, atau Deli. Dalam Melayu Palembang ada jejak budaya Arab, Cina, Minang, dan Jawa yang kental. Jejak budaya itu muncul dalam aspek bahasa, kuliner, busana, arsitektur, kesenian, tradisi, nilai, dan pranata sosial khas ala Palembang. Budaya ini pun menyebar ke seantero Sumatra Selatan, sebagian Lampung dan Jambi.

Palembang kembali tumbuh menjadi pusat budaya ketika kerajaan baru yang independen muncul di abad 16. Kerajaan ini didirikan oleh bangsawan Kesultanan Demak yang notabene adalah anak-cucu Sultan Fatah yang  berasal dari Palembang. Sejarah mencatat, Raden Fatah adalah putra Brawijaya III dari Majapahit  dari istrinya yang berdarah Cina, yang diasuh dan dibesarkan oleh Arya Damar, Adipati Palembang.

Hijrah dari Demak (Jawa Tegah) ke Palembang itu terjadi menyusul adanya konflik berkepanjangan pada keluarga kerajaan. Di bawah pimpinan Ki Gede Suro, rombongan trah Demak itu mendarat di Palembang sekitar 1560-an. Dengan membawa atribut sebagai cucu-cicit Raden Fatah serta Ario Damar, rombongan ini diterima dengan baik oleh masyarakat Palembang yang sudah tumbuh menjadi komunitas Islam.

Kekosongan kekuasaan di Palembang memberi peluang Ki Gede Suro menjadi penguasa di lembah Musi itu, dan berlanjut hingga anak cucunya. Dinasti Ki Gede Suro pun membangun kerajaan kecil. Hampir seabad kemudian, setelah berhasil mengkonsolidasikan wilayah dan kekuasaan politiknya,  pada 1659 Pangeran Ario Kesumo memproklamasikan diri sebagai Sultan Palembang I dengan gelar pertama dibawa Sri Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayidil Iman.

Ketika itu Palembang sudah menjadi bandar yang ramai. Palembang hidup dari perdagangan hasil bumi, hutan, dan tambang. Pedagang Arab dan Tionghoa datang. Sesuai peraturan yang berlaku ketika itu, para pedagang asing itu diijinkan bermukim di seberang Ulu, di seberang Sungai Musi dari arah Keraton yang kini ada di jantung Kota Palembang, yakti Benteng Kuto Besak.

Para era-era berikutnya, masyarakat lain dari berbagai daerah datang dan bermukim di Palembang dan sebagian datang dari Ranah Minang. Jadilah Palembang sebagai bandar besar dengan budaya khas.

Sampai 150 tahun silam, kawasan  hutan alam masih mendominasi alam di  Sumatra Selatan. Jalan darat amat minim. Toh, penetrasi budaya Palembang ke pedalaman berjalan lancar, lewat jalur air. Sungai Musi yang panjangnya 720 km itu bisa dilayari sampai 450 km ke pedalaman. Empat Lawang, Tebing Tinggi, Musi Banyuasin, dan Sekayu adalah kota-kota yang dilewati Sungai Musi.

Sungai Musi juga menjadi muara bagi delapan sungai besar lainnya, yakni Sungai Komering, Sungai Rawas, Sungai Leko (disebut juga Batang Hari Leko), Lakitan, Kelingi, Lematang, Lahan (Semangus), dan Sungai Ogan. Melalui badan Sungai Musi dan kedelapan anak sungainya, budaya Palembang ini tumbuh dan mengakar di antero Sumatra Selatan. Wong Pelembang menjadi identitas mereka semua.

Melalui jalur sungai itu pula, Kesultanan Palembang menegakkan integritas wilayahnya, kedaulatan hukum, dan kesatuan budayanya. Jaringan sungai yang menguntai budaya Palembang itu memiliki sebutan khusus, yakni Batang Hari Sembilan, yang terdiri dari Sungai Musi dan delapan anak sungai utamanya.

Wilayah Kesultanan Palembang dibagi dalam wilayah-wilayah semacam kabupaten. Bila daerahnya luas, maju, dan berpenduduk besar, pemimpinnya disebut Pangeran. Yang lebih kecil dipimpin oleh Depati. Di bawah mereka ada demang-demang yang memimpin sejumlah wilayah adat dan masing-masing wilayah adat itu dipimpin seorang Pasirah.

Meski sama-sama berkiblat ke Palembang, warga di sepanjang tepian Batang Hari Sembilan itu tidak mudah saling berkomunikasi secara langsung. Tidak heran bila komunitas pada masing-masing anak sungai itu itu berkembang subkultur sendiri. Orang Palembang menyebutnya suku.

Ada banyak suku di kawasan Batang Hari Sembilan itu. Ada suku Kikim, Semenda, Komering, Ogan, Lintang, Pasemah, Lintang, Pegagah, Rawas, Sekak Rambang, Lembak, Kubu, Penesek, Gumay, Musi, Panukal, Bilida, Rejang, dan Ranau. Meski satu induk, bahasa di masing-masing suku tak sepenuhnya sama. Dari suku-suku itu ada kesatuan adat di bawahnya yang disebut marga.

Hingga saat ini ada puluhan marga yang masih hidup di Sumatra Selatan. Seperti di Sumatra Barat, warga Batang Hari Sembilan itu boleh menggunakan nama marga boleh juga tidak. Beberapa nama marga Palembang yang masih sering terdengar, antara lain, adalah Madang, Mandayun, Temenggung, atau Samendawai. (P-1)