Upaya konservasi badak jawa bercula satu (Rhinoceros sondaicus) yang terdapat di TN Ujung Kulon, Banten, makin menunjukkan hasil. Kondisi habitat alam di Ujung Kulon yang masih terjaga dengan baik meningkatkan kemampuan bereproduksi badak endemik Indonesia ini. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya sepasang anak badak jawa pada Agustus 2020.
Kelahiran Luther dan Helen, demikian nama badak tersebut, diumumkan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertepatan dengan Hari Konservasi Alam Nasional 2020. Kedua anakan badak jawa itu diketahui dari hasil pemantauan tim Balai TN Ujung Kulon sejak Maret hingga Agustus 2020 menggunakan 93 video kamera jebak.
Ini artinya, hingga Agustus 2020 jumlah kumulatif badak jawa menurut data terakhir KLHK mencapai 74 ekor. Terdiri dari 40 jantan dan 34 betina dengan komposisi 15 ekor adalah anak dan 59 ekor merupakan klaster usia remaja-dewasa.
Menurut Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno di Jakarta, Jumat, (18/9/2020), kehadiran Luther dan Helen ini melengkapi empat anak badak jawa yang lahir tahun lalu. “Kelahiran badak jawa di TN Ujung Kulon juga mempertegas bahwa populasinya terus berkembang biak dengan baik secara alami. Sehingga terus memberi harapan besar bagi kelangsungan hidup satwa langka spesies badak jawa," kata Wiratno.
Demikian pula dengan ketersediaan pakan badak jawa di semenanjung Ujung Kulon masih relatif sangat baik. Sehingga menjaga kehidupan, perilaku dan perkembangan badak jawa di masa mendatang.
Dalam sehari, badak jawa memerlukan 50 kilogram asupan berupa ranting dan daun-daun muda serta buah yang jatuh. Mereka dapat hidup di alam bebas hingga umur 45 tahun. Umumnya hewan bertinggi badan 1,4 -1,7 meter ini bersifat tenang, namun akan agresif jika sedang memiliki anak.
Badak jawa memiliki berat antara 900 kilogram hingga 2.300 kg. Biasanya mereka akan menghindari manusia, tetapi akan menyerang manusia jika merasa diganggu.
Penelitian pertama mengenai badak jawa terjadi pada 1787. Namun, spesies badak jawa baru diteliti secara serius pada 1822 oleh ilmuwan terkenal Prancis, Georges Cuvier dan Anselme Gaetan Desmarest. Mereka akhirnya mengidentifikasi bahwa binatang ini adalah endemik khas Pulau Jawa.
Terus Memantau
Para peneliti badak jawa jarang meneliti binatang itu secara langsung karena kelangkaan mereka dan adanya bahaya mengganggu sebuah spesies terancam. Peneliti akan memakai kamera dan sampel kotoran untuk mengukur kesehatan dan tingkah laku mereka. Badak jawa lebih sedikit dipelajari daripada spesies badak lainnya.
Meski dalam situasi pandemi Covid-19, pemantauan lapangan terus dilakukan di antaranya melalui video kamera jebak. Kegiatan ini termasuk pengamanan penuh (full protection) atas kehadiran Luther dan Helen akan terus dilakukan hingga akhir Desember 2020.
“Pengambilan data dan observasi habitat terus dilakukan. Pandemi ini tidak menghentikan kegiatan lapangan KLHK khususnya petugas konservasi di TN Ujung Kulon dan taman nasional lainnya di Indonesia,” ungkap Wiratno.
Seperti dikutip dari siaran pers Kementerian LHK, pemerintah tahun ini telah mengalokasikan dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp4 triliun untuk rehabilitasi lahan dan kegiatan konservasi di seluruh taman nasional termasuk TN Ujung Kulon. Dukungan APBN ini untuk konservasi menjadi penting dan memastikan tidak terjadinya kepunahan satwa-satwa kunci seperti badak.
Badak merupakan salah satu spesies satwa langka kunci. Badak bersama-sama dengan gajah, orangutan, harimau, komodo, dan flagship species lainnya merupakan spesies penting di dunia.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini