Bicara agenda konservasi macan tutul jawa, ada momen menarik dicatat. Pada 9 Juli 2019, kucing besar berwarna hitam ini, yang oleh masyarakat sering disebut ‘macan kumbang’, dibebasliarkan kembali. Slamet Ramadhan, demikianlah nama seekor macan tutul jawa berjenis kelamin jantan itu, dilepasliarkan di kawasan Bukit 1.000 Bintang, Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Pasawahan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, atau lebih tepatnya di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).
Satwa yang memiliki nama latin Panthera pardus melas ini merupakan hasil evakuasi Tim Gugus Tugas Evakuasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, setelah sebelumnya pada subuh 1 Juni 2019 macan ini diketahui menyerang seorang warga Kampung Cimalingping, Kecamatan Kasomalang, Subang, Jawa Barat. Macan itu berhasil dievakuasi dengan kerja sama petugas Kebun Binatang Bandung, aparat kepolisian setempat, pemerhati satwa, dan masyarakat sekitar kejadian.
Setelah berhasil dievakuasi, macan tutul jawa tersebut dititip rawat di Kebun Binatang Bandung. Kemudian untuk mendapatkan perawatan intensif dan fasilitas kandang yang luas, binatang seberat 35 kilogram dan panjang 208 sentimeter itu dipindahkan ke Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, sembari menunggu proses pemulihan dan rehabilitasi. Sebulan lebih kemudian, setelah sepenuhnya sehat dan pulih seperti saat masih liar, Slamet Ramadhan dilepasliarkan kembali ke habitatnya.
Menurut Hoogerwerf (1970), secara umum ukuran tubuh macan jantan dewasa, diukur dari moncong hingga ujung ekor, rata-rata memiliki panjang 215 cm, tinggi 60-65 cm, dan berat 52 kg. Sedangkan macan betina, panjang total diukur dari moncong hingga ujung ekor tubuh 185 cm, tinggi 60-65 cm, dan berat 39 kg.
Barangkali tidak sedikit khalayak yang tahu, bahwa kucing besar yang berwarna hitam dan lazim disebut macan kumbang ini sebenarnya termasuk spesies macan tutul jawa. Merujuk dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) 2016 – 2026, variasi warna tubuh yang berwarna hitam tersebut bukanlah subspesies, melainkan spesies yang sama.
Kasus perbedaan warna ini banyak dijumpai di Pulau Jawa, Indonesia, dan di Benggala, India. Para ahli mengatakan, perbedaan warna itu disebabkan oleh pigmen melanistik sehingga membuat ada jenis macan ini yang memiliki warna dasar gelap.
Meskipun warna dominan hitam, akan tetapi jika dilihat dari dekat ternyata macan kumbang masih memiliki sejumlah totol-totol. Pola totol-nya pun sama, yaitu berbentuk “rosette” atau corak kembang. Dari sisi genetika, fenomena melanisme dibawa oleh gen resesif. Si macan kumbang, Slamet Ramadhan, dengan demikian ialah macan tutul jawa yang mengalami gejala melanisme.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1564110439_Capture_2.JPG" />
Pola tutul pada tubuh macan tutul jawa yang mengalami melanisme atau macan kumbang. Foto: KLHK
Seperti kucing liar pada umumnya, macan tutul jawa secara umum aktif pada malam (nokturnal) dan siang hari (diurnal). Karakteristiknya cenderung hidup sendiri (soliter), namun pada musim kawin akan terjadi peristiwa di mana antara macan jantan dan betina dewasa hidup bersamaan. Macan jantan berkelana mencari pasangan di dalam teritorinya masing-masing. Setiap kelahiran umumnya memiliki anak 2-6 ekor, dengan masa kehamilan berkisar 110 hari dan akan tetap bersama induknya hingga berumur 18-24 bulan.
