Berdasarkan laporan PPATK, dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2025, tercatat 39,8 juta transaksi judi online terjadi di Indonesia.
Fenomena judi online di Indonesia kian meresahkan. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Al Azhar Indonesia (UAI), Wildan Hakim, menyatakan bahwa darurat judi online kini menjadi ancaman nyata terhadap generasi muda Indonesia, terutama dari kalangan menengah ke bawah.
Dalam diskusi publik yang digelar secara daring, Wildan menegaskan bahwa upaya pemberantasan judi digital harus dilakukan secara kolektif dan sistematis.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kita perlu perang kolektif. Jika tidak, kita akan kehilangan generasi emas hanya karena terjerumus dalam judi digital,” tegas Wildan pada saat acara webinar Forum Diskusi Publik, "Perang Melawan Judi Online, Menjaga Generasi, Melindungi Negeri" di Jakarta, Jumat (9/5/2026).
Wildan memaparkan bahwa berdasarkan laporan PPATK, dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2025, tercatat 39,8 juta transaksi judi online terjadi di Indonesia. Meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah melakukan ribuan pemblokiran situs ilegal, para pelaku terus bermunculan dengan modus yang makin variatif.
“Judi online tidak lagi dilakukan diam-diam atau oleh kalangan atas. Sekarang cukup dengan Rp10.000, siapa pun bisa ikut bermain. Ini yang membuatnya sangat berbahaya,” ungkap Wildan.
Laki-Laki dan Generasi Muda Paling Rentan
Wildan menjelaskan bahwa laki-laki muda menjadi kelompok paling rentan terhadap kecanduan judi online. “Sebagian dari mereka memiliki pekerjaan dan pendapatan, tapi karena rasa penasaran dan minim literasi digital, mereka tergoda. Bahkan banyak yang menganggap ini hanya permainan, bukan kejahatan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa banyak pelaku judi online berasal dari kelompok menengah ke bawah yang berharap bisa melipatgandakan uang dalam waktu singkat. “Inilah mengapa Indonesia menjadi target empuk. Literasi digital dan keuangan kita masih rendah, sementara kemiskinan masih tinggi,” ujarnya.
Efek Domino: Dari Pinjol hingga Perceraian
Dalam penjelasannya, Wildan memaparkan dampak sosial yang ditimbulkan dari kecanduan judi online. Banyak pelaku akhirnya berutang ke pinjaman online (pinjol), kehilangan pekerjaan, hingga berujung pada perceraian dan kehancuran rumah tangga.
“Saya menerima cerita langsung dari seorang ibu di Jakarta, yang mengadu karena suaminya kehilangan pekerjaan akibat berjudi online. Ini bukan lagi masalah pribadi, ini sudah jadi masalah nasional,” katanya.
Wildan juga menjelaskan sistem “win rate” dalam judi online, yakni pola pengaturan peluang kemenangan yang dibuat sedemikian rupa untuk menjerat pelaku secara psikologis dan finansial.
“Ketika pelaku menang di awal dengan nominal kecil, mereka tergiur. Lalu naikkan taruhan, padahal peluang menangnya justru menurun. Ini yang membuat mereka terus memasang uang lebih besar, dan akhirnya bangkrut,” jelas Wildan.
Ia menegaskan bahwa sistem ini dirancang agar pelaku terus kalah saat bermain dalam skala besar. “Saat mereka pasang Rp1 juta, di situlah operator bekerja mengatur kekalahan,” ungkapnya.
Di akhir pemaparannya, Wildan mengajak semua pihak—pemerintah, akademisi, tokoh agama, masyarakat, media, hingga platform digital dan perbankan—untuk bersatu dalam gerakan besar melawan judi online. Ia juga mendorong penguatan literasi digital dan pendidikan etika internet mulai dari keluarga hingga sekolah.
“Mari kita edukasi masyarakat. Jangan anggap remeh. Judi online ini bukan hanya merampas uang, tapi juga menghancurkan masa depan,” pungkasnya.
Penulis: Wandi
Redaktur: Untung S
Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/nasional-sosial-budaya/918771/darurat-judi-online-saatnya-perang-kolektif-secara-digital