Tahun depan akan ada Pilkada serentak. Selain itu partai politik juga akan menggelontorkan dana sosialisasi sebagai persiapan Pemilu 2019.
PT Schroder Investment Management Indonesia memproyeksikan kondisi ekonomi Indonesia akan lebih baik pada tahun 2018 mendatang. Salah satu faktornya adalah karena tahun depan Indonesia mulai memasuki tahun politik.
Head of Intermediary Business Scroders Teddy Oetomo menjelaskan, tahun depan akan ada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang utamanya akan berlangsung di tiga Provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ketiganya, memiliki populasi hampir 40% penduduk Indonesia dan menguasai sekitar 30% perekonomian nasional.
Selain itu, akan ada sosialisasi oleh Partai Politik di seluruh daerah untuk menyambut Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum Badan Legislatif (Pileg) 2019. Belum lagi, pemerintah pun akan meningkatkan belanjanya terutama dalam peningkatan pemberian subsidi ke masyarakat di tahun depan.
"Proyeksi kami pertumbuhan ekonomi sama seperti Bank Indonesia (BI), sekitar 5,1-5,5%," ujar Teddy saat acara diskusi media, di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (13/10).
Teddy merinci, sejak tahun 2004, tren konsumsi Rumah Tangga (RT) akan mengalami kenaikan satu tahun sebelum Pilpres. Hal ini juga terjadi di sebelum Pilpres dan Pileg 2009 dan 2014. Namun, turun setelah Pilpres dan Pileg berlangsung. Konsumsi pemerintah pun juga memiliki pola yang sama.
Salah satu tantangan dan risiko yang akan dihadapi Indonesia adalah harga komoditas yang akan mempengaruhi ekspor. Namun, memang tren penurunan ekspor kerap terjadi sebelum Pilpres dan Pileg dilangsungkan, tetapi kembali naik setelah pesta rakyat tersebut berakhir, kecuali di 2014 di mana harga komoditas turun signifikan.
Sebaliknya, di tahun 2017 ini, harga komoditas sudah mulai merangkak naik dan diharapkan dapat stabil di 2018, sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Teddy pun melihat, pertumbuhan ekspor sudah cukup baik. Adanya pelemahan rupiah justru membantu ekspor, khususnya di komoditas batu bara.
Dengan demikian, adanya kampanye, belanja pemerintah dan perbaikan ekspor, serta tidak adanya gejolak harga komoditas ini akan membuat konsumsi RT semakin baik jika dibandingkan 2017 ini dan menopang pertumbuhan ekonomi. "Artinya, ekonominya akan lebih baik di 2018," ujar Teddy.
Selain itu, tantangan juga terlihat dari sisi perekonomian global, terutama Amerika Serikat (AS). Namun, Teddy menilai pemerintah harus terus bisa menjaga tingkat inflasi dalam negari agar memiliki ruang untuk beradaptasi dengan kebijakan suku bunga. Tetapi, risiko yang besar akan datang apabila kenaikan suku bunga AS berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan.
Terdapat pula risiko dari kebijakan untuk mereformasi pajak yang dilakukan Presiden AS Donald Trump dan pemilihan gubernur bank sentral AS yang baru. "Katanya terdapat 5 kandidat dari paling pro pertumbuhan sampai paling konservatif," ujarnya. Pemilihan ini tentunya akan mempengaruhi agresifitas kenaikan suku bunga AS ke depannya.
Di sisi lain, Teddy mengatakan, konsumsi RT memang akan membaik. Namun, tidak serta merta berpengaruh positif terhadap pertumbuhan industri retail. Menurutnya, industri tersebut harus bersikap dinamis dan mengadopsi perkembangan zaman dengan masuk ke sistem jual-beli online. Alhasil, pertumbuhan retail tahun 2018 akan ditentukan strategi masing-masing perusahaan.