Indonesia.go.id - Manis Segar dari Kampung Sendiri

Manis Segar dari Kampung Sendiri

  • Administrator
  • Selasa, 25 Agustus 2020 | 22:52 WIB
BUDI DAYA BUAH
  Jeruk Dekopon. Dapat bersaing di pasar ekspor. Foto: Disdik Jawa Barat

Suasana normal baru membuat konsumsi buah-buahan meningkat. Jeruk lokal naik pamor. Tapi, tidak ada yang sefenomenal jeruk dekopon.

Langkah kreatif Ahmad Baihaqi berbuah manis. Pilihannya menanam jeruk keprok dekopon asal Jepang di atas lahannya di Dusun Duwet, Desa Dadi, Plaosan, Magetan, Jawa Timur, tiga tahun lalu, ternyata tidak meleset. Jeruk dekopon dari Plaosan itu kini naik daun. Permintaan mengalir deras dari para pedagang buah dari sejumlah kota besar di Jawa Timur, bahkan Jakarta.

Suasana normal baru di tengah pandemi ini membuat tingkat konsumsi buah dan sayuran cenderung naik. Harganya bergerak naik termasuk jeruk. Namun, dari keluarga jeruk itu, dekopon primadonanya. Bila jeruk lain di pasar Jawa Timur harganya bergerak di kisaran Rp15--30 ribu per kilogram (kg), dekopon bisa laku sampai Rp70 ribu, bahkan Rp80 ribu rupiah di tingkat konsumen. Di Jakarta, toko online menjualnya sekilo (berisi tiga butir) Rp89.000, ditambah ongkos kirim.

Berada di lereng Gunung Lawu, lingkungan Dusun Duwet dan sekitarnya adalah wilayah subur dengan udara sejuk dan curah hujan cukup tinggi. Secara tradisional, Plaosan ini penghasil buah dan sayuran. Mengapa pula tak mencoba jeruk dekopon, toh dari riset yang dilakukannya, tanaman ini beradaptasi dengan baik di daerah tropis dataran tinggi di sekitar Bandung.

Baihaqi pun mengajak beberapa sejumlah tokoh tani untuk menjajal Dekopon. Ajakannya tak bertepuk sebelah tangan. Bibit didatangkan dari Ciwidey, Bandung. Ternyata, pertumbuhannya bagus. Populasi pohon jeruk Dekopon terus bertambah dan kini telah mencapai 5.000 batang di Plaosan. “Untuk Jawa Timur, jeruk Dekopon Plaosan ini yang pertama,” kata Baihaqi, seperti dirilis Humas Pemkab Magetan awal Agustus 2020.

Jeruk Dekopon itu berbuah sepanjang tahun. Pohonnya rimbun dengan percabangan yang menjulur ke segala arah. Tajuknya membulat. Buahnya cukup besar seukuran jeruk Sunkist, tapi kulitnya bertekstur mirip jeruk Mandarin. Di pangkal buah dekat tangkai, ada tonjolan cukup besar mirip mahkota. Orang Jawa menyebut jeruk dengan tampilan fisik seperti itu sebagai jeruk keprok. Rasanya manis, segar, dan tanpa biji.

Secara rata-rata, tiap batang jeruk dekopon dari Plaosan itu menghasilkan 1,5--2 kg per bulan. Tiap bulan ada 7--8 kuital jeruk dekopon yang dikirim ke pasar. Melalui badan usahanya, Baihaqi mengurus pemasarannya. “Hampir semua terserap,” kata Baihaqi. Dengan tingkat harga yang bagus seperti saat ini, petani bisa mendapat 50 ribu rupiah untuk tiap kilogramnya.

Kisah sukses Jeruk dekopon itu telah menyebar ke kaki Gunung Lawu pada sisi yang lain di Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) serta Karanganyar dan Sragen (Jawa Tengah). Banyak petani yang menanam bibit tanaman hibrida hasil silangan jeruk Kiyomi dan Ponkan, yang keduanya masih dalam satu marga jeruk Mandarin. Silangan ini mulai dibudidayakan di Jepang 1972, namun kemudian menyebar ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pembiakannya dengan cangkok atau okulasi.

 

Bermula dari Ciwidey-Rancabali

Sebagai tanaman brand asing, jeruk dekopon belum lama dibudidayakan di Indonesia. Jeruk ini mulai ditanam secara komersial pada 2012-2013 di daerah Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. Salah satu pelopornya ialah Awan Rukmawan dari Desa Alamendah, Rancabali. Wawan telah menanamnya sejak 2013, untuk mengganti tanaman stroberi yang pamornya memulai luntur. Bibitnya okulasi yang ia dapatkan dari seorang penghobi hortikultura di Ciwidey.

