Bicara keragaman budaya di Indonesia, jalan asimilasi tampaknya merupakan buah keniscayaan alamiah. Bagaimana tidak, posisi geostrategis Indonesia sebagai lalu lintas pelayaran dunia yang terbuka membuat bangsa ini sejak dahulu kala telah menjadi semacam "melting pot" bagi kebudayaan-kebudayaan bangsa lain.
Budaya Hindu, Budha, Islam, dan China, juga Barat atau Kristen, tercatat telah bersenyawa dengan agama-agama lokal dan memperkaya wajah kebudayaan Indonesia. Ditambah interaksi antarpulau-pulau dan etnis penghuni jelas semakin menambah keragaman wajah Indonesia.
Bicara Bali, tentu tak terkecuali. Hindu di sana, sebutlah itu Hindu-Bali, selain nisbi berbeda dengan Hindu di India sono, juga kaya akan keragaman model kehinduan. Bagi masyarakat luar Bali, perbedaan itu barangkali saja tak terlihat dan kemudian beranggapan Hindu-Bali berwajah tunggal dan seragam.
Padahal, kenyataannya tidaklah demikian. Hindu di Bali ialah potret plural. Simaklah detail, barulah terlihat fenomena keagamaan Hindu di Bali ternyata memiliki keragaman bentuk dan ekspresi budaya. Fenomena perbedaan kehinduan ini setidaknya tampak dalam kehidupan keagamaan masyarakat desa adat di Desa Trunyan, Desa Tenganan, dan Desa Panglipuran.
Desa-desa ini penduduknya ialah kaum Bali Mula atau 'Bali asli'. Sedangkan mayoritas yang memeluk Bali-Hindu konon berasal dari imigran etnis Jawa yang datang ke Pulau Bali. Mari kita ambil contoh Desa Trunyan, misalnya. Lazimnya orang luar Bali hanya melihat ciri-ciri pembeda terkait masyarakat Trunyan ialah pada perbedaan upacara kematian mereka saja.
Jikalau pada masyarakat Hindu-Bali secara umum dikenal ritual Ngaben, maka masyarakat Trunyan memiliki ritual Mepasah dan Ngaben sekaligus, meskipun untuk upacara Ngaben di Trunyan bentuknya juga berbeda. Benar, bahwa upacara Mepasah ialah salah satu ciri khas dari masyarakat masyarakat Trunyan. Namun adanya perbedaan antara Hindu-Bali dan Hindu yang dipeluk oleh masyarakat Trunyan, sebenarnya bukan hanya itu.
Tulisan ini bermaksud melukiskan kembali, Hindu yang dipeluk oleh orang Trunyan ialah jenis variant atau versi yang berbeda dari Hindu-Bali secara umum. Merujuk tulisan sebelumnya, Hindu yang dipeluk oleh penduduk Trunyan, untuk mudahnya disebut "Hindu-Trunyan". Juga telah dijelaskan dalam artikel itu, di pura utama di Desa Trunyan yakni Pura Bali Desa Pancering Jagat Bali, bahkan tidak bersemayam dewa-dewa utama agama Hindu, seperti Siwa, Wisnu, atau Brahma. Sebaliknya di Trunyan justru bersemayam dewa-dewi, sekalipun dalam arti tertentu telah mengalami hindunisasi, yang asal-usulnya ialah leluhur masyarakat Trunyan dan bukan dewa-dewa dari India.
Menariknya, perbedaan bukan hanya pada konsepsi phanteon di pura utama saja—yaitu ada atau tidaknya pelinggih bagi Dewa Siwa, Dewa Wisnu, atau Dewa Brahma—dan juga bukan semata pada perbedaan dalam ritual pemakaman—yaitu antara Ngaben dan Mepasah. Jikakalau disimak mendalam wajah perbedaan antara Hindu-Bali dan Hindu-Trunyan sebenarnya tampak jauh lebih kompleks.
