Indonesia dijajah Belanda selama tiga setengah abad lamanya, barangkali merupakan salah satu mitos sejarah yang sangat terkenal dan hampir-hampir tidak pernah dipertanyakan kebenarannya. Dikatakan mitos karena proposisi itu sebagai pandangan sejarah telah dianggap given sebagai kebenaran dan cenderung diterima secara taken for granted.
Bahkan, sejarawan dan sekaligus Indonesianis asal Amerika, George Mc Turnan Kahin, misalnya, dalam desertasinya Nationalism and Revolution in Indonesia tak luput dari pengandaian pandangan sejarah tersebut. Dalam karya sejarahnya yang kini telah menjadi klasik dalam studi historiografi Indonesia, Kahin tak sekali dua memberi catatan masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia telah berlangsung tiga abad lebih.
Benar, jikalau ditilik periksa mundur ke belakang, tercatat pada Mei 1619 Jan Pieterszoon Coen yang memimpin seribu pasukannya berhasil merebut dan menundukkan Kota Jayakarta dari Kasultanan Banten. Kota itu dibakar habis, dan Belanda melalui VOC sejak tahun itu menduduki kawasan tersebut.
Kota ini dibangun kembali oleh Belanda dan berganti nama "Batavia," dan semenjak itulah Batavia diposisikan menjadi pusat kota pemerintahan Belanda. Namun demikian tentu salah besar jikalau kemudian kita membayangkan citra Batavia saat itu ialah sebesar wilayah ibukota Jakarta kini. Luas wilayah Batavia saat itu hanya merupakan sebagian saja dari wilayah Jakarta Utara sekarang.
Pun sekiranya momen penaklukan Jayakarta oleh Jan Pieterszoon Coen pada 1619 kemudian dijadikan titik acuan penjajahan Belanda terhadap keseluruhan Indonesia, tentu juga kesalahan besar. Pasalnya selain terlihat generalisasi sejarah secara berlebihan, juga jelas mengabaikan banyak fakta sejarah lain dari daerah-daerah lain di Nusantara.
Adalah sejarawan peranakan GJ Resink mempertanyakan dan menggugat mitos sejarah tiga setengah abad penjajahan-Belanda tersebut. Dalam kumpulan tulisannya yang berjudul Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia, 1850-1910, ia mengingatkan bahwa generalisasi "tiga ratus tahun penjajahan-Belanda" perlu dilihat secara kritis, apabila hendak diterapkan kepada seluruh kepulauan di Indonesia.
Mitos Diskursus Tiga Ratus Tahun
Pada 1936, Gubernur Jendral BC de Jonge berkata: "Kami orang Belanda sudah berada di sini tiga ratus tahun dan kami akan tinggal di sini tiga ratus tahun lagi."
Sudah tentu orasi Gubernur Jendral de Jonge terlalu gegabah. Klaim de Jonge bahwa "kami orang Belanda sudah berada di sini tiga ratus tahun" pada kenyataannya justru berhasil menyulut api perlawanan kaum pergerakan kebangsaan untuk mencegah klaim Belanda selanjutnya, "kami akan tinggal di sini tiga ratus tahun lagi."
Tidak terlalu jelas siapakah yang mereproduksi mitos "tiga ratus tahun penjajahan-Belanda." Namun pandangan demikian tentu tidak terbentuk begitu saja.
Menurut Resink, adalah sejarawan Belanda sendiri yang memberikan dasar penulisan sejarah "tiga ratus tahun-penjajahan Belanda." Klaim ini tampaknya memang sengaja dibesar-besarkan. Karena sejak memasuki abad ke-20 Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Belanda mendapat lebih banyak ancamam, baik dari luar yakni sesama negara kolonial dan utamanya ialah serangan dari dalam, dibandingkan abad sebelumnya.