Pengalamannya bertahun-tahun menggeluti buah dan sayur, berguna untuk menjajal jeruk dekopon. Dari yang semula hanya 300 batang, kini Wawan membudidayakan 4.200 batang di atas lahan 7 ha. Dengan ketinggian lebih dari 1.200 meter dari permukaan laut (dpl), kawasan Rancabali dan Ciwidey disebutnya cocok untuk jeruk dekopon.

Usaha jeruk Wawan maju. Banyak tetangganya yang mengganti tanaman stroberinya ke dekopon. Di Desa Alamendah saja, ada 170 hektar kebun stroberi yang berganti rupa menjadi jeruk dekapon. Kini kebun jeruk keprok Jepang itu sudah menyebar di tiga kecamatan, yaitu Pasirjambu, Ciwidey, dan Rancabali (Pacira). Salah satu keuntungannya, sejak awal pun pasar memperlakukannya sebagai buah hidangan kelas menengah atas.

Harganya premium. Sebelum pandemi, para pelancong yang menikmati ekowisata Rancabali-Ciwidey biasa membeli jeruk dekopon dengan harga Rp50 ribu per kg. Satu kilogram bisa dua atau tiga butir saja, tapi yang berukuran besar bisa 9 ons beratnya. Pembeli yang lebih banyak ialah pedagang buah. Jeruk spesial itu dijual di Bandung, Jakarta, dan sebagian lainya dikirim ke Bali serta Kalimantan Timur. 

“Pembelinya tidak pernah kurang,” kata Awan Ruknaman yang kini setiap pekan memanen lebih dari satu ton jeruk dari kebunnya. Ia yakin, jeruk dekopon dari Bandung Selatan itu bisa bersaing di pasar ekspor. Harganya lebih murah kualitasnya tidak kalah. Kiprah ekspor mungkin masih menunggu momentum yang pas.

 

Kiprah Jeruk Lokal

Kisah sukses jeruk dekopon itu menandai kiprah petani Indonesia dengan brand asing.  Tentu, bukan hal yang tabu. Duren monthong dari Thailand, kelapa sawit dari Afrika, dan banyak lainnya. Sebagian kemudian menjadi identitas lokal karena begitu lama dibudayakan di Indonesia, termasuk berbagai varietas jeruk.

Di Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) Batu, Jawa Timur, dikoleksi 211 asesi (galur) jeruk yang ada di Indonesia, baik yang endemik Indonesia maupun hasil introduksi dari luar negeri. Secara umum, ke-211 asesi itu terdiri dari tiga marga  jeruk keprok manis, jeruk siam, dan jeruk besar Pomelo yang sering disebut jeruk bali. Koleksi terbanyak jeruk siam yakni 110 jenis, jeruk keprok ada 85 jenis, dan selebihnya jeruk pomelo.

Beragam jeruk itu kini masih ditanam di petakan lahan-lahan sempit, yang kalau dijumlahkan luasnya bisa mencapai 55 ribu ha. Produksinya lebih dari 1,5 juta ton per tahun. Namun, pasar domestik masih menghendaki produk yang berbeda. Maka, tiap tahun mengalir jeruk impor sampai 150 ribu ton dari Pakistan, Tiongkok, Australia, dan beberapa tempat lainnya. Sebagian besar dari jenis Mandarin yang di Indonesia disebut keprok.

Konsumsi jeruk secara nasional meningkat 4,5 persen per tahun. Pohon-pohon baru terus diperlukan.  Kementerian Pertanian dan pembudidaya bibit rakyat menyediakan ratusan ribu bibit yang dibiakkan dari koleksi Balitjestro, dan sebagian kecil bibit impor. Hasilnya, ialah jeruk manis segar yang menjadi produk andalan dari kampung halaman.

Bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batang, Jawa Tengah, Kementerian Pertanian pun mendukung dibukanya sentra produksi jeruk baru. Sebanyak 44 ribu bibit (sebagian besar dari jenis Siam) telah ditanam April 2018 di atas 88 ha lahan yang tersebar di 14 desa. Kebun jeruk itu sejalan dengan visi Pemkab Batang yang akan mengembangkan diri sebagai daerah wisata.  

Dengan pemeliharaan yang disiplin, pohon jeruk itu ternyata bisa berbuah lebih cepat. Sejak Juli lalu, jeruk Batang itu sudah berbuah dan hingga Agustus ini panen raya masih berlangsung. Mau mencicipi rasanya? Berbagai toko online kini telah menyajikan jeruk spesial dari berbagai tempat, termasuk yang dari Plaosan Magetan, Rancabali-Ciwidey-Pasirjambu, Batang, Brastagi, dan seterusnya.

 

 

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini