Indonesia.go.id - Perempuan Penggerak Pasar

Perempuan Penggerak Pasar

  • Administrator
  • Jumat, 8 September 2023 | 08:02 WIB
ASEAN
  Di Indonesia, lebih jauh lanjut Bintang, posisi kaum perempuan mengelola bisnis lebih dari lima puluh persen usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), serta unit usaha yang pada gilirannya mampu mendorong perekonomian nasional. ANTARA FOTO
Karena kegiatan pasar sangat dikuasai oleh kaum wanita, maka di situlah kita harus mulai," ujar Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450-1680 Jilid I.

"Perempuan adalah penggerak di banyak sektor," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga dalam Forum CEO Perempuan ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) di Jakarta, Sabtu (2/9/2023). Di Indonesia, lebih jauh lanjut Bintang, posisi kaum perempuan mengelola bisnis lebih dari lima puluh persen usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), serta unit usaha yang pada gilirannya mampu mendorong perekonomian nasional.

Ya, sepintas mengamati pasar-pasar tradisional di tanah air, maka secara fenomenologi segera terlihat bagaimana peran aktif dan posisi kaum perempuan di lapangan ekonomi. Melihat peran aktif mereka di pasar-pasar tradisional, tampak jelas posisi kaum perempuan sesungguhnya tidaklah pernah sepenuhnya inferior, malah  cenderung memiliki otonomi relatif, saat berhadapan dengan dominasi kaum laki-laki. 

Fakta yang terjadi malah sebaliknya. Kaum laki-laki --khususnya laki-laki Jawa--tampak sama sekali tidak mendominasi perdagangan di pasar-pasar tradisional. Kaum laki-laki Jawa dikenal buruk dalam kemampuan mereka mengatur keuangan atau berbisnis. Di masa Orde Baru, kita masih ingat, tak sedikit paparan antropologi ditulis orang yang mempertanyakan kemampuan bisnis orang Jawa.  

Fenomena buruknya kemampuan laki-laki Jawa dibandingkan wanitanya dalam berbisnis bahkan telah jadi common sense yang dipercaya kebenarannya konon bahkan sejak masa raja-raja Mataram masih berkuasa. Para bangsawan dan kesatria Jawa lebih suka berfilosofi atau mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan, sedangkan istri-istrinya yang berbisnis di pasar-pasar. 

 

Kesaksian Raffles

Thomas Stamford Raffles pernah heran ketika mengamati masyarakat Jawa mengelola bisnis di abad ke-19. Namun, Raffles segera menyadari persepsi masyarakat Jawa terhadap posisi dan peran kaum perempuan yang dianggap lebih sanggup mengatur keuangan atau bisnis keluarganya. Persepsi orang Jawa ini ternyata telah terbentuk jauh hari sebelum kedatangan bangsa Eropa. Kaum perempuan dianggap lebih unggul dan bahkan dalam posisi dominan dalam mengurus ekonomi, karena secara turun-temurun kaum perempuan telah dilatih mengamati fenomena naik dan turunnya harga-harga barang-barang di pasar. 

Dalam karyanya The History of Java, Raffles menulis: “Dalam segala hal yang berkaitan dengan transaksi keuangan, perempuan secara universal lebih pandai dibandingkan laki-laki, dari buruh biasa hingga kalangan bupati, sudah menjadi sesuatu yang lumrah bagi para suami untuk mempercayakan hal-hal yang berkaitan dengan uang kepada istrinya.”

Lebih jauh menurut Raffles, “…sudah lazim bagi suami untuk mempercayakan seluruh urusan keuangan kepada istrinya. Hanya wanita yang pergi ke pasar, dan melakukan seluruh urusan jual beli. Sudah umum diketahui bahwa kaum pria Jawa sangat bodoh dalam mengurus uang.”

Kesaksian Raffles itu kemudian diperkuat oleh sejarawan Anthony Reid dan menjadi hipotesanya menulis perihal otonomi ekonomi kaum perempuan. Bukan sebatas fenomena partikular masyarakat Jawa saja, melainkan juga Asia Tenggara pada umumnya. Menurut Reid, peran penting kaum perempuan dalam perdagangan tradisional adalah warisan dari tradisi niaga di Asia Tenggara pra-modern. Terbukanya akses di bidang perdagangan membuat sebagian kegiatan di pasar dikuasai kaum perempuan, dari dulu hingga sekarang. 

“Sudah jelas bahwa di Asia Tenggara pramodern, kaum wanitanya meniknati otonomi yang relatif tinggi di bidang ekonomi”, demikian Anthony Reid menulis dalam subbab berjudul Peran Wanita dalam bukunya Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450-1680 Jilid I

Dalam buku itu Reid mengumpulkan naskah-naskah catatan perjalanan dari abad ke-13 hingga ke-19. Salah satu isinya tentang keheranan para pedagang Eropa ketika mendapati banyak perempuan yang berminat membeli muatan kapal mereka. Di kota-kota pelabuhan sepanjang pesisir daratan Indocina sampai ke Nusantara, perempuan hampir selalu dapat ditemui di pasar dan kios penukaran uang. 

“Kaum wanita Siam adalah satu-satunya saudagar yang membeli barang-barang, dan sebagian di antara mereka sangat giat berdagang,” tulis Reid mengutip catatan pedagang Inggris bernama Alexander Hamilton.

“Kaum wanita di negeri Birma menangani urusan·urusan dagang yang lebih penting dari suami mereka” catatan Symes di tahun 1827. 

“Wanita lah yang melakukan tawar-menawar (di Maluku), membuka usaha, membeli dan menjual,” ujar Gatviio yang ditulis pada tahun 1544. 

Dan tak kecuali “(Di Melaka) kaum wanita membuka pasar di malam hari,” tulis Hwang Chung 1537.

Reid pun juga mencatat, ada sebuah puisi Minangkabau yang ditulis pada 1820-an, berisi anjuran supaya kaum ibu mengajarkan pada anak-anak gadisnya "mengamati turun-naiknya harga" di pasar.

Tak berbeda dengan Reid, Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3 juga mengutip catatan penjelajah Inggris dari abad ke-17, William Dampier. Dampier juga menyaksikan fenomena kaum perempuan Aceh dan Tonkin (Vietnam bagian utara) yang tidak hanya piawai berdagang melainkan juga mengatur sirkulasi pertukaran uang. “Di sini (Aceh) hanya ada perempuan, seperti di Tonkin; mereka berurusan dengan penukaran uang. Mereka duduk di pasar dan di ujung jalan dengan uang timah,” tulis Dampier seperti dikutip Lombard. 

 

Menumbuhkan Minat Wirausaha

Meskipun telah berjalan lebih dari dua abad sejak Dampier menyaksikan para perempuan membawa berkarung-karung uang timah, pola kegiatan perdagangan tradisional di pasar-pasar di Asia Tenggara dan khususnya di Nusantara nisbi tidak berubah. Raffles, seperti halnya Hamilton, Dampier, dan banyak lainnya telah menyaksikan sendiri fenomena kaum perempuan di Asia Tenggara yang melakukan bisnis dan menopang ekonomi keluarga mereka sejak berabad-abad yang lampau.

Menurut Reid, karena kegiatan pasar sangat dikuasai oleh kaum wanita, maka di situlah kita harus mulai. Kemudian Reid memaparkan bagaimana kegiatan pasar sangat dikuasai oleh kaum wanita dibandingkan dengan kaum laki-lakinya. Mengutip statistik yang dikumpulkan Ester Boserup sehubungan partisipasi kaum wanita di dalam perdagangan dan pemasaran, Reid mencatat: di Muangthai, kaum wanita tercatat sebesar 56 persen sebagai pedagang dan pemasar;  di Filipina 51 persen, di Birma 47 persen, di Kamboja 46 persen. Sedang di Indonesia, meskipun mencatat tingkat yang lebih rendah yaitu 31 persen, tetap masih sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya di Timur Tengah, yaitu 1 - 5 persen.

Tak aneh jika Menteri Bintang tak pernah lupa selalu mengingatkan dan mengajak generasi muda perempuan untuk meningkatkan minat terhadap kewirausahaan. Selain merupakan bekal mempersiapkan kemandirian ekonomi di masa mendatang, juga turut serta dalam pembangunan ekonomi bangsa.

"Berbagai data dan literatur telah membuktikan bahwa partisipasi yang setara dari perempuan dan laki-laki merupakan kunci kesejahteraan suatu bangsa. Namun begitu ketimpangan partisipasi perempuan khususnya dalam bidang ekonomi masih saja terjadi," tutur Menteri PPPA dalam keterangan resminya, Kamis (12/1/2023). Dengan tujuan memperkecil jarak ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di sektor ekonomi, Menteri PPPA mendorong generasi muda khususnya kaum perempuan untuk mempersiapkan kemandirian ekonomi melalui wirausaha. 

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan juga masih rendah, di mana pada Agustus 2022, TPAK perempuan baru menunjukkan angka 53,41 persen. Sangat timpang dengan TPAK laki-laki yang sudah mencapai 83,87 persen.

Jelas, ada pekerjaan rumah besar untuk mengarusutamakan kesadaran gender dan mendorong partisipasi ekonomi kaum perempuan dibandingkan potret sejarah masa lalu. Padahal sejarah bangsa-bangsa di Asia Tenggara secara umum, juga bangsa Indonesia di Nusantara pada khususnya, telah mencatat bagaimana kaum perempuan sejak berabad-abad yang lalu telah memiliki peran aktif sekaligus posisi dominan di pasar-pasar tradisional bahkan hingga kini.

Mengelaborasi peran aktif perempuan dari sebatas aktivitas di pasar-pasar tradisional menuju peran-peran baru lain di tengah masyarakat modern jelas jadi tantangan kita bersama. (*)

 

Penulis: Waskito Giri