Indonesia.go.id - Strategi Mendongkrak Produksi

Strategi Mendongkrak Produksi

  • Administrator
  • Rabu, 14 November 2018 | 08:26 WIB
OIL AND GAS COMMODITY
  Sumber foto: Antara Foto

Pemerintah terus berusaha memperbaiki regulasi dan memberikan kemudahan sehingga minat investor masuk ke sektor migas semakin besar dan mendorong kenaikan produksi nasional.

Lifting minyak nasional dari tahun ke tahun menunjukkan tren penurunan. Wajar bila dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)  2019, lifting minyak  hanya ditargetkan 750.000 barel per hari.

Target yang ditetapkan itu memang lebih rendah dari outlook 2018 sebanyak 775.000 barel per hari maupun target APBN 2018 sebesar 800.000 per hari. Ada beberapa penyebab sehingga pemerintah harus memoderasi atau lebih realistis memutuskan target lifting tersebut.

Di sisi lain, lifting gas tahun depan diprediksi bisa mencapai 1,25 juta barel per hari, yang berarti lebih besar dari outlook 2018 sebesar 1,12 juta barel per hari dan juga lebih besar dari target APBN 2018 sebesar 1,2 juta barel per hari.

Bila ditotal, lifting minyak dan gas 2019 akan mencapai 2 juta barel per hari, sama dengan target APBN 2018 sebesar 2 juta barel per hari. Namun, target itu lebih tinggi dari outlook 2018 sebesar 1,89 juta barel per hari.

Mulai membaiknya harga minyak hingga di kisaran US$70 per barel tak dipungkiri telah memberikan angin segar bagi kalangan kontraktor migas untuk kembali melakukan investasi ke sektor migas domestik.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1542256847_1.jpeg " style="height:500px; margin-left:150px; margin-right:150px; width:353px" />

 

Dalam konteks regulasi, pemerintah terus berusaha memperbaiki dan memberi kemudahan sehingga bisa mendorong kenaikan produksi migas nasional. Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar investor mau menanamkan investasinya di sektor hulu migas untuk mendongkrak produksi, minimal menahan laju perlambatan produksi.

Tidak tanggung-tangung, Kementerian ESDM pun telah menyederhanakan beberapa aturan dan regulasi, agar minat investasi di sektor itu kembali bergairah. Hingga Maret 2018, kementerian itu telah menghapus dan menyederhanakan 18 regulasi dan 23 sertifikasi migas.

Perlunya penyederhanaan regulasi, bahkan mencabut peraturan yang dianggap menghambat investasi, diharapkan memberikan stimulan terhadap minat kontraktor melakukan eksplorasi dan produksi migas.

Namun, kondisi kebanyakan sumur yang mulai menua serta diberlakukannya skema gross split (bagi hasil kotor) dari sebelumnya Production Sharing Cost (PSC) atau cost recovery juga menjadi penyebab lainnya turunnya minat investasi di sektor itu.

Sebagai gambaran, investasi migas lima tahun lalu sempat menyentuh di angka US$20,4 miliar. Setelah itu, investasi turun terus hingga di posisi US$10,26 miliar pada 2017.

Dalam konteks cadangan migas, menurut data Januari 2017 Kementerian ESDM, cadangan minyak di Indonesia masih cukup besar, yakni sebesar 7,53 miliar barel.  Dari total itu, kebanyakan cadangan minyak itu berada di kawasan Indonesia timur masing-masing P1 (potensi) sebesar 344,2 juta barel, cadangan P2 (cadangan terbukti) sebanyak 95,1 juta barel, dan P3 26,8 juta stok tank barel.

Lalu, bagaimaan dengan cadangan gas? Negara ini masih memiliki cadangan sebesar 142,72 triliun kaki kubik (MMscfd). Dari total itu, cadangan gas di Indonesia timur, antara lain, P1 26,72 triliun kaki kubik (bcf), P2 6,54 bcf, dan P3 sebesar 5,12 bcf.

Duet Ignasius Jonan dan Arcandra Tahar (Menteri dan Wakil Menteri ESDM) kerapkali mewanti-wanti dan mendorong pemangku kepentingan di sektor migas untuk terus memperbaiki kinerjanya.

Bahkan, Jonan pun sampai mengancam akan mengganti kepala SKK (Satuan Kerja Khusus) Migas bila tak becus mengelola sektor tersebut. “Saya bilang Pak Amien [Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas], pimpinan sudah diganti semua supaya cepat. Kalau masih lambat, nanti termasuk Pak Amien.”

