Indonesia.go.id - Sudjojono, antara Realisme, Ekspresionisme, Mooi-Indie

Sudjojono, antara Realisme, Ekspresionisme, Mooi-Indie

  • Administrator
  • Rabu, 19 Juni 2019 | 17:00 WIB
PROFIL
  Lukisan Pertempuran antara Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen karya Sudjojono. Foto: Dok. Sudjojono

Lukisan itu berukuran raksasa, yaitu 10 x 8 meter persegi. Berjudul ''Pertempuran antara Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen''. Banyak pelajaran berharga menarik disimak, tentang bagaimana proses kreatif Sudjojono saat melakukan pekerjaan seni tersebut.

Pada 2014, Indonesia sempat digemparkan dengan hasil lelang lukisan salah satu maestro Indonesia, Sindudarsono Sudjojono. Lukisan berjudul "Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro" (Our Soldiers Led Under Prince Diponegoro), berhasil terjual dengan harga tiga kali lipat dari estimasi balai lelang Sothebys di Hong Kong. Lukisan itu laku dijual di lelang internasional senilai Rp85 miliar, dan saat itu menjadi rekor penjualan tertinggi di Asia Tenggara.

Lukisan lainnya yang berhasil terjual tinggi ialah "The Ruins and The Piano." Lukisan itu menceritakan sebuah piano yang teronggok merana di tengah reruntuhan bangunan usai bencana. Piano itu jadi seperti sesuatu yang dicabut dari lingkungan aslinya untuk ditempatkan di suasana asing. Pada 2017, The Ruins and The Piano terjual sekitar Rp15,74 miliar di balai lelang Christies, Hong Kong.

Sebelum itu, pada 2010 karya dari salah satu eksponen pendiri organisasi perupa pertama di Indonesia yaitu Persagi ini juga sempat membakukan nilai jual lelang yang tidak murah. Karyanya yang berjudul "The New Dawn" terjual pada kisaran harga Rp10 miliar di Balai Lelang Sothebys di Hong Kong.

Seorang kritikus dan kurator seni rupa, Agus Dermawan T (2011), mencatat sejak 1987 harga karya seni lukis di Indonesia melambung fantastis. Sedangkan bicara karya Sudjojono, ia mencatat pada 1970-an karya Sudjojono yang berukuran satu meter dihargai sebesar 1 juta. Akan tetapi pada 1988, naik menjadi 40 juta. Pada 1996, balai lelang Christies telah menjualnya dengan harga 200 juta.

Nilai jual karya lukisan Sudjojono semakin berkibar. Masih dari catatan Agus Dermawan, pada November 2006 lukisan Sudjojono yang berjudul ''Pura Kembar'' berukuran 102 x 81 cm terjual di balai lelang Christies senilai sekitar 4 miliar.

Ya, lewat karya-karya lukisannya ini Sudjojono tidak saja berhasil mendemonstrasikan eksperimennya atas prinsip-prinsip estetika yang dia yakini, tapi lebih jauh juga terbukti mendapat apresiasi dari masyarakat dunia.

Kiprah Politik dan Corak Karya

Seperti diketahui, Sudjojono dihormati sebagai bapak seni modern Indonesia lebih karena kegigihannya menentang paradigma lama sembari memperkenalkan mode ekspresi baru. Menolak konsep Mooi-Indie atau Indonesia Molek yang secara teknis bersifat naturalisme, Sudjojono memprakarsai gagasan "realisme sosialis", jauh sebelum paham estetika ini berkembang di Indonesia dan menjadi sumber polemik dalam dunia seni pada 1960-an.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1561020046_Lukisan_Kawan_kawan_Revolusi.jpg" />

Lukisan ''Kawan-kawan Revolusi'' karya Sudjojono. Foto: Dok. Sudjojono

Mengapa Sudjojono menentang Mooi-Indie? Ada latar belakang kesadaran sosial, politik di balik penetangan tersebut, yaitu kontradiksi dari ungkapan pelukis Mooi-Indie dengan potret masyarakat sesungguhnya. Sudjojono mengritik, pelukis Mooi-Indie hanya tertarik pada keindahan-keindahan alam, romantisme, tapi sama sekali tidak pernah tertarik melukiskan realitas penderitaan para petani, buruh, dan kehidupan orang-orang miskin di kampung. Singkat kata, ia menentang teknik, gaya dan estetika naturalisme.

Belajar dari Mas Pirngadi (1878-1936), Sudjojono tidak puas dengan teknik konvensional Belanda abad 19 yang diajarkan gurunya itu. Ia lalu mencoba beralih ke pendekatan yang lebih bebas. Sapuan kuasnya kasar dan ia memilih warna yang “seenaknya sendiri”. Ajip Rosidi dalam Pelukis S Sudjojono (1982) mencatat komentar Mas Pirngadie terhadap teknik melukis muridnya itu, Kok kamu menggambar halaman sekolah seperti orang macul saja!

Ajip pada artikel yang sama juga menceritakan, bagaimana awalnya Sudjojono pernah merasa frustasi saat belajar melukis. Dia merasa gambar-gambarnya kotor. Namun perlahan-lahan kepercayaan diri Sudjojono tumbuh kuat dan ia menjadi yakin akan bakatnya sebagai pelukis.

Momen ini terjadi ketika sebuah perkumpulan para pelukis Belada, Bataviasch Kunstkring, yang sekaligus juga merupakan galeri seni paling prestisius di Hindia Belanda, pada 1935 menyelenggarakan pameran sekaligus perlombaan melukis. Seluruh pelukis bumiputra diperbolehkan mengirim karyanya untuk diseleksi. Panitia menambahkan, mereka tak akan memilih karya-karya dari pelukis yang sudah sohor macam Basoeki Abdullah, Dezentje, atau Pirngadi.

Sudjojono, tak mau ketinggalan. Dia turut mengirimkan karyanya. Berjudul Gadis dan Kucing (1935), karya Sudjojono ini melukis seorang gadis sedang bermain dakon dalam media pastel. Karya ini ternyata keluar sebagai juara pertama.

Dalam perjalanannya kemudian Sudjojono merumuskan hakikat seni dalam kredo, ''lukisan ialah jiwa tampak'' (bahasa Jawa: jiwa ketok). Seni adalah jiwa si seniman yang terlihat. Jiwa ketok diartikannya sebagai kejujuran di dalam karya. Apa yang ditawarkan oleh Sudjojono ialah perspektif pascakolonial, yaitu teknik dan visi baru dalam melukis yang melepaskan diri dari sudut pandang kolonial.

Saat menjadi guru gambar di Sekolah Arjuna Petojo, Sudjojono berkenalan dengan Agoes Djayasoeminta. Kala itu, sekira 1930-an, Agoes telah menjadi guru gambar di sana. Karena notabene memiliki visi estetika yang tak jauh berbeda, keduanya cepat menjadi karib. Mereka berdua mengajak para pelukis lainnya lantas mendirikan Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia atau Persagi.

Berdiri pada 23 Oktober 1938. Persagi diketuai Agoes Djayasoeminta dan Sudjojono menjadi sekretaris, dengan para anggota, antara lain, Ramli, Abdulsalam, Otto Djaya, S Tutur, Emira Soenassa, L Setijoso, S Sudiardjo, Saptarita Latif, Herbert Hutagalung, Sindusisworo, TB Ateng Rusyian, Syuaib Sastradiwilja, Sukirno, dan Suromo.

Persagi sengaja didirikan dengan tujuan membentuk para seniman lukis Indonesia, menciptakan karya-karya seni yang kreatif, dan memiliki kepribadian Indonesia. Persagi ialah organisasi seniman lukis pertama di Indonesia yang membubuhkan kata Indonesia pada nama organisasinya. Ini membuktikan adanya komitmen kuat untuk mengusung identitas Indonesia, yang membawa aliran baru, paham baru, dan falsafah baru, sesuai dengan kenyataan yang ada.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1561017001_Lukisan_Di_Depan_Kelambu_Terbuka.gif" style="height:650px; width:425px" />

Lukisan ''Di Depan Kelambu Terbuka'' karya Sudjojono. Foto: Koleksi Tedjabayu

Gagasan-gagasan Sudjojono terangkum dalam bukunya Seni Loekis, Kesenian, dan Seniman (1946). Sudjojono menganjurkan realisme sebagai pendekatan dalam seni lukis. Menurutnya gaya ini lebih real sebagaimana perjuangan rakyat yang real. Bagi Sudjojono, rakyat lebih mengerti lukisan dengan gaya realisme daripada aliran-aliran yang lain. Karena ikhtiar tak kenal lelah untuk merumuskan corak seni lukis Indonesia baru inilah, Sudjojono bukan saja hadir sebagai motor utama melainkan juga ideolog bagi Persagi.

M Agus Burhan dalam Perkembangan Seni Lukis Mooi Indië sampai Persagi di Batavia, 1900-1942 mencatat, pelukis Sudjojono sejak penampilannya di Bataviasch Kunstkring dengan karya ''Di Depan Kelambu Terbuka'' (1939) jelas telah sangat berhasil menunjukkan visi seni lukis Indonesia baru, yang ketika itu tengah dicari oleh Persagi.

Merujuk Burhan, baik secara tema maupun ekspresinya, karya Sudjojono tersebut berhasil mengungkapkan jiwa zaman yang terjalin dengan situasi depresi ekonomi, kesedihan, dan gelora kehidupan yang kalut. Guratan kuas Sudjojono yang kasar dan bebas menunjukkan warna luapan jiwanya yang pekat. Karya “Di Depan Kelambu Terbuka” itu, bisa disimpulkan lebih mengarah pada corak gaya ekspresionisme.

Kiprah politik Sudjojono tak berhenti di situ. Sudjojono juga berkiprah dalam wadah Seniman Indonesia Muda (SIM) pada 1946 dan turut mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 1950. Bahkan pasca-Pemilu 1955, Sudjojono tercatat pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi PKI.

Dalam aktivitas politiknya ini Sudjojono selalu konsisten memperjuangkan gaya realisme sebagai kaidah seni lukis di Indonesia. Bahkan, barangkali saking semangatnya, Sudjojono terkesan bermaksud membatasi kaidah-kaidah seni lukis Indonesia baru pada gaya realisme saja.

Trisno Sumardjo, ialah kolega Sudjojono saat di SIM dan sekaligus penyemat predikat Bapak Seni Lukis Indonesia Baru kepada Sudjojono, jelas berbeda pendapat. Menurut Sumardjo, masyarakat Indonesia dapat mengerti lukisan di luar aliran realisme. Fakta ini seturutnya dibuktikan oleh banyaknya stilir dalam seni-seni primitif yang terlihat pada relief-relief candi.

Namun sejarah barangkali punya logikanya sendiri. Bukan saja keanggotaan Lekra dan PKI harus berakhir, kiprah politiknya juga harus tutup buku. Sudjojono diketahui melanggar disiplin partai, yaitu terlibat percintaan dengan seorang penyanyi bernama Rose Pandanwangi, sementara ia telah berkeluarga.

Dia dipaksa memilih, antara posisinya sebagai anggota DPR dan mengakhiri cintanya pada Rose atau mengundurkan diri. Akhir kisah, cintalah yang keluar sebagai menang. Sudjojono memilih Rose dan meninggalkan kursi parlemen, mengakhiri kiprah politiknya sekaligus perkawinan dengan istrinya, Miryam, dan kemudian menikahi penyanyi seriosa asal Makasar itu.