Anak-anak dikatakan telah jadi dewasa pada usia 3-4 tahun. Sejauh penelitian dalam proses penangkaran usia hidup binatang ini mencapai hingga 21-23 tahun. Sayangnya sejauh ini belum banyak diketahui masa hidupnya saat berada di alam raya.
Macan tutul jawa merupakan kucing liar yang memiliki sifat teritorial yang kuat. Teritori jantan dan betina terkadang saling tumpang tindih, namun tidak demikian dengan sesama jantan. Baik jantan dan betina menandai teritorinya dengan menyemprotkan urin ke batang pohon yang dilewatinya. Macan tutul jawa memiliki teritori berkisar antara 5–15 km persegi.
Menurut Hendra Gunawan (2010), macan tutul jantan cenderung mempertahankan teritori dari macan jantan lain, dan macan betina mempertahankan teritori dari macan betina lain. Tampaknya anak betina membangun teritorinya di dalam teritori induknya, sementara itu anak jantan dikeluarkan dari teritori induk jantan sampai membentuk teritori di luar tempat kelahirannya.
Sejauh ini diduga kuat, kasus yang dialami macan remaja seperti Slamet Ramadhan adalah masuk kawasan pemukiman masyarakat dikarenakan kuatnya faktor persaingan teritori. Ia kalah bersaing dengan macan jantan dewasa lainnya. Macan yang kalah serta-merta terusir dan harus mencari wilayah baru. Tak aneh, macan yang keluar dan tertangkap hampir seluruhnya berjenis kelamin jantan dan berusia 2,5 -3 tahun, yaitu usia masa penyapihan atau fase transisi dari usia remaja menuju usia dewasa.
Macan Tutul Endemik Jawa
Macan tutul merupakan salah satu jenis kucing besar dari genus ‘Panthera’ dan dalam famili ‘Felidae’. Awalnya diketahui, macan tutul memiliki dua puluh empat subspesies yang tersebar di dataran Asia dan Afrika. Namun berdasarkan analisis pilogeni menggunakan penanda DNA, kini diyakini ternyata hanya terdapat sembilan subspesies macan tutul di dunia.
Macan tutul memiliki daerah penyebaran yang paling luas di antara jenis kucing liar lainnya. Dari Afrika, melampaui Sahara Tengah, macan tutul menyebar ke Asia Kecil, Afganistan, Turki, Iran, India, Srilanka, Jawa, China termasuk China Utara (Manchuria), hingga Amar Ussuri. Ke arah utara, dia juga menyebar ke Rusia Timur Jauh. Di Indonesia, meskipun dalam jumlah yang sedikit, macan tutul masih ditemukan di seluruh Jawa. Macan tutul jawa memiliki tubuh nisbi lebih kecil dari macan tutul di daerah lain di dunia.
Macan tutul merupakan spesies yang sangat mudah beradaptasi. Mereka bisa ditemukan di setiap tipe hutan, savana, padang rumput, semak, setengah gurun, hutan hujan tropis, pegunungan yang terjal, hutan gugur yang kering, hutan konifer, sampai sekitar pemukiman. Selain itu, jenis itu juga tercatat sanggup menempati berbagai tipe habitat dengan toleransi yang tinggi terhadap variasi iklim dan makanan.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1564110757_Capture_1.JPG" />
Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) yang mengalami melanisme atau kumbang (kiri) dan yang normal (kanan) di TN. Gunung Halimun Salak. Foto: KLHK
Merujuk Meijaard 2004, salah satu dari sembilan subspesies tersebut adalah macan tutul jawa yang memang memiliki perbedaan genetik dengan subspesies macan tutul lainnya di dunia. Spesies ini dapat hidup di hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan mencapai ketinggian lebih dari 2.000 m dpl. Mendiami berbagai kawasan hutan di Pulau Jawa, baik hutan primer, sekunder, dan bahkan tidak sedikit yang hidup di hutan produksi. Menariknya, binatang ini secara umum lebih toleran dibandingkan harimau, terhadap temperatur ekstrem dan lingkungan yang kering.
Masih merujuk Gunawan, mengutip pendapat Hoogerwerf dan Seidensticker, macan tutul ini tidak ditemukan di Pulau Sumatra, Kalimantan, maupun Bali. Penyebabnya ialah karena tidak adanya mangsa utama berupa ungulata besar seperti kijang, kancil, dan babi hutan di Pulau Kalimantan; sedangkan tidak ditemukan di Pulau Bali karena di sana hidup kompetitor lainya yaitu harimau bali; tak kecuali tidak ditemukan di Pulau Sumatra karena di sana juga melimpahnya anggota famili Felidae lainnya, sebanyak tujuh spesies.
Dengan demikian macan tutul jawa ialah predator utama yang berada di puncak rantai makanan. Setelah saudaranya yang lebih besar, yaitu harimau jawa, dinyatakan punah, maka kini ia berperan penting mengendalikan populasi spesies ungulata, seperti kijang, rusa, babi hutan, dan lainnya.
Fungsi macan tutul jawa sebagai puncak rantai makanan ini nisbi tidak dapat digantikan oleh spesies karnivor lain. Sebutlah ajag (Cuon Alpinus) atau kucing hutan (Neofelis nebulosa), misalnya, ukuran tubuhnya nisbi lebih kecil sehingga tidak memungkinkan untuk memangsa hewan ungulata.
Ini artinya, jikalau populasi macan tutul jawa semakin berkurang atau bahkan punah, mudah diduga akan mengakibatkan terganggunya ekosistem hutan dan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup makhluk lainnya termasuk manusia. Kasus meledaknya jumlah populasi monyet dan babi hutan, misalnya, yang seringkali telah menjadi hama tanaman pertanian, atau bahkan menyerang warga, jelas merupakan dampak punahnya macan tutul di lokasi itu.
Sementara bicara tugas konservasi atas spesies ini, Indonesia jelas menghadapi tantangan yang sangat berat. Pulau Jawa, yang notabene merupakan salah satu pulau terpadat di dunia, membuat upaya konservasi menjadi tidak mudah dilakukan.
Namun Indonesia tidak boleh patah arang. Setidaknya, masih cukup waktu untuk berbenah diri, terlebih sekiranya nanti kebijakan pemindahan Ibu Kota Indonesia ke luar Pulau Jawa benar-benar direalisasikan. Ada harapan, setidaknya dalam jangka panjang, kebijakan ini akan mengurangi kepadatan penduduk di pulau ini.
Sembari itu, tentu banyak hal lain harus dikerjakan. Selain melakukan diseminasi pengetahuan dan informasi secara intensif bagi masyarakat luas sehingga tercipta kesadaran pentingnya kelestarian macan tutul jawa, juga penting untuk dilakukan banyak proyek penelitian lapangan. Tujuannya, ialah semakin terbukanya pemahaman seluk-beluk secara lengkap dan detail tentang status populasi dan distribusi satwa ini serta perkembangan kawasan hutan sebagai habitatnya di Pulau Jawa.
Pada titik ini, apresiasi terhadap para ilmuwan yang selama bertahun-tahun telah mendedikasikan diri untuk bekerja meneliti keberadaan salah satu endemik Jawa ini patut diberikan. Dalam konteks inilah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum lama berselang, melakukan pengukuhan terhadap Hendra Gunawan sebagai ‘Profesor Riset Macan Tutul Jawa’.
Seperti diketahui, Hendra Gunawan menjadi peneliti macan tutul jawa yang dikukuhkan sebagai profesor riset yang pertama. Hendra Gunawan melakukan riset keberadaan macan tutul jawa untuk skripsi S-1 di tahun 1986, lalu dilanjutkan dengan penelitian lapangan pada 2009-2010 untuk disertasi doktoralnya, dan terus melakukan penelitian satwa ini hingga tahun 2018. (W-1)