Masyarakat Tionghoa mempunyai waktu khusus untuk berziarah ke makam para orang tua dan tradisinya dikenal sebagai Ceng Beng. Ada ribuan orang memadati pemakaman Tionghoa saat Hari Menyapu Pusara diadakan.
Bau harum dupa menyeruak di antara nyala ribuan lilin merah menghadirkan pemandangan syahdu bersamaan munculnya semburat oranye di langit Kota Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung. Temaram senja mengiringi berakhirnya tradisi ziarah kubur masyarakat Tionghoa di ibu kota provinsi berjulukan Bumi Serumpun Sebalai itu dan dipusatkan di Pekuburan Sentosa.
Ceng Beng, demikian nama tradisi warisan nenek moyang orang Tionghoa yang telah berlangsung sejak ribuan tahun silam. Tradisi tadi makin memperkaya khasanah budaya bangsa Indonesia yang terdiri atas bermacam suku bangsa dan hidup secara damai berdampingan satu dan lainnya serta tetap mempertahankan budaya dan tradisi yang sudah dipercaya sejak beratus tahun silam.
Masyarakat Tionghoa di tanah air secara rutin menggelar tradisi Ceng Beng sebagai bentuk penghormatan dan cinta mereka kepada para leluhur yang telah tiada. Ziarah kubur ini diadakan setiap 4--5 April. Jika peringatan jatuh pada tahun kabisat, maka diadakan pada 4 April. Untuk 2023 ini dilakukan pada 5 April.
Seperti dikutip dari website Museum Nasional Budaya Asia Institut Smithsonian, Washington DC, tradisi bagi para penganut Khonghucu ini diperingati di hari ke-15 pada persamaan panjang siang dan malam di musim semi. Tradisi Ceng Beng juga dikenal sebagai Festival Qingming atau Festival Bersih Terang dan sudah berlangsung sejak lebih dari 2.500 tahun lampau.
Namun, ketika Kaisar Xuanzong dari Dinasti Tang memerintah Tiongkok pada 732, ia meminta rakyatnya supaya tidak perlu bermewahan dalam memberi penghormatan kepada leluhur, cukup menziarahi pusara dan bersembahyang di sana. Sejak saat itu, rakyat pun pergi ke pusara untuk berdoa.
Kegiatan ini disebut juga dengan Hari Menyapu Pusara. Setiap orang pada hari itu akan berbondong-bondong menuju pusara dan bersembahyang sambil membawa aneka makanan, arak, membakar dupa, menyalakan lilin merah, hio, dan kertas sembahyang sebagai persembahan kepada leluhur.
Karena pentingnya tradisi ini bagi masyarakat Tionghoa, di negara asalnya dijadikan sebagai hari libur nasional. Biasanya, usai menggelar Ceng Beng di area pusara leluhur, mereka akan merayakannya dengan berpiknik atau sekadar bermain layang-layang.
Ada banyak lokasi pekuburan masyarakat Tionghoa di Indonesia dan ramai disinggahi saat tradisi Ceng Beng digelar. Hanya saja, tak ada yang mampu menandingi gelaran tradisi ini di Sentosa, sebuah kompleks pemakaman di Kota Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung.
Pekuburan Umum Sentosa, demikian nama resminya merupakan lokasi pemakaman yang berada di atas lahan seluas hampir 20 hektare dengan kontur tanah berbukit. Sebanyak 12.950 pusara dari para leluhur warga keturunan Tionghoa di Kota Pangkalpinang dan Bangka Belitung menyesaki pemakaman ini. Lokasinya berada di jantung kota, tepatnya di Jalan Soekarno-Hatta.
Sejauh mata memandang, kita akan melihat deretan ribuan pusara khas Tionghoa berarsitektur unik dengan kepala makam berbentuk seperti dinding yang bagian atasnya membulat. Nyaris seluruh makam bentuknya serupa dengan dominasi warna putih diselingi warna lain seperti biru dan kuning. Status sosial dari orang yang dikuburkan di Sentosa akan tecermin dari bentuk dan ukuran makamnya.
Umumnya makam di tempat ini berlapis keramik atau dilapis semen saja, meski beberapa lainnya dibuat dari campuran batu granit dan bentuknya lebih besar. Menurut tokoh masyarakat Pangkalpinang, Akhmad Elvian, biaya pembuatan sebuah makam di Sentosa berkisar antara Rp2 juta-Rp4 juta dan tak sedikit pula sampai menelan biaya ratusan juta rupiah bahkan menyentuh angka miliaran rupiah.