Ajip mencatat, sejalan berakhirnya peranan Sudjojono sebagai orang politik, maka kembalilah ia ke dunia seni lukis. Karena saat itu kehidupan sebagai seniman jauh dari mapan, Sudjojono dan Rose lantas membuat sebuah sanggar di Pejaten Pasar Minggu. Rose mengajar menyanyi dan bermain piano, sementara Pak Djon—demikian ia biasa dipanggil—mengajar melukis. Ajip juga mencatat, ia kembali melukis seperti zaman sebelum perang, yaitu mengambil gaya ekspresionistik.

Tak berbeda dari Ajip, Onghokham dalam Hindia yang Dibekukan: Mooi Indie dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial (2005) menulis, bahwa Sudjojono pada akhirnya juga melukis dengan corak Mooi-Indie. Sayangnya ia tidak memberikan daftar dan judul lukisan mana saja dari karya Sudjojono yang bergaya Mooi Indie. Menurut Onghokham, mazhab ini sangat kuat berakar di masyarakat. Masih seturut Onghokham, sebab lainnya ialah patron Sudjojono pada masa pascakolonial, yakni Presiden Sukarno, adalah seorang kolektor dan patron utama mazhab Mooi-Indie.

Dua tahun pascaperistiwa G30S1965, kehidupan ekonomi Sudjojono sangat susah. Terlebih, ia dikenal sebagai seniman yang kekiri-kirian. Untuk mencukupi kebutuhannya, Sudjojono bersedia membuat lukisan-lukisan potret pesanan. Walhasil, dalam melukis Sudjojono tidak lagi bertahan pada gaya realisme.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1561017377_Lukisan_Dunia_Tanpa_Pria.jpg" style="height:288px; width:500px" />

Lukisan ''Dunia Tanpa Pria'' karya Sudjojono. Foto: Dok. Sudjojono

Dikisahkan oleh Agus Dermawan T dalam Riwayat yang Terlewat (2011), saat situasi ekonomi susah itu datanglah seorang kolektor yang memesan lukisan perempuan telanjang beberapa lembar. Si pemesan itu mengisyaratkan, model lukisan yang dilukis ialah Rose Pandawangi, istrinya yang cantik. Sudjojono tak menampik pesanan. Sejarah lantas mengingat, salah satu lukisan seri ini, berjudul Dunia Tanpa Pria (I967).

Terlepas dari itu, merujuk analisis Ajip, karya paling besar yang dikerjakan Sudjojono ialah saat dia pada 1974 menerima pesanan Pemerintah DKI Jakarta untuk melukis penyerangan Sultan Agung ke Batavia. Lukisan itu berukuran raksasa, yaitu 10 x 8 meter persegi. Berjudul ''Pertempuran antara Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen'', lukisan ini merupakan pesanan dari Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, sebagai bagian dari peresmian Museum Fatahillah di tahun 1974.

Dia ingin lukisan itu bukan saja menjadi lukisan yang besar, melainkan juga bisa dipertanggungjawabkan dari sisi sejarah dan ilmu. Sudjojono melakukan riset mendalam. Bukan saja untuk menggali aspek sejarah tapi juga memahami kebudayaan saat itu. Sudjojono bahkan pergi ke Belanda untuk memastikan bagaimana bentuk baju prajurit Belanda dan muka JP Coen. Tidak kurang dari satu tahun Sudjojono menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan lukisan tersebut.

Yang menarik disimak ialah dedikasinya dan totalitasnya sebagai pelukis. Sebelum mengerjakan lukisan itu, Sudjojono membuat puluhan sketsa. Dengan sketsa itu, Sudjojono bukan saja membuktikan kesungguhannya melukis, dia juga bermaksud terjadinya kelemahan-kelemahan teknis dalam merupa, baik secara anatomis maupun komposisinya. Lukisan berukuran raksasa itu tampaknya benar-benar menjadi kerja raksasa Sudjojono. (W-1)

Berita Populer