Nah, tulisan kali ini bermaksud memperlihatkan adanya perbedaan ritual dan upacara keagamaan antara masyarakat Hindu-Trunyan dibandingkan Hindu-Bali, dan ini juga berarti melihat warna keragaman di dalam fenomena praktik keagamaan Hindu di Bali sebagai potret kekayaan budaya Indonesia.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1563181091_Tari_barong_brutuk.jpg" />Tari Betara Berutuk. Foto: Bali Indonesia
Keragaman Ritual
Buku yang berjudul Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali karya James Danandjaya, barangkali hingga kini ialah satu-satu karya etnografi terlengkap tentang masyarakat Trunyan. Artinya, bicara potret etnografis dari karyanya yang telah dianggap bernilai klasik ini, maka sejalan berjalannya waktu tentu di sana sini dalam kehidupan antropologi orang Trunyan juga sudah mengalami perubahan. Namun demikian mengingat lokasi Trunyan yang terpencil dan cukup terisolir serta sementara belum adanya penelitian etnografi yang adekuat lainnya, maka karya ini sementara masih bisa menjadi sumber rujukan utama.
Merujuk Danandjaja, berbagai upacara terpenting bagi masyarakat Hindu-Bali pada umumnya, sebutlah seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Ciwaratri, Saraswati, dan Pagerwesi, ternyata tidak serta-merta dilakukan oleh masyarakat Hindu-Trunyan. Sebagai gantinya mereka juga melakukan upacara khas Trunyan, terkadang mengambil momen waktu pada sebagian dari hari-hari ritual besar tersebut atau bahkan tidak merayakannya sama sekali.
Ritus Galungan ialah upacara untuk memperingati hari Pawedalan Jagat, yaitu momen ketika Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta. Dirayakan setiap enam bulan (210 hari) sekali, yaitu tapat pada Rabu Kliwon, Wuku Dungulan.
Ritual ini dianggap penting bagi masyarakat Hindu-Bali karena juga bermakna simbolik sebagai perjuangan antara kebenaran (dharma) dan kejahatan (adharma). Sekaligus pada momen ritual ini masyarakat Hindu-Bali menyampaikan rasa syukur karena Sang Hyang Widhi dan para Dewa lainnya, serta roh para leluhur (Pitara) telah berkenan turun ke bumi.
Sedangkan ritus Kuningan ialah kelanjutan dari upacara Galungan. Juga dirayakan setiap enam bulan sekali, jatuh sepuluh hari setelah upacara Galungan, yakni pada hari Saniscara (Sabtu Kliwon). Menurut keyakinan masyarakat Hindu-Bali, pada momen itulah seluruh dewa bersama para Pitara pulang kembali ke langit.
Sekalipun penduduk di Desa Trunyan, pada pura utama mereka sebenarnya terdapat pelinggih sebagai tempat disemayamkannya dewa yang bernama Betara Galunggan-Kuningan, mereka tidak merayakan kedua upacara tersebut. Merujuk catatan etnografi Danandjaja, dewa itu hanya sekali waktu saja diupacarakan oleh masyarakat Hindu-Trunyan jika kebetulan momen Galunggan bertepatan dengan waktu Purnawa Kedasa. Oleh masyarakat Trunyan momentum waktu yang jatuh secara bersamaan ini disebut dengan istilah nemu purnama, dan bisa dikata relatif jarang sekali terjadi.
Tak kecuali ritus Nyepi. Bagi orang Hindu-Bali, barangkali ritual ini merupakan salah satu ritual yang dianggap paling sakral. Bagaimana gambaran sakralitas dari ritus Nyepi ini setidaknya terlihat dari ditutupnya seluruh aktivitas jasa transportasi umum, dari penerbangan hingga angkutan darat lainnya, bahkan juga seluruh aktivitas jasa hiburan di hotel-hotel di Bali.
Pada momen itu masyarakat Bali lazimnya melakukan ritual "Catur Brata" Penyepian, yang terdiri dari amati geni (tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak menghibur diri seperti mendengarkan musik, pesta, dan lainnya).
Namun tidak demikian yang dilakukan oleh masyarakat Hindu-Trunyan di Desa Trunyan. Sebaliknya pada momen Penyepian justru masyarakat Trunyan sedang sibuk-sibuknya menyalakan dapur untuk membuat masakan yang akan disajikan kepada dewa mereka di Pura Dalem. Didedikasikan bagi dewa yang berkuasa di dunianya orang mati, upacara ini disebut Saba Kangin.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1563181512_Tari_Betara_Berutuk.jpg" />Tari Betara Berutuk. Foto: Bali Indonesia
Menurut kepercayaan orang Trunyan, dewa ini bernama Ratu Sakti Dalam Suarga, atau juga disebut Sang Hyang Aji Saka. Atas nama kuasa Ratu Sakti Pancering Jagat, Ratu Sakti Dalam Suarga memiliki kekuasaan untuk menentukan apakah seseorang dapat menitis kembali atau tidak. Menariknya, menurut keyakinan Hindu-Trunyan sebenarnya yang berpesta bukanlah masyarakat Trunyan yang hidup, melainkan leluhur atau kerabat yang telah meninggal. Hanya saja karena para leluhur atau kerabat yang meninggal ini sudah tidak memiliki tubuh kasar, maka ritual ini harus diwakilkan kepada yang masih hidup.
Bicara pelbagai bentuk ritual atau upacara di Desa Trunyan, maka salah satu upacara terbesar di sana ialah Saba Gede. Jelas, ritus ini dilakukan untuk memuja dewa tertinggi di Trunyan, yaitu Ratu Sakti Pancering Jagat. Dilakukan pada waktu bulan purnama keempat. Itulah sebabnya upacara ini sohor disebut dengan nama Purnama Kapat.
Berbeda dengan upacara Odalan secara umum, yaitu upacara untuk memperingati para dewa tertentu dan hanya dilakukan oleh beberapa kerabat tertentu pada garis leluhur yang sama (dadia), upacara dan ritual Saba Gede ini bukan saja dilakukan oleh seluruh penduduk Trunyan, melainkan juga oleh sebagian penduduk di kawasan Bintang Danu seperti Desa Abang, Buahan, Batur, dan Songan.
Ini tentu tak terlepas karena posisi Ratu Sakti Pancering Jagat, oleh masyarakat Trunyan ditempatkan pada posisi tertinggi dan sekaligus dianggap sebagai manifestasi dari Sang Hyang Widhi sendiri. Inilah warna hindunisasi pada Dewa-dewa yang dipuja oleh orang Trunyan, yang aslinya merupakan leluhur mereka. Konsekuensinya, pada konteks inilah para dewa-dewa utama dari Hindu yaitu Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma, justru sekadar ditempatkan sebagai putra-putra dewa tertinggi mereka.
Kembali pada upacara atau ritual Saba Gede. Upacara atau ritual yang diadakan pada waktu Purnawa Kapat ini terdiri dari dua aspek: yaitu ritus yang bersifat laki-laki dan disebut Kapat Lanang; dan ritus yang bersifat perempuan dan disebut Kapat Wadon. Kedua upacara atau ritual ini diadakan secara bergiliran dengan ketentuan yang paling diutamakan ialah posisi Kapat Lanang. Jikalau katakanlah karena satu atau lain hal, misalnya, di tahun ini ritual Kapat Lanang belum bisa dilakukan, maka pada tahun berikutnya masih merupakan giliran ritual Kapat Lanang harus dilangsungkan. Barulah sesudah itu, pada sesi berikutnya lagi ritual Kapat Wadon dilakukan.
Lantas, apa yang membedakan antara keduanya? Pada ritual Kapat Lanang terdapat pementasan drama pantomime suci, yaitu ritual Betara Berutuk. Sementara pada ritual Kapat Wadon tidak ada. Sebagai gantinya pada ritual Kapat Wadon terdapat ritual Wastra, yaitu upacara pewarnaan kain kapas tenunan Trunyan yang berwarna putih menjadi oranye.
Menarik dicatat di sini. Merujuk Danandjaja, tarian drama pantomim suci Betara Barutuk ini, yang dipentaskan pada ritual Kapat Lanang atau lebih popular disebut upacara Purnama Kapat, merupakan peninggalan dari zaman pra-Hindu dan sekaligus satu-satunya ritual yang hanya terdapat di Desa Trunyan.
Ritual Betara Berutuk merupakan simbolisasi dari Ratu Sakti Pancering Jagat dan Ratu Ayu Dalem Pingit Dasar, dan menggabarkan kehidupan para leluhur Trunyan dahulu. Secara filosofis, ritual ini juga bermakna sebagai simbolisasi penyatuan antara Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi, sekaligus tentang ekspresi harapan akan terciptanya kesuburan dan kemakmuran di muka bumi. (W-1)