Tujuan Kementerian ESDM merombak pimpinan SKK Migas diharapkan akan meningkatkan pelayanan kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) bisa terealisasi sehingga bisa mendukung perbaikan iklim investasi, menekan cost recovery, dan pertahankan produksi migas.

Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas pun sangat sadar dengan tanggung jawabnya untuk mendongkrak produksi migas. Menurutnya, tantangan industri migas saat ini adalah bagaimana meningkatkan produksi dalam negeri dari lapangan migas baru. Namun, lapangan migas baru itu butuh waktu dan biaya tak sedikit.

Sebagai gambaran, sebanyak 47% lapangan migas di Indonesia merupakan lapangan mature yang umurnya di atas 25 tahun. Karakter lapangan tua ini produksinya turun, sementara cost naik terus. “Ini tantangannya, bagaimana menuangkan lapangan mature ini," tandasnya di satu seminar di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Untuk itu, dia meminta, agar produsen migas jeli mencari lapangan tua yang cadangan tersisanya (remaining reserve) masih cukup besar. Selain itu, produsen juga harus kreatif agar recovery rate dari lapangan tersebut dapat ditingkatkan.
Contohnya, seperti yang dilakukan PT Pertamina EP (PEP), yang mampu mendongkrak recovery rate lapangan Sukowati hingga 50%. Hasilnya, lapangan ini mampu menyumbangkan produksi terbesar dari lapangan-lapangan lain yang dikelola oleh anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut.

Pendapat Amien itu dibenarkan oleh Meidawati, Senior Vice President Upstream Strtageic Palnning and Perfomance Evaluation Direktorat Hulu Pertamina. Menurutnya, BUMN itu menargetkan produksi minyak 2019 sebesar 414.000 barel per hari, naik dibanding target tahun ini 400.000 bph. Untuk gas, Pertamina menargetkan produksi 2.966 MMSCFD, lebih rendah dibanding target 2018 sebesar 3.069 MMSCFD.

Tantangan bagi Pertamina untuk mendongkrak produksi, tutur Meidawati, mayoritas lapangan migas yang dikelolanya sudah tua atau mature. Namun, Pertamina juga memiliki lapangan baru (green field) seperti di Banyu Urip dengan penguasaan hak partisipasi sebesar 45%. Sisanya, 55% dikuasai Exxonmobil yang juga menjadi operator.

Selain itu, Pertamina mempunyai 100% di Jambaran Tiung Biru. Lapangan baru lainnya, adalah Tomori, Donggi Matindok, dan Lapangan Paku Gajah yang dikelola PT Pertamina EP.

“Untuk porsi produksi, green field 21% dan mature field 79%. Perbandingan ini sangat signifikan, bagaimana kami mempunyai lapangan mature yang besar. Ini tantangan bagi kami.”

Menurut Meidawati, tantangan mengelola lapangan tua, pertama kontrol biaya. Karena bagaimanapun aset yang sudah tua biaya pengelolaannya akan lebih mahal dibanding lapangan baru.

Pasalnya, production facilities mungkin sudah tua semua. Selain itu, masalah reservoir, mungkin ada data yang tidak lengkap, sehingga harus melakukan korelasi dengan lapangan sekitar.

“Lalu challenge biaya. Kalau dikembangkan tadi tentu biaya operasinya tentu lebih tinggi jika mengelola lapangan tua. Serta keekonomian proyek,” tandas Meidawati.

Pada 2018, Pertamina tercatat mulai mengelola blok-blok habis kontrak yang sebelumnya hak partisipasinya dikuasai bersama mitra, seperti Blok Mahakam, Blok Tuban East Java, Ogan Komering, Sanga-Sanga, East Kalimantan, Attaka, dan Souteast Sumatra.

Tak pungkiri, tantangan peningkatan produksi migas nasional sangat tergantung dari peran Pertamina, salah satu kontraktor SKK Migas, untuk menjadi pendorong bagi kontraktor-kontraktor lainnya

Tentunya, seperti industri lainnya, pelaku industri migas kini sudah harus menggunakan pendekatan yang berbeda sesuai dengan tuntutan revolusi industri berbasis 4.0 bila ingin berhasil.

Pendekatan itu adalah tuntutan produksi migas harus cepat dan akurat untuk tetap menjaga kestabilan produksi. Struktur organisasi yang berbasis digital dengan mengadopsi revolusi 4.0 sehingga akhirnya biaya menjadi efisien, pengawasan serta respons menjadi cepat. Semoga industri migas nasional bisa bangkit kembali.