Indonesia.go.id - Pelayaran Nuim Khaiyat, Dunia Kecil Sang Legenda

Pelayaran Nuim Khaiyat, Dunia Kecil Sang Legenda

  • Administrator
  • Rabu, 31 Oktober 2018 | 07:42 WIB

Lancang kuning, lancang kuning berlayar malam, hai berlayar malam …..alunan lagu klasik Melayu ini di tahun 80-an kerap muncul di pagi hari bersama dengan lantunan suara Nuim Khaiyath.

Bagi generasi kekinian, kata “lancang” mungkin terdengar asing. Tetapi dalam sejarah hidup Nuim, kisah dia ikut berlayar bersama sebuah kapal atau “lancang” dalam bahasa melayu adalah titik pijak hidupnya.

Sejarawan A.B. Lapian, pernah mengatakan bahwa bila kita bicara tentang sejarah Nusantara maka hal-hal yang berhubungan dengan laut dan berlayar akan selalu ada di dalamnya.

Orang nusantara punya banyak sekali pilihan kata untuk menggambarkan kendaraan yang digunakan untuk berlayar.  Mulai dari kapal, sampan, perahu, jukung, galai, gobang, lancang, lepa-lepa, londe, padewakang, pencalang, pinisi, rah, soppe, wangkang dan seterusnya.

“Assalamualaikum, apakabar … kalau ada matahari jangan lupa jemur tilam dan bantal, hati-hati di jalan, kalau terlanggar becak, enyahlah badan …” sapa Nuim kepada pendengar di berbagai penjuru nusantara dari program siarannya Radio Australia Siaran Indonesia (RASI).

Logat Melayu-Deli yang kental, begitu lekat di telinga penggemar radio luar negeri dalam periode yang lumayan panjang. Dari pertengahan 70-an hingga akahir 90-an. Nuim Khaiyath, 75 tahun, adalah legenda hidup Indonesia, yang  mampu menghadirkan warna keindonesiaan di setiap untaian kata-katanya.

Kebanggaan Nuim terhadap tanah tumpah darah yang selalu dirindukannya menjadikan siaran-siaran Nuim selalu kental dengan lagu-lagu, pantun, lelucon, hingga tema-tema yang mampu membawa pendengar pada tanah air yang tidak terlupakan. 

Gambaran nyiur melambai, angin pasat yang bertiup, kapal yang berlayar, sawah dan ladang, gunung dan lautan, hingga ayam yang berkokok di waktu fajar akan sangat mudah dibayangkan dalam alunan suara Nuim.

Nuim muda, di usia 20-an, masih tercatat sebagai mahasiswa sastra Universitas Sumatera Utara, ketika dia memutuskan ikut sebuah kapal dari Malaysia yang bernama Kuala Lumpur.

Kapal itu adalah kapal pembawa rombongan haji menuju tanah suci. Sebuah kapal besar dengan mesin kecil yang membuat kapal itu harus sering berhenti di tengah laut. Siapa kira perjalanan berbulan-bulan itu yang menentukan masa depan Nuim.

Nuim penasaran dengan darah Timur Tengah yang mengalir dalam dirinya dari garis Ayah. Dengan memakai jubah penutup dan burkah, Nuim pun lolos dari penjaga imigrasi. Tetapi sepandai-pandai Nuim melompat akhirnya jatuh juga.

Bukan anak Medan jika tak pandai bersiasat. Nuim muda yang bisa bicara bahasa Arab,  dan pintar berbahasa Inggris menawarkan jasa sebagai guru bahasa Inggris kepada pemerintah Saudi. Siasat berhasil Nuim tak jadi dipenjara.

Tidak hanya sebagai tukang kursus bahasa Inggris, Nuim malah kedapatan rejeki menjadi penyiar radio berbahasa Indonesia dari pemerintah Saudi. Dari karir inilah Nuim kemudian melompat ke Eropa, menjadi penyiar BBC di tahun 1964.

Tiga tahun di Inggris, Nuim  pindah ke ABC Australia membawakan siaran berbahasa Indonesia juga selama tiga tahun. Sempat dua tahun kembali ke Inggris sebelum Nuim menjadi penyiar Radio Australia Siaran Indonesia sejak tahun 1972 hingga pensiun di tahun 2014. Hingga saat ini Nuim masih mempertahankan status dirinya sebagai warga negara Indonesia walaupun keluarganya memilih sebagai warga tempat tinggalnya.

Sejarah kecil Nuim Khaiyat jika dicermati lebih lanjut sesungguhnya bisa menceritakan sejarah besar Nusantara. Mulai dari garis keturunan Nuim yang membawa diaspora Hadramaut, warna Melayu-Deli tempat lahir Nuim yang kosmopolitan, rombongan haji nusantara yang terkenal tangguh dan militan, pelayaran mengarungi samudera yang berbulan-bulan, kemampuan beragam bahasa Nuim yang lebih dari lumayan, hingga keteguhan nasionalisme Nuim yang tak lekang.