Indonesia.go.id - Di NTT, Lontar Disebut Sebagai Pohon al-Hayat

Di NTT, Lontar Disebut Sebagai Pohon al-Hayat

  • Administrator
  • Kamis, 17 Oktober 2019 | 20:50 WIB
FLORA
  Pohon Lontar. Foto: Flora Indonesia

Masyarakat Indonesia mungkin sudah melupakan pohon lontar, atau malah tak tahu bagaimana bentuk pohon jenis palem ini. Tapi di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya Pulau Sabu dan Rote, lontar masih berperan penting bagi kehidupan mereka. Masyarakat di sana bahkan menyebut lontar sebagai pohon al-hayat atau pohon kehidupan.

Pohon Lontar (Borassus flabellifer Linn) adalah sejenis palem (Arecaceae) yang tumbuh liar di daerah dengan ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Lontar, diketahui berasal dari India dan Srilanka, kemudian menyebar ke Arab Saudi sampai negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, sampai Indonesia.

Di Indonesia, lontar yang mampu tumbuh setinggi 10 – 30 meter ini bisa kita jumpai di seluruh pesisir Sumatera; dari Aceh sampai Lampung, juga Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara sampai Papua. Tapi, lontar paling banyak ditemukan di NTT, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan (Sulsel). Sulsel menjadikan pohon ini sebagai lambang provinsi.

Daun lontar yang punya lebar satu sampai tiga meter dan berbentuk seperti kipas besar ini banyak berjasa khususnya di bidang sejarah dan sastra bangsa Indonesia. Peradaban manusia terdokumentasikan melalui lontar. Manusia zaman dahulu menuliskan atau menggambarkan sesuatu melalui lontar, disamping beberapa media lain misalnya gambar pada gua. Beberapa literatur zaman kolonial Belanda menyebut bahwa lontar masih dipakai dalam surat menyurat resmi para penghulu Suku Sasak sampai akhir abad 19.

Beberapa daerah menyebut pohon klasik ini dengan nama yang berbeda satu sama lain. Masyarakat Jawa mengenalnya sebagau pohon siwalan atau rontal. Masyarakat Bali menyebut hal sama (rontal). Masyarakat Pulau Sabu NTT pohon ini disebut kepuwe duwe, sedangkan masyarakat Rote menamakan pohon ini tua. Masyarakat Papua menyebutnya dengan uga. Sebutan umum lontar bisa jadi berasal dari kata rontal yang artinya daun pohon tal. Karena terlalu sulit melafalkannya, masyarakat mungkin memutar huruf awal dan akhir rontal, menjadi lontar.

Setidaknya ada 800 manfaat pohon lontar, mulai dari manfaat fisik sampai kimia karena nyaris semua bagian pohon ini bisa digunakan. Sebagai gambaran, total gula dalam 100 cc air nira adalah 10,93 gram. Gula reduksi 0,96 gr, ada juga sedikit protein, nitrogen, mineral, kalsium, fosfor dan zat besi. Dengan pH berkisar 6,7 - 6-9, air nira punya vitamin C cukup tinggi yaitu 13,25 g/100 cc dan vitamin B1 sebesar 3,9 IU.

Di provinsi NTT, batang lontar dijadikan bahan pembangun rumah sebagai tiang. Juga bisa menjadi perabotan rumah seperti meja dan kursi serta dibuat perahu. Pelepahnya yang besar dan kuat bisa untuk pagar dan tembok rumah. Daunnya yang lebar bisa dimanfaatkan sebagai wadah penampung air yang disebut haik (semacam ember), sebagai atap rumah, alat musik sasando dan topi ti’ilangga (khas NTT) dan beberapa fungsi lainnya.

Dulu, rumah di provinsi ini seluruhnya berasal dari pohon lontar sehingga kerap dinamakan rumah daun. Kini banyak rumah di sana yang sudah berdinding bata tetapi sebagian masih beratap daun pohon lontar sebelum diganti dengan seng.

Tandan buah atau mayang lontar yang masih muda bisa dimakan dan rasanya seperti kelapa muda tetapi airnya lebih sedikit. Sedangkan tandan buah pohon lontar yang sudah cukup tua, disadap dan menghasilkan air buah lontar (air nira) yang rasanya manis. Setiap mayang dapat menghasilkan buah sebanyak 20-24 butir dengan ukuran buah antara 15-20 cm. Setiap buah berisi tiga buah biji yang tidak terlalu besar dan pipih.

Di pulau Jawa, air nira ini disebut legen yang banyak ditemukan di pesisir utara Jawa seperti Pati, Tuban serta Gresik. Di beberapa daerah seperti Aceh dan Yogyakarta, masyarakat mengolah air nira lontar menjadi gula aren.

Di NTT, mayang lontar lebih tereksplor lagi karena bisa dimanfaatkan menjadi gula air, gula semut (gula merah butiran), dan gula lempeng (gula merah padat) atau difermentasi menjadi tuak, sopi dan sebagai bahan pembuatan kecap. Di provinsi ini, lontar mendapat tempat khusus bagi kehidupan masyarakat.

 

10 Bulan Mengalami Musim Lapar

Pada awal kemerdekaan Indonesia, kepulauan NTT merupakan wilayah Provinsi Sunda Kecil dengan ibukota Singaraja. Dua wilayah lain adalah Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB). NTT yang terbentuk pada tahun 1958 ini punya 1192 pulau (baru 432 pulau punya nama) dengan garis pantai 81 kali panjang Pulau Jawa. Gugusan pulau itu terdiri atas tiga pulau besar yaitu Pulau Sumba, Pulau Flores dan Pulau Timor, termasuk tujuh pulau kecil terluar yaitu Pulau Alor, Pulau Batek, Pulau Rote, Pulau Ndana, Pulau Sabu, Pulau Dana dan Pulau Mangkudu.

Topografi wilayah ini adalah perbukitan kapur, padang tandus dan beberapa wilayah kecil padang rumput. Beberapa pulau malah tak punya gunung sehingga tak ada sarana untuk menangkap hujan. Hal ini ditambah bentang kepulauan yang panjang, juga angin monsun Australia bertiup kuat sehingga angin timur yang bersifat kering menjadi dominan di NTT. Kondisi ini membuat sebagian besar wilayah ini berupa lahan kering yaitu mencapai 96,74 % dan menyisakan sedikit lahan basah.

Akibatnya, NTT hanya mengalami curah hujan selama dua bulan saja yaitu pada akhir tahun. Wilayah yang sering alami kekeringan parah adalah pulau kecil terluar seperti Pulau Sabu dan Pulau Rote. Mereka harus mengalami 10 bulan musim kemarau (masyarakat lokal menyebut dengan musim lapar) serta musim hujan pada pertengahan dan akhir Desember dengan puncak bulan Januari atau Februari.

Musim hujan yang pendek itu menyebabkan tidak banyak tumbuhan dan binatang bisa bertahan hidup. Kalaupun bisa tumbuh semisal tanaman jagung, hasilnya terbatas. Beras dan sayuran harus didatangkan dari Kupang atau pulau lainnya.

Masyarakat dua pulau terluar itu mencari penghidupan dari mencari ikan, beternak babi, mengolah rumput laut dan membuat kerajinan tapi hasilnya tak cukup memadai. Dari kondisi alam itu, yang menyelamatkan hidup masyarakat di sana adalah pohon lontar. Lontar tumbuh subur di dua pulau itu, memberi keajaiban bagi mereka karena memelihara dan menyelamatkan kehidupan yang sangat sulit. Sepanjang musim mereka bertahan dengan minum air nira sebagai pengganti makanan.

“Sarapan kami adalah dua gelas air gula lontar, lalu pergi kerja. Siang makan nasi dan malam minum air gula atau gula lempeng yang dicampur jagung. Rasanya enak, seperti madu. Jadi makan nasi hanya satu kali sehari,“ kata Yanis Pellondow seorang warga Kabupaten Rote Ndao.

Yanis Pellondow bercerita bahwa sebelum berkeluarga, tiap hari dia selalu minum air nira tanpa makan nasi. Itu cukup untuk membuatnya kuat bekerja sepanjang hari. “Jika makan nasi tanpa minum gula, saya malah lemas,” kata penyadap lontar ini. Kadang mereka makan gula lempeng dicampur buah-buahan.

Banyak kepala keluarga di Pulau Sabu dan Pulau Rote bekerja sebagai penyadap lontar dengan mengambil air nira dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Di Rote Ndao, beberapa kepala keluarga bekerja menyadap lontar nyaris sepanjang siang. Rata-rata seorang mampu menyadap 15–30 pohon lontar dalam sehari. Satu pohon terdapat satu sampai lima tandan bunga lontar yang disadap, dan dapat menghasilkan 2–5 liter air nira. Jika dalam satu hari seorang menyadap 16-20 pohon lontar, maka akan didapat 100 liter air nira.

Masyarakat NTT di Kabupaten Sabu Raijua, para ibu-ibunya mengolah air nira menjadi gula lempeng dengan memanaskannya sambil diaduk selama 4 jam. Dari 100 liter yang dimasak, hasilnya menjadi seperempatnya saja. Sedangkan beberapa daerah Rote Ndao, air nira dipanaskan selama satu jam saja dan hasilnya mirip gula cair. Olahan seperti ini segera dijual dalam jirigen 5 literan dengan harga Rp60 ribu. Di tingkat pedagang harga itu mencapai Rp100 ribu dan di tingkat pengecer menjadi 150 ribu rupiah. Setiap minggu masyarakat Sabu dan Rote mengirim ratusan jirigen gula cair ke seluruh kabupaten di NTT.

Meski tak membuat masyarakatnya kaya raya, selama ini pohon lontar sudah menjamin kehidupan masyarakat dua pulau ini lebih dari yang diduga sebelumnya. Bagi mereka, pohon lontar adalah keajaiban yang menyelamatkan hidup mereka. Lontar adalah pohon kehidupan; pohon al-hayat. (K-CD)