Namun klaim Belanda--kami tiga ratus tahun sudah berada di sini--yang sedianya menjadi justifikasi dan legitimasi Belanda, di sisi lain justru semakin menjadi bumerang. Di tangan para aktivis pergerakan kebangsaan, klaim itu justru dibalik menjadi narasi tanding dengan membangun citra negatif bangsa penjajah.
Di zaman pergerakan, Bung Karno ialah salah satu tokoh pergerakan nasional yang suka mereproduksi narasi "tiga ratus tahun penjajahan Belanda" dalam orasi-orasinya untuk membakar semangat anti kolonialisme. Terlebih di sepanjang era revolusi kemerdekaan 1945-1949, topik ini bisa dipastikan tentu disebarluaskan secara masif oleh kalangan aktivis pergerakan sebagai propaganda untuk melawan keinginan Belanda menjajah kembali Indonesia.
Kenangan atas jalannya revolusi kemerdekaan inilah, yang barangkali saja membuat pandangan sejarah--Indonesia dijajah Belanda selama tiga setengah abad--terpatri kuat dalam benak masyarakat Indonesia. Dan lebih jauh, pandangan sejarah ini bukan saja pada akhirnya menjadi demikian terkenalnya, melainkan sekaligus juga dianggap sebagai kebenaran sejarah secara serta merta.
Bermaksud menilik periksa dan mendedah secara kritis, Resink menemukan beberapa fakta lain yang menarik dicatat. Dengan latar belakangnya sebagai ahli hukum tatanegara, Resink dalam kajiannya tentang sejarah perundang-undangan, regulasi, dan aturan-aturan di Hindia Belanda, ternyata menemukan adanya suasana internasional antara negeri Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia dan negeri-negeri pribumi di Nusantara.
Sifat internasional dalam hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia ketika itu, seturut Resink jelas tercermin dalam istilah-istilah hukum yang dipakai untuk mengatur relasi itu, seperti istilah "perjanjian", "warga negeri", "ektradisi", "orang asing", dan lain sebagainya.
Bahkan menurut Resink, juga jejaknya masih membekas kuat pada istilah "residen". Residen ialah pegawai Belanda yang ditempatkan di suatu daerah tertentu. Istilah residen ialah istilah yang sebenarnya berasal dari dunia diplomatik, yang semula memang difungsikan sebagai perwakilan diplomatik Belanda (VOC), lengkap dengan atribut-atribut kedutaan seperti hak eksteritorial, bendera, dan upacara-upacara penerimaan.
Catatan Kronik
Beberapa catatan penelitian Resink menginformasikan, antara lain, pada 1904, Mahkamah Agung tercatat menolak kasus perkara seorang dari Kutai yang dibawa ke pengadilan Surabaya pada 1904. Mahkamah Agung Hindia Belanda menolak menangani kasus tersebut karena yang bersangkutan ialah warga negara Kerajaan Kutai, dan karena itu tidak termasuk wewenang pengadilan Hindia Belanda.
Hal itu juga mengemuka pada kasus perdagangan budak yang terjadi di Tanah Mandar pada 1888. Sekalipun pada abad ke-19 perdagangan budak sebenarnya sudah dilarang di Hindia Belanda, pengadilan kolonial di Makasar Ujung Pandang tak kuasa berbuat apa-apa karena kasus perdagangan budak itu terjadi di Mandar yang terletak di luar Hindia Belanda.
Resink juga pernah mengingatkan pada salah satu artikelnya, bahwa baru pada 1881 pemerintah kolonial secara bertahap mewajibkan bendera Belanda dikibarkan di laut dan di darat. Sebelum itu, kapal-kapal pribumi masih mengibarkan benderanya sendiri di sejumlah perairan yang masih merupakan laut bebas.
Berdasarkan studi hukum internasional, Resink mendapati sesungguhnya Belanda tidak pernah "di sini" selama tiga ratus tahun, apabila yang dimaksud dengan istilah "di sini" ialah seluruh kepulauan Indonesia. (W-1)