Jika satu makam dikunjungi oleh sedikitnya lima anggota keluarga ketika tradisi Ceng Beng diadakan, maka hampir 65 ribu orang menyemuti pemakaman ini. Kepadatan manusia saat berziarah kubur juga dapat dilihat dari deretan ribuan sepeda motor dan ratusan mobil diparkir di jalan lingkungan seputar makam dan di sepanjang jalan raya.
Sebagian dari mereka adalah warga Tionghoa asal Babel yang merantau ke seluruh penjuru dunia dan beranak pinak di rantau, misalnya di kawasan ASEAN, tanah Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Mereka akan mudik ke kampung halaman untuk mengikuti Ceng Beng sebagai bentuk bakti kepada leluhur yang disemayamkan di Pekuburan Sentosa.
Mereka sudah bergegas menuju Sentosa dari rumah masing-masing di seputar Pangkalpinang sejak pukul 2.00 WIB sambil membawa sajian untuk diletakkan di atas pusara. Masing-masing berupa tiga jenis daging (samsang), tiga macam buah-buahan (samkuo), dan makanan vegetarian (caichoi). Mereka tak lupa menyalakan lilin, membakar hio dan dupa, menaruh uang palsu kertas (kimchin), dan tentu saja memanjatkan doa.
Objek Wisata
Pemerintah Provinsi Babel dalam website resmi mereka menyebut Sentosa yang dikelola oleh sebuah yayasan sebagai pemakaman Tionghoa terluas di Asia Tenggara. Pemakaman bernama lain Tjung Hoa Kung Mu Yen atau Kuburan Ngicung oleh warga Tionghoa Babel itu mulanya hibah dari keluarga bermarga Oen yang sangat terpandang di Pangkalpinang.
Leluhur mereka turut menyumbangkan tanah untuk dibangun Kelenteng Kwan Tie Miau pada 1841 di Pangkalpinang. Elvian menjelaskan, makam Sentosa tak melulu berisi leluhur masyarakat Tionghoa penganut Khonghucu saja. Tetapi terdapat pula dua makam warga Muslim, yaitu atas nama Tjurianty binti Kusumawidjaja yang dimakamkan pada 9 Desember 1994, dan pada sisi selatan sedikit ke barat ada pusara atas nama Gunawan bin Tanda (wafat 7 November 2008).
Ada pula makam warga beragama Katolik, yakni atas nama Paulus Tsen On Ngie yang diketahui lahir pada 1795. Ia adalah penyebar Katolik pertama di Pulau Bangka dan dipindahkan ke Sentosa dari lokasi semula di pemakaman Sungaiselan karena ketokohannya itu.
Pada sisi barat terdapat makam milik Pastor Mario John Boen Thiam Kiat yang wafat 31 Mei 1982. Pastor Boen, demikian biasa disapa semasa hidup, adalah pastor pribumi pertama di Indonesia asli putra Bangka. Ia ditahbiskan sebagai imam pada 25 April 1935 dan saat ini namanya diabadikan sebagai balai pertemuan paroki Pangkalpinang, Balai Mario John Boen.
Terdapat pula makam tua dari keluarga Oen atas nama Oen Nyiem Foek yang dipugar pada 1915. Empat pendiri pemakaman ini yaitu Yap Ten Thiam, Chin A Heuw, Lim Cui Cian, dan Yap Fo Sun dan mereka turut dikebumikan di Sentosa.
Pelaksana tugas Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga Babel Herwanita seperti diwartakan Antara menyatakan ritual Ceng Beng telah menjadi agenda tahunan tetap pariwisata di Serumpun Sebalai. Selama April, ada beragam festival budaya di Babel kendati Ceng Beng menjadi andalan karena mampu menyedot perhatian ribuan wisatawan temasuk peziarah dari seluruh dunia.
Sementara itu, Penjabat Gubernur Babel Suganda Pandapotan Pasaribu ketika mengunjungi Sentosa, Sabtu (8/4/2023), seperti diberitakan website resmi Pemprov Babel, mengatakan bahwa upaya tata kelola perlu dilakukan. Misalnya, menjaga kebersihan, kerapian, dan keamanan kawasan makam lantaran telah menjadi salah satu tujuan wisata religi dan wisata sejarah.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari