Indonesia mendapatkan pengakuan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atas keberhasilan menurunkan sampah plastik di laut hingga 39 persen.
Usaha tidak mengkhianati hasil. Terbukti, berbagai upaya yang dilakukan dalam mereduksi sampah plastik di laut dalam beberapa tahun terakhir membuahkan apresiasi. Merujuk laporan PBB, demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan, Indonesia menjadi negara yang paling berhasil menurunkan sampah plastik di laut.
Tidak berhenti di situ saja, Indonesia juga tercatat sebagai negara paling banyak memproses sampah di darat untuk mengurangi masuknya sampah-sampah tersebut ke laut. “Kita salah satu negara yang dalam empat tahun terakhir ini berhasil menurunkan sampah plastik di laut, sekitar 39 persen, itu kata United Nations (UN/PBB),” jelas Menko Luhut dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema ‘Atasi Permasalahan Kelautan Global’, pada Senin (25/9/2023).
Sebagai informasi, polusi plastik di laut global (termasuk Indonesia) merupakan masalah serius. Merujuk proyeksi United Nations Environment Programme (UNEP), jumlah plastik yang masuk ke ekosistem akuatik dapat meningkat hampir tiga kali lipat pada 2040 atau menjadi 23--37 juta ton.
Jika tidak ada tindakan yang berarti, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menegaskan dalam Festival Hari Peduli Sampah Nasional (FPSN) 2023 di Jakarta, pada Selasa (13/6/2023), akan berdampak negatif pada berbagai dimensi. Oleh karena itulah, pemerintah melakukan intervensi dengan konsep kerja “Zero Waste, Zero Emission”.
Dalam hal itu, KLHK berperan sebagai pengampu untuk mengatasi emisi gas rumah kaca (GRK) dalam sektor kehutanan dan sektor sampah dan limbah.
Hasil kerja Indonesia menurunkan sampah plastik di laut, memang layak diacungi jempol. Upaya yang dilakukan Indonesia itu bisa menjadi pembelajaran penting bagi negara-negara pulau dan kepulauan di KTT Archipelagic and Island States (AIS) 2023, yang akan berlangsung di Bali, pada 10-11 Oktober 2023.
Selain menurunkan sampah plastik, dalam urusan emisi karbon, langkah Indonesia juga memberikan kontribusi positif. Indonesia mampu meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim.
Dimulai dari penanaman mangrove di bibir pantai, pengurangan deforestasi, peningkatan penggunaan energi terbarukan, hingga adaptasi terhadap perubahan iklim. Merujuk data Kemenko Marves, replanting mangrove mencapai 600 ribu hektare. Itu jelas tidak tertandingi oleh negara mana pun.
Langkah (restorasi hutan mangrove di bibir pantai) sangat efektif untuk mencegah tenggelamnya pulau akibat perubahan iklim. Hal itu karena mangrove memiliki akar yang kuat dan mampu menahan abrasi air laut.
Dari sisi pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), Indonesia juga telah menjalin kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UEA) untuk mengembangkan 62 gigawatt EBT. Pengembangan ini mencakup sumber energi solar, hidro atau air, dan geothermal. “Kita punya potensi clean energy sebesar 3.600 GW, termasuk solar panel,” kata Menko Luhut.
Dengan berbagai pencapaian tersebut, Indonesia memiliki bargaining position yang kuat pada KTT AIS 2023. Dengan posisi itu, Luhut menekankan, Indonesia akan mengajak 46 negara kepulauan yang hadir untuk kerja sama dalam mengatasi perubahan iklim.
Diharapkan, negara-negara pulau dan kepulauan di dunia, yang sebagian besar merupakan negara berkembang, mendapatkan wawasan berharga, sehingga dapat bersama-sama dengan Indonesia melakukan mitigasi perubahan iklim yang sudah mengancam di depan mata.
“Sudah waktunya Indonesia memperkuat posisinya di dunia. Jika pada waktu Konferensi Asia-Afrika di Bandung dulu spiritnya dekolonisasi, sekarang prosperity dan equality,” tegas Luhut.
Indonesia berharap KTT AIS Forum 2023 dapat menjadi momentum untuk meningkatkan kerja sama antarnegara-negara pulau dan kepulauan dalam mengatasi perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan ancaman serius karena dapat menyebabkan naiknya permukaan laut dan tenggelamnya pulau-pulau.
Ekonomi Biru
Dalam forum yang sama Plt. Staf Ahli Bidang Ekososbud Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Hendra Yusran Siry menyebutkan, pemerintah telah menetapkan kebijakan ekonomi biru. Kebijakan ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam laut dan pesisir secara berkelanjutan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
“Kebijakan ini terdiri dari lima pilar, yaitu penambahan luas kawasan konservasi laut, penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan perikanan budi daya di laut, pesisir, dan darat yang berkelanjutan, pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau kecil, serta pengelolaan sampah plastik di laut,” paparnya.
Dia melanjutkan, tantangan besar yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana mengoptimalkan potensi ekonomi biru, di tengah ancaman perubahan iklim. Sebab perubahan iklim tidak hanya menyebabkan naiknya permukaan laut, tetapi juga penurunan muka tanah.
Di beberapa daerah di Indonesia, penurunan muka tanah telah terjadi secara signifikan. Hal ini dapat memperburuk ancaman tenggelamnya pulau-pulau.
Ada pun CEO Landscape Indonesia Agus Sari menyambut, baik upaya pemerintah Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam ekonomi biru. Namun, ia juga menekankan bahwa ekosistem ekonomi biru ini harus dibicarakan secara komprehensif.
“Indonesia memiliki luas wilayah laut yang besar dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Namun, potensi ini dibayangi oleh berbagai tantangan, seperti kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan sampah,” jelas dia.
Agus menilai bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa kemajuan dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Namun, masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan ekonomi biru yang berkelanjutan.
Sebagai informasi, AIS Forum dibentuk melalui Deklarasi Manado oleh Pertemuan Tingkat Menteri AIS Forum pada 1 November 2018. Kolaborasi AIS Forum menguntungkan semua negara partisipan melalui peningkatan komunikasi, berbagi pengalaman, percepatan penyelesaian masalah-masalah pembangunan melalui kolaborasi dan penyatuan pandangan mengenai isu-isu kelautan.
KTT AIS Forum 2023 akan digelar di Nusa Dua, Bali pada 10--11 Oktober 2023 dengan mengusung tiga tema utama yakni “Blue Economy in Achieving Agenda 2030 on SDGs”, “Our Ocean, Our Future’’, dan “Solidarity”.